Pesantren

Jihad Literasi ala Pesantren Annuqayah Guluk-guluk Sumenep

Jum, 8 Desember 2017 | 05:01 WIB

Tradisi penguatan literasi di pesantren telah lama dipraktikkan oleh para ulama dan kiai melalui kajian kitab kuning. Namun, seiring berkembangnya dunia keilmuan, tidak sedikit pesantren yang mengembangkan literasi buku-buku umum yang bersumber dari kitab-kitab klasik.

Ha ini dilakukan Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-guluk Sumenep, Madura, Jawa Timur di tengah kecenderungan instan masyarakat dalam mengakses bacaan di dunia maya. Namun, pesantren yang didirikan pada 1887 oleh KH Muhammad Asy-Syarkawi ini terus berkomitmen mengembangkan literasi pesantren melalui tradisi membaca dan menulis.

Menurut salah seorang Dewan Pengasuh Pesantren Annuqayah Nyai Hj Fadhilah Khunaini, Kiai Muhammad Asy-Syarkawi merupakan seorang penulis produktif. Ia lahir di Kudus, Jawa Tengah dan mampu menurunkan tradisi literasinya kepada para santri hingga kini.

“Pengembangan pendidikan dilakukan oleh KH M. Ilyas bin Muhammad Asy-Syarqawi (1889-1959) yang mendirikan madrasah dengan sistem kelas pada tahun 1933 dengan nama Annuqayah. Kiai Ilyas juga penulis,” ujar Nyai Fadhilah saat mengisi Halaqah Kiai dan Nyai pada 4-6 Desember 2017 di Bogor yang digelar Pusat Studi Pesantren (PSP).

Nama Annuqayah, kata Fadhilah menunjukkan visi pesantren bahwa tidak hanya ilmu agama, tapi juga ilmu umum. Kiai Ilyas yang pertama kali memperkenalkan bahasa Indonesia kepada santri-santri, namun masih menggunakan huruf Pegon untuk menjembatani santri-santri.

Setelah kemerdekaan, Pesantren Annuqayah menjadikan bahasa Indonesia sebagai pengantar, juga mengajarkan matematika, ilmu bumi, bahasa Inggris, dan ilmu-ilmu lainnya.

Adik Kiai Ilyas, KH Abdullah Sajad juga pendidik dan penulis (Mandzumatul Masa’il fi Ilmit Tauhid). Beliau gugur pada Agresi Militer Belanda II. Pesantren Annuqayah  sudah melahirkan ratusan penulis. Ada tradisi di Annuqayah yang mewarisi tradisi penulisan dari para santri ke adik-adik kelasnya.

Menurut Nyai Fadhilah, terkait radikalisme, kata kuncinya satu, kebodohan. Jadi sederhananya peran pesantren adalah memerangi kebodohan melalui tradisi membaca dan menulis yang kuat. Tradisi ini akan mencetak generasi yang tidak mudah percaya begitu saja terkait informasi yang beredar.

Media literasi yang  paling cocok selama ini di Pesantren Annuqaqyah adalah buku. Karena alat elektronik tidak diizinkan. Internet dibolehkan, tapi dibatasi.  Sementara ini, di komplek pesantren, santri-santri tidak diperbolehkan memiliki akun media sosial sebelum memiliki kemampuan literasi yang memadai atau dianggap pendidikannya selesai.

Pesantren Annuqayah mewajibkan santri membaca buku, targetnya 30 buku dalam satu tahun. Menurut Taufiq Ismail, anak SMA di Amerika Serikat membaca 30 buku, tapi di Indonesia 0 buku.

Bukti mereka membaca buku, pihak pesantren mewajibkan mereka membuat resensi. Mereka juga tiap bulan diawasi oleh guru. Kalau tidak memenuhi target yang ditunjukkan dengan bukti resensi, izin pulang mereka akan dikurangi.

Saat ini, Pesantren Annuqayah telah banyak memproduksi buku yang bersumber dari kitab-kitab kuning maupun karya-karya sastra. Kitab dan buku tersebut disadur menjadi cerita ringan dan menarik dalam bentuk buku bergambar dan berwarna sebagai bahan ajar di sekolah. (Fathoni)

Terkait

Pesantren Lainnya

Lihat Semua