Opini

Santri Milenial dan Tantangan Seabad NU

Sel, 30 Januari 2018 | 23:01 WIB

Oleh Munawir Aziz

Siklus seratus tahun merupakan pembuktian Nahdlatul Ulama sebagai organisasi keislaman terbesar di dunia. Klaim Nahdlatul Ulama sebagai organisasi Islam terbesar di dunia, bukan pepesan kosong, tapi merujuk pada data beberapa lembaga lembaga survey terpercaya. Bukan sebagai penghargaan yang dirayakan, tapi menjadi refleksi kritis untuk melihat sejauh mana kontribusi NU dalam konteks keislaman, keindonesiaan dan dinamika internasional.  

Survey IndoBarometer pada tahun 2000, menyebut warga Nahdliyyin sejumlah 143 juta jiwa. Sementara, Lembaga Survey Indonesia (LSI) pada 2013, mengungkap data, bahwa sejumlah 36 persen pemegang hak pilih nasional, merupakan warga NU. Singkatnya, 91,2 juta pemilih nasional merupakan warga nahdliyyin.

Sementara, Alvara Strategic Research, melansir hasil survei tentang organisasi Islam yang paling dikenal publik. Survei ini melibatkan 1.626 responden di 34 provinsi, dengan wawancara tatap muka. Hasilnya, NU menempati peringkat pertama sebagai organisasi keislaman yang paling dikenal, sebesar 97,0 persen.

Dilanjutkan Muhammadiyah sebesar 93,4 persen, dan beberapa organisasi lain. Survei Alvara (2017), mengajukan data, sejumlah 50,3 persen penduduk muslim mengaku NU, serta 14,9 persen  berafiliasi dengan Muhammadiyah. Dari laporan riset ini, terungkap data jumlah warga Nahdliyyin sekitar 79,04 juta jiwa, sementara warga Muhammadiyah sejumlah 22,46 juta jiwa.

Dari catatan ini, penulis ingin melihat dinamika anak muda nahdliyyin, atau lapisan santri milenial. Lapisan ini penting ditelisik aspirasi sekaligus perannya, dalam proses menuju seratus tahun Nahdlatul Ulama.   

Milenial santri

Bagi lingkaran peneliti sosial, milenial disebut lapisan penduduk yang lahir pada 1980-2000. Atau, mereka yang saat ini berusia 18-38 tahun. Dalam skala ini, santri milenial saat ini pada lapisan santri yang masih mengaji di pesantren, sedang belajar di kampus, sampai pada tahapan menjadi profesional di beberapa perusahaan atau instansi.  

Lapisan santri milenial ini, sebagian besar juga mewarnai muslim kelas menengah. Ada transformasi sosial, dari keluarga santri yang dulunya berlatar belakang agraris, kemudian kuliah dan bekerja secara profesional di beberapa kota. Terbukanya kompetisi di kampus-kampus nasional dan internasional dan afirmasi atas sekolah berbasis pesantren, membuka peluang bagi santri untuk menggeluti sains dan ilmu-ilmu yang melengkapi basis pesantren. Pergeseran ini berdampak pada pada identitas santri milenial, yang mempengaruhi pola baru warga nahdliyin.

Dari sisi komunikasi, santri-santri milenial juga mewarnai interaksi digital. Sindikasi media yang dibangun oleh santri-santi milenial, berpengaruh pada pembentukan wacana di kalangan muslim kelas menengah. Sejauh ini, puluhan media digital yang mengkampanyekan nilai-nilai Islam Nusantara atau gagasan keislaman ala Nahdlatul Ulama. Interaksi digital dengan lintas platform media sosial, berpengaruh pada wajah baru warga Nahdliyin. Ini menjadi penting, dalam proses menuju satu abad Nahdlatul Ulama.    

Dari sejarah panjangnya, Nahdlatul Ulama memiliki tanggung besar: keislaman, keindonesiaan dan kemanusiaan. Tanggungjawab ini, merujuk pada prinsip Nahdlatul Ulama, dalam menjaga ukhuwah Islamiyah (persaudaraan keislaman), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan), dan ukhuwah insaniyah (persaudaraan kemanusiaan). 

Tanggung jawab ini memiliki spektrum luas: politik kebangsaan, ekonomi, hukum, pendidikan hingga diplomasi internasional. Dari peta ini, tergambar jelas bagaimana, sumbangsih sekaligus tantangan Nahdlatul Ulama dalam siklus seratus tahun (satu abad).

Tanggung jawab keislaman, memberi tantangan bagi Nahdlatul Ulama untuk menebar dakwah Islam Nusatara yang rahmatan lil-alamin. Dakwah Islam yang rumah, bukan Islam yang menyebar amarah. Tanggung jawab ini menjadikan Nahdlatul Ulama memiliki spektrum gerak yang luas, untuk menjawab problem keislaman di dunia internasional.

Wajah muslim di ranah internasional sedang murung. Peperangan dan konflik di beberapa negara Timur Tengah, meremukkan persaudaraan. Konflik di Yaman, Syiria, serta kontestasi antara Israel dan Palestina, serta dinamika negara di sekitar Saudi, merupakan tantangan besar untuk mencipta perdamaian.

Di Asia Tenggara, kekerasan terhadap muslim Rohingya di Myanmar menjadi problem serius. Dalam lanskap internasional, inisiasi perdamaian di Afghanistan, mencatat peran NU dalam diplomasi perdamaian. Inisiasi perdamaian di ranah internasional ini menjadi bagian dari dakwah Islam Nusantara.

Arus baru milenial

Seratus tahun Nahdlatul Ulama, bagi generasi santri milenial, memiliki arti penting untuk memandang wajah organisasi ini pada masa kini dan mendatang. Dengan munculnya lapisan santri milenial, penyebutan Nahdlatul Ulama sebagai organisasi tradisional, tidak lagi relevan.

Tradisionalisme dalam menjaga sub-kultur pesantren, merupakan khazanah penting yang menjadi ciri khas. Maka, bisa kita saksikan, bagaimana santri-santri milenial yang kuliah di beberapa kampus internasional, maupun yang sudah berkarir profesional, merasa perlu dengan shalawatan, pengajian maupun rangkaian tradisi lain.

Pada ranah tantangan ekonomi kerakyatan, pola santri milenial untuk membangun arus baru ekonomi, berlangsung dengan cara yang berbeda. Beberapa santri menginisiasi start-up pada pelayanan publik, media dan social bussines, dengan dukungan perusahan finansial internasional.

Munculnya beragam ventura yang berani mendanai eksekusi ide-ide bisnis berbasis digital, menjadi peluang berharga. Meski belum berkembang massif, gerakan santri-santri milenial sudah terasa. Perlu ada dorongan intensif, agar lapisan santri milenial ini melangsungkan penetrasi pada wilayah profesional baru.

Saya, sebagai bagian santri milenial, merasa betpa inovasi teknologi digital dan media sosial berpengaruh pada transformasi harakah (gerakan) santri zaman now. Santri milenial memiliki strategi yang berbeda dalam merespons tanggungjawab keislaman, keindonesiaan dan kemanusiaan. Seratus tahun Nahdlatul Ulama membuka ruang bagi santri milenial untuk membuktikan kontribusi strategisnya.

Penulis adalah Wakil Sekretaris LTN Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Penulis buku "Merawat Kebinekaan" (2018).