Pesantren

Kiai Pesantren Gado-Gado dari Nganjuk

Sen, 10 Maret 2014 | 22:00 WIB

Nganjuk, NU Online
Sosok KH Sumanan Hidayat tidak asing bagi warga Nganjuk, Jawa Timur. Pembawaan yang kalem dan humoris membuat pria 48 tahun ini mudah bergaul dengan siapa pun. Kiai yang akrab disapa Pak Manan ini lahir dari keluarga petani biasa di desa Kalianyar kecamatan Ngronggot Nganjuk.
<>
Sumanan kecil sudah dididik kerja keras kedua orang tuanya. Dari orang tua yang kiai kampung, Sumanan kecil belajar dasar-dasar ilmu agama.Setamat SDN Kalianyar, Sumanan kecil lanjut ke SMPN Ngronggot. Di sini dia juga menjadi santri di Pesantren Al-Fattah Tanjunganom di bawah asuhan KH Nahrawi.

Lalu menimba ilmu di Pesantren Al-Hikmah Purwoasri Kediri. Di pesantren asuhan KH. Badrus Sholeh ini, Sumanan juga menimba ilmu di MAN Purwoasri. “Setiap pulang saya naik sepeda onthel dan harus menyeberangi sungai Brantas,” kenangnya kepada NU Online yang dikirim Senin (10/3).

Itu tidak menyurutkan langkahnya untuk melanjutkan semangat studinya ke pendidikan tinggi. Tepatnya di Jurusan Ushuludin IAIN Sunan Ampel Kediri (sekarang STAIN Kediri).

Dengan nyantri di Pesantren Al-Ishlah Bandar Kota Kediri, Sumanan muda mulai mengenal dunia organisasi. Mulai dari ketua senat mahasiswa selama dua periode sampai menjadi wakil ketua cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kediri. “Sejak aktif di dunia mahasiswa, Sumanan sudah terlihat memiliki keilmuan agama yang lebih dibandingkan sahabat-sahabat lain,” kenang Daryanto, ketua umum PC PMII Kediri saat itu.

Hal senada juga diungkapkan teman sejawat Pak Manan, Drs. H. Nur Akhlis M.Pd. Wakil sekretaris PCNU Kediri yang juga dosen STAIN Kediri ini melihat Pak Manan sebagai figur yang gigih dan ulet. “Saat mahasiswa dulu, beliau adalah tipe orang yang idealis dalam berorganisasi,” ujar direktur EECC Pare ini.

Sampai sekarang, di samping mengelola Pondok Pesantern Nurul Ishlah, Pak Manan juga menjadi pembina ruhani bagi penghuni lembaga pemasyarakatan Kediri. “Anda kan tahu sendiri macam-macam orang yang menghuni di lapas sana?” katanya.

Pak Manan sekarang juga mengajar di Universitas Islam Kediri (Uniska), Institut Agama Islam Tribakti (IAIT) Lirboyo, SekolahTinggi Agama Islam Darussalam (STAIDA) Krempyang Nganjuk dan MA. Pesantren Sabilul Muttaqin Cengkok, Ngronggot Nganjuk. Tentu saja itu belum ditambah dengan kesibukan menghadiri undangan untuk menjadi penceramah di pengajian-pengajian.

Ketekunan dan keuletan untuk kaum yang termarginalkan ini adalah buah istiqamah dalam berjuang agar mampu menjadi orang yang berguna di masyarakat. Ini ditunjukkan dengan tetap melakukan ritual ziarah ke makam para waliyullah setiap malam Jumat. “Sementara ini saya istiqamah dulu ke makam Sunan Ampel di Surabaya,” urainya.

Meski memiliki kesibukan padat, setiap jarum jam menunjukkan pukul 21.00 WIB, setiap Kamis malam Pak Manan bergegas menaiki sepeda motor jadul-nya menuju Kertosono. “Dari sana naik bus ke Bungurasih, lalu mampir dulu ke rumah teman yang menjadi modin di Gayungan, baru kalau sudah jam satu pagi saya diantar teman untuk ke makam Sunan Ampel,” ceritanya. “Dulu sempat naik kereta api, tapi kelamaan karena harus berangkat sore hari dan tiketnya sekarang harus pesan dulu sehari sebelum berangkat,” kisahnya.

“Jika sudah selesai, pulangnya langsung menuju terminal Bungurasih, jadi teman saya itu profesi siangnya memang modin, tapi kalau tiap malam Jumat, dia menjadi tukang ojek khusyuyiyah saya,” ujarnya sambil terkekeh. Saat sampai ke pondoknya lagi, biasanya menjelang adzan Shubuh. Ritual ini sudah dilakukan jauh hari sebelum mendirikan pondok.

Usaha Pak Manan untuk menyebarkan ilmu ini bukan tanpa halangan. Sampai sekarang pun masih ada segelintir masyarakat yang mencibirnya. Saat bertemu di warung makan, wartawan koran ini mendapat cerita dari salah satu warga desa Ngronggot. “Ya biasa mas, masyarakat yang belum paham betapa susahnya perjuangan Pak Manan, ya bisanya Cuma ngrusuhi,” ujar Kusnul Kholik. Meski tantangan itu, lanjutnya, tidak sampai berbentuk fisik. “Jumlahnya hanya segelintir saja, tapi masyarakat di sini sudah tahu kok Pak Manan itu gimana orangnya,” imbuhnya.

Pria yang mengaku sebagai penjual gabah ini menceritakan bahwa setiap pagi setelah Shubuh, Pak Manan dulu memberikan pengajian di masjid jami’ Al-Hasan, sebelah barat KUA Ngronggot. “Pada awal setelah saya menikah, jama’ahnya banyak sekali,” ujarnya.

Namun karena ada oknum takmir masjid yang merasa “lebih berilmu” dari Pak Manan, pengajian ba’da Shubuh gant idia yang mengisi. “Makanya jama’ah mulai habis, bahkan sekarang pengajiannya gulung tikar, pindah ikut ngaji Pak Manan di pondoknya,” katanya sambil tertawa. Mungkin, lanjutnya, si oknum takmir masjid su’ul adab dengan orang “aneh” seperti Pak Manan.

Dikonfirmasi hal ini, Pak Manan hanya tersenyum saja. Upaya ini, katanya, hanya sebuah ikhtiyar untuk mencari bentuk dan membangun fondasi. Makanya Pak Manan mengaku senang ziarah ke makam Sunan Ampel sebagai bukti munasabah atas perjuangan yang telah dilakukan. Bahwa usahanya mendirikan pondok pesantren dengan model santri yang gado-gado sebagai penerus perjuangan Wali Songo dulu. “Biar Allah nanti yang akan membalasnya,” pungkasnya.

Pondok Nurul Ishlah Ngronggot memang dikenal dengan pesantren gado-gado. Ini karena latar belakang santri yang bervariasi. Mulai dari korban broken home, pecandu narkoba, mantan pelaku free sex, anak autis, cacat fisik, mantan pemabuk minuman keras, korban KDRT hingga kehamilan yang tidak diinginkan. Ironinya lagi, mayoritas dari mereka adalah berstatus yatim.

Santri yang menimba ilmu di pondok ini ada yang berasal dari Sumatera, Lampung, Kalimantan, Jawa Tengah, Kediri dan Nganjuk. Lokasi pondok ini tepat berada di depan KUA Ngronggot atau di utara kantor MWC NU Ngronggot. (muk)
 

Terkait

Pesantren Lainnya

Lihat Semua