Opini

Sosok Mahbub Djunaidi dalam Perspektif Max Weber

Kam, 7 Februari 2019 | 02:00 WIB

Oleh Ali Makhrus

Tepat pada tanggal 31 Januari 2019 kemarin, Mahbub Djunaidi Center (MDC) mengadakan acara syukuran dengan melibatkan kader-kader PMII. Acara tersebut diselenggarakan di Prabu Coffe, Cibiru, Bandung. Penulis menyempatkan hadir menyaksikan kegiatan yang terselenggara dengan sangat fleksibel dan penuh makna tersebut. Di luar dugaan, para Bikers yang tergabung dalam Outsider Nation turut meramaikan satu tahun Mahbubian pula.

Anda dapat memperkirakan bagaimana acara seorang tokoh besar bagi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan Nahdlatul Ulama (NU) khususnya, dan bahkan Indonesia, dapat begitu dekat dengan kawan-kawan Bikers, masyarakat jalanan ini. Sahabat Isfandiari, anak Mahbub sendiri, yang juga merupakan penggagas komunitas Bikers tersebut, beserta bung Soemarsono Sastrodirjo lah yang memprakarsai terselenggaranya diskusi apik itu.

Situasi-sosial malam itu membuat penulis memikirkan dan menduga-duga, apakah iya, Mahbub dulu sosok yang sangat menyukai gaya para Bikers sebagi kelompok kecil dalam masyarakat, yang terkesan bebas, tanpa kepentingan, lincah, menikmati hidup namun tetap on the right track, sopan dan menjunjung tinggi etika dalam berkendaradi jalan seperti yang terpancarkan pada acara kemarin?

Apakah kecintaan pada Bikers tersebut dimiliki oleh Mahbub, lalu ditularkan kepada anaknya? Mungkin bukan pada Bikernya, namun pada filosofis karakter yang dimiliki Bikers? Teori psikologi perkembangan sudah bisa memperkirakan delik residu dari hobi Mahbub ini. Tulisan ini akan memusatkan pada aspek lain yang tidak kalah pentingnya dari sosok Penerobos Kaidah Bahasa ini.

Dalam hal ini, penulis hendak mengaitkan asusmsi tersebutpada konfigurasi sosiologis Max Weber (1864-1920), tokoh sosiolog dalam tradisi rasionalis Jerman, yang pemikirannya dipengaruhi pula oleh Immanuel Kant, meskipun sesekali juga Marxian, terutama pada teori aksi sosial (the social action theory).

Ada dua kunci mudah untuk memahami sosiologi Weber dalam aspek teoritis. Kunci sosilogi yang pertama ialah apa yang disebut dengan thestructuralormacro theory atau perspective.  Kunci berikutnya ialah social action, interpretive atau macro theory. Implikasi dari kedua ide besar tentang masyarakat ini akan menampilkan pandangan tentang posisi struktur dan individu dalam proses perubahan sosial yang terjadi.

Weber, sebagai bapak aksi sosial ini, banyak menyelidiki smaller group (kelompok-kelompok kecil) dalam masyarkat. Bagi Weber, individu adalah subjek bagi perubahan sosial negara baik dalam segi ekonomi, politik dan lain-lain. Dengan kata lain, aksi sosial menjelaskan bahwa struktur masyarakat (society) adalah produk dari aktivitas manusia (human beings).

Ada beberapa peryataan menarik yang digandrungi banyak orang dari sosok Mahbub, terutama soal humor. Ketua PP PMII pertama ini (sekarang PB), akrab sekali dengan penggunaan diksi-diksi permisalan yang khas digunakan kelompok kecil dalam struktur sosial. Seperti, “Futurolog itu semacam “dukun”, namun keluaran sekolah”. Lagi, “Tanamkanlah ke kepala anakmu bahwa hak asasi itu sama pentingya dengan “sepiring nasi”. Satu lagi pengakuan Mahbub sendiri, “Selaku penulis saya ini generalis, bukan spesialis. Saya menulis ihwal apa saja yang lewat di depan mata. Persis tukang loak yang menjual apa saja yang bisa dipikul”.

Sampel perumpamaan dari Mahbub di atas sebagai penjelas tentang posisi sosiologi Mahbub dalam memandang individu atau kelompok kecil dalam struktur sosial. Dia mencoba menusukkan alam pikir manusia pinggiran sepenuhnya sebagaihuman beings. Seperti pemilihan diksi dukun, sepiring nasi, tukang loak ke dalam tautan konstalasi struktur sosial. Bagi penulis, pilihan diksi-diksi tersebut merupakan penanda bahwa Mahbub memberikan pengakuan kepada kelompok kecil yang eksis dalam masyarakat. Misal pengaitan para konsultan desa alias komunitas dukun dengan para juru tebak masa kini yang disebut futurolog.

Kemudian, kelompok masyarakat miskin yang kesulitan memenuhi kebutuhan dasar sepiring nasi dihubungkan dengan kesulitan mereka dalam memahamkan tentang HAM. Serta perumpamaan profesi tukang loak (pengepul barang-barang bekas) dari masyarakat yang dikaitkan dengan diri Mahbub sendiri yang dia disebutsebagai seorang generalis. Dengan kata lain, kelompok sekecil apapun jangan dianggap remeh. Tanpa peduli latar belakangnya, merekaadalah manusia yang memiliki kemampuan dan kekuatan untuk melakukan perubahan sosial.

Hal ini sejalan dengan apa yang Weber namai dengan aktuelles verstehen (memahami sosial dengan mengamati aksi dari individu) dan eklarendes verstehen (memahami penjelasan atau makna dari aksiindividu). Weber seperti dalam bukunya yang terkenal, “the Metodology of Social Science” (1949), mengatakan bahwa bureaucratic organisations are the dominant institutions in society, but bureaucracies consist of individuals carrying out rational social actions designed to achieve the goals of bureaucracies yang maknanya organisasi birokrasi adalah institusi dominan di masyarakat, tapi tetap saja birokrasi (institusi) terdiri dari individu yang melakukan tindakan atau aksi sosial rasional yang dirancang untuk mencapai tujuan.

Weber juga menegaskan bahwa all human action by meaning yang penulis artikan dengan semua manusia beraksi dengan makna tertentu. Ada tiga tipe makna menurut Weber, affective or emotional action, tindakan afektif atau emosi dari individu pada waktu tertentu; traditional action, tindakan tradisional yang didasarkan pada kebiasaan yang sudah ada, atau orang bertindak dengan cara tertentu karena kebiasaan atau mereka selalu melakukan rutinitas atau hal-hal seperti itu; dan ketiga rational action, sebuah tindakan yang lahir dari kesadaran yang jelas akan sesuatu tujuan. Gagasan ini dapat dipahami, bahwa senada dengan Weber, manusia modern belum sepenuhnya rasional, semua masih dalam proses menuju rasionalisasi (modern societies are undergoing the process of rationalization).

Tipe makna lontaran Weber tersebut memberikan pembelaan kepada berbagai kelompok sosial dari manapun asal-usul profesinya, hobi, status, agama dan identitaslainnya. Dengan tidak melupakan, bahwa mereka pun juga manusia yang bertindak dengan dorongan makna.

Dilihat dari kacamata Weber tersebut, tindakan-tindakan Mahbub cenderung pada point ketiga, yakni rational action. Mahbub terkenal sebagai sosok yang rasional dan tidak mau tunduk pada siapapun. Buktinya, Mahbub menolak saat hendak dijadikan anggota DPR, dia lebih suka menjadi penulis yang cenderung bebas. Berkaitan dengan Mahbub yang enggan menjadi bagian dari barisan-barisan teknokrat dan birokrat dapat diduga sebagai bentuk dukunganya terhadapeksistensi kelompok-kelompok dalam mayarakat yangberaneka ragam.

Dia mendorong kelahiran berbagai aksi sosial untuk mewujudkan berbagai perubahan sosial. Sebagaimana, dapat kita saksikan dalam lintasan sejarah bangsa kita, kemerdekaan direbut berkat aksi kelompok-kelompok yang tersusun dari individu dari berbagai barisan: Santri, Kiai, Petani, Pelaut, Pedagang, Seniman, Budayawan, Cendekiawan, Pelajar, Preman, Bikers, Para Dukun, Orang Miskin, Orang Kaya, Tukang Loak, Tukang Becak, dan semua yang tidak bisa disebut satu persatu.

Terakhir, selamat hari Ulang Tahun ke-1 buat Mahbub Djuanidi Center (MDC). Inisiatif MDC patut diapresiasi oleh pasukan ideologis PMII. Tidak hanya merawat, melainkan juga mengembangkan gagasan-gagasan beliau yang masih tercecer dan belum tersistematisasikan. Tidak cukup hanya membanggakan sahabat KH Mahbub Djunaidi, seorang Pendekar Pena, Kolomnis, Esais, dan lain-lain, melainkan mendesak sekali elaborasi buah pikir dengan bentuk tulisan-tulisan dengan ragam perspektif dan paradigma terbarukan. Amin, Lahulal-Fātihah…!


Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidyatullah Jakarta