Opini

Wisata Religi, Alternatif Dakwah Modern

Kam, 1 November 2012 | 03:04 WIB

Oleh: Mokhamad Abdul Aziz


Wisata realigi merupakan salah satu fenomena masyarakat Indonesia yang sangat memasyarakat dari zaman ke zaman. Di beberapa kelompok masyarakat, wisata realigi ini sering menjadi kegiatan rutin, ada yang mingguan, bulanan, tahunan dan sebagainya. Hal ini dilakukan sebagai bagian dari pengisi atau refreshing dari rutinitas pengajian-pengajian yang mereka ikuti.
<>Sekarang ini, sebagian masyarakat Indonesia bisa dikatakan masyarakat yang modern. Masyarakat modern adalah masyarakat yang cenderung sekuler. Interaksi antara anggota masyarakat tidak lagi berdasarkan prisip tradisi atau persaudaraan, tetapi pada prinsip fungsional pragmatisme. Masyarakat merasa bebas dan lepas dari kontrol agama, pandangan dunia metafisis, ciri-ciri yang lain adalah penghilangan nilai-nilai sakral dalam masyarakat terhadap dunia dan meletakkan hidup manusia dalam konteks kenyataan sejarah.

Seharusnya masyarakat modern idealnya terbentuk oleh sebuah proses yang bersifat evolusi (perubahan lambat) bukan revolusi (perubahan cepat), yaitu berkembang secara perlahan-lahan namun pasti (slow but sure), dari tahapan yang sangat sederhana ke arah yang lebih baik dengan proses sosiologis yang diikuti oleh nilai-nilai ajaran Islam.  Namun sekarang, harapan semacam ini hanya tinggal harapan saja. Masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, masuk ke dalam dunia modern dengan lompatan yang cukup jauh.

Ada empat tahapan masyarakat, jika dilihat dari perkembangan peradabannya, yaitu masyarakat agraris, masyarakat pra-industial, masyarakat industrial, dan masyarakat era informasi sekarang ini. Lompatan  cukup jauh yang dilakukan Indonesia, yaitu yang mulanya masyarakat agraris menuju ke masyarakat era informasi yang pragmatis. Sedangkan masyarakat era informasi itu sendiri didominasi oleh peralatan elektronik, sehingga era ini bisa  juga disebut sebagai era elektonika. Demikian juga dengan pandangan manusia tehadap agama juga berubah.

Munculnya era informasi adalah sebagai sebuah periode baru, tetapi juga bisa masuk ke dalam masyarakat industrial. Kemunculan teknologi baru dibidang komunikasi sering kali menimbulkan pertanyaan tentang dampaknya terhadap masyarakat. Misalnya saja, saat pertama kali dperkenalkan “radio bergambar” yang sekarang ini dikenal dengan nama “televisi” kepada dunia pada tahun 1939 di World’s Fair, New York, teknologi tersebut menimbulkan decak kagum penduduk dunia, tetapi sekaligus  menimbulkan kekhawatiran.

Kini, lebih dari setengah abad kemudian, bermacam-macam teknologi di bidang komunikasi dan informasi telah dikembangkan dan dipasarkan. Perkembangan dan pemasaran itu contohnya adalah adanya alat komunikasi yang semakin canggih, seperti handphone dan komputer yang semakin hari semakin banyak inovasi dan variasi berbagai merk. Alat-alat itu tecipta dengan dipadukannya teknologi tulisan atau teks, gambar, suara, dan animasi dalam satu kesatuan yang telah dikomputerisasi, atau juga disebut hypermedia. Perubahan teknologi di Indonesia ini terkesan cepat dan banyak mempengaruhi masyarakat.

Revolusi teknologi mendorong terjadinya perubahan dalam tata kehidupan manusia, baik dalam lingkup sempit, yang meliputi keluarga dan lingkungan sekitar, maupun dalam konteks yang lebih luas, yang menyangkut interaksi antar manusia, lembaga, organisasi, bahkan antar bangsa. Sehingga, teknologi komunikasi telah merubah gaya hidup serta cara pandang manusia pada abad ini. Perubahan itu termasuk dalam perubahan tata cara bekerja, bergaul, bermain, belajar, berjuang, berbelanja, berdakwah, dan juga tata cara berkomunikasi. Inilah jalan Indonesia menuju dunia modern saat ini. Modernisasi yang sebegitu cepat akan membentuk peradaban modern dengan revolusi teknologi informasi.

Padahal lompatan yang sedemikian cepat ini akan berakibat fatal bagi masyarakat, jika masyarakat tidak memiliki kesiapan. Dan pada kenyataannya, diakui atau tidak, bangsa Indonesia masuk dalam perangkat besar lompatan tersebut. Padahal, secara psikologis sebenarnya Indonesia belum siap menerima modernisasi dalam skala cepat (revolusioner). Mengapa? melihat realitas yang ada saat ini, jika dilihat dari aspek ekonomi misalnya, peredaran ekonomi perusahaan selama ini hanya beredar di wilayah kota saja, itu pun hanya di kota-kota besar. Sehingga tujuan pembangunan Indonesia dalam waktu yang cukup lama hanya akan mengena pada masyarakat kota saja. Bagaiamana dengan masyarakat desa yang jumlahnya juga tidak sedikit.  Padahal perbandingan antara kota dan desa adalah 20:80.

Namun, jika dilihat dari sisi kesejahteraannya, maka perbandingan itu malah terbalik. Jadi, masyarakat Indonesia yang secara umum siap masuk ke dalam dunia modern hanya berkisar 20%, sementara yang 80% harus dipaksakan untuk memasuki modernisasi, padahal secara mental dan fisik mereka belum siap. Mereka yang dipaksakan menyikapi modernisasi  akan menggunakan presepsi akal pada masa agraris. Padahal, modernisasi meskipun dilakukan oleh mereka yang siap secara mental saja, harus berjuang ekstra menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi. Lalu bagaimana dengan mereka yang belum siap? Dapat dibayangkan bagaimana masyarakat yang masih tertinggal harus hidup dalam alam modernisasi, pastinya akan kedodoran.

John Naisbit mengungkapkan bahwa  masyarakat modern dalam konteks dakwah juga mengkhawatirkan, ia mengatakan “spiritualitas, ya. Agama yang diorganisir, Tidak”. Artinya, ada kecenderungan terhadap spiritualitas dalam masyarakat modern, tetapi spiritualitas itu dalam anggapannya tidak selalu mendasar pada agama-agama yang formal. Masyarakat bisa mencari spiritualitas tersebut dalam berbagai elemen seperti animisme, dinamisme, kesenian, budaya, tradisi, dan lain sebagainya. Sehingga, kepercayaan terhadap agama, lama-kelamaan akan menipis dan hilang pada masyarakat modern. Untuk melepaskan diri dari keadaan tersebut, sikap harus diambil seseorang. Bahkan tindakan, dimulai dari tindakan mental yang berupa perenungan mendalam, kemudian diikuti tindakan  nyata dalam bentuk perilaku atau perbuatan. Dan salah satu alternatif agar seseorang merenung untuk kemudian melakukan tindakan yang berupa perilaku atau perbuatan tadi adalah dengan cara melakukan wisata realigi.

Wisata realigi memang biasanya rutin dilakukan dan sangat memasyarakat. Namun, jangan sampai wisata realigi hanya dijadikan rekreasi maupun hanya semata-mata berdimensi ekonomis dan berorientasi provit saja bagi para pelaksana jasa wisata. Seharusnya, wisata menjadi media untuk memunculkan kesadaran masyarakat terhadap penghargaan setiap khasanah budaya dan sejarah, yang sesungguhnya terkandung banyak pesan maupun pelajaran berharga yang bisa memberikan kontribusi dalam upaya mewujudkan hidup untuk lebih beradab. Namun, kecenderungan yang muncul dalam dunia wisata saat ini nampaknya kurang memberi ruang bagi munculnya internalisasi kearifan dan nilai yang terkandung dalam objek-objek wisata tersebut.

Kecenderungan dalam dunia wisata dapat dibedakan menjadi dua model. Pertama, model wisata tradisional, yang biasanya lebih menitikberatkan terhadap penghargaan akan berkah dari wisata (tabarrukan) serta kurang memberi ruang bagi pemahaman dan penghayatan terhadap khasanah budaya dan sejarah secara rasional. Kedua, model wisata konvensional, yang biasa dilakukan oleh masyarakat luas yang cenderung hanya mengapresiasi aspek-aspek fisik dan cenderung gelamor tanpa memiliki tujuan yang jelas. Sehingga, kurang berdampak bagi penghayatan spiritual. Sebagai bagian dari aktivitas dakwah, wisata realigi harus mampu menawarkan baik pada objek dan daya tarik wisata agama maupun umum. Sehingga, mampu menggugah kesadaran masyarakat akan kemahakuasaan Allah SWT dan kesadaran beragama..

* Mahasiswa Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang, Mantan Aktivis IPNU Kota Rembang