Ramadhan

Lailatul Qadar Hadir dalam Perilaku Baik dan Damai

Sel, 28 Mei 2019 | 04:25 WIB

Lailatul Qadar merupakan momen istimewa penuh kemuliaan di bulan Ramadhan. Pada saat bulan suci menyisakan 10 hari terakhir, setiap umat Islam menginginkan agar bertemu malam Lailatul Qadar. Hal penting yang harus diperhatikan yaitu seseorang jangan hanya pasif menunggu malam Lailatul Qadar tiba, tetapi keistimewaan malam tersebut harus direngkuh secara aktif dengan sejumlah ibadah dan amal kebaikan.

Dengan demikian, untuk bertemu malam Lailatul Qadar, seseorang sesungguhnya bisa mempersiapkan diri sedari awal Ramadhan tiba. Ini menunjukkan bahwa kebaikan harus bersifat kontinu atau terus-menerus sebagaimana kemulian yang ditunjukkan pada malam lailatul qadar dan dampaknya terhadap kehidupan di masa-masa yang akan datang.

Ulama Tafsir Indonesia, Profesor Muhammad Quraish Shihab dalam Membumikan Al-Qur’an (1999) mengungkapkan sejumlah hal agar seseorang bisa bertemu malam Lailatul Qadar. Sebagai berikut:

Pertama, Al-Qur’an menyatakan, bahwa dalam malam lailatul qadar, Malaikat turun (QS Al-Qadr: 4) تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ (Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan).

Ketika Malaikat turun dan mengunjungi seseorang, Malaikat senang dengan kebaikan, melingkupi kebaikan apa saja. Malaikat mendukung manusia yang berbuat baik. Dengan demikian, melakukan kebaikan secara terus-menerus bisa mengantarkan manusia mendapatkan malam lailatul qadar.

Lalu kebaikan yang seperti apa? Berbuat baik juga terkait dengan kesempatan dan waktu. Artinya, manusia jangan menunda kebaikan, apalagi ketika orang lain sangat membutuhkan bantuan dan kebaikan tersebut saat itu juga. Di situlah malam kemuliaan akan datang kepada manusia yang Malaikat juga turut datang kepadanya.

Kedua, di malam lailatul qadar ada kedamaian sampai fajar (QS Al-Qadr: 5) سَلَامٌ هِيَ حَتَّىٰ مَطْلَعِ الْفَجْرِ (Malam itu penuh kedamaian sampai terbit fajar). Artinya, damai dengan diri dan damai dengan orang lain. Damai itu ada damai aktif dan ada damai pasif. Misal ketika manusia naik bus, banyak orang di bus, lalu hanya duduk diam, tidak menyapa samping kiri dan samping kanannya. Hal itu termasuk damai, tetapi damai pasif.

Lain halnya dengan damai aktif yaitu ketika saling menyapa atau memberi sesuatu kepada orang lain dengan tujuan yang baik. Hal ini juga berlaku bahwa ketika manusia tidak bisa memuji orang lain, tidak perlu memakinya. Kalau tidak bisa memberi sesuatu kepada orang lain, jangan lalu mengambil haknya. Kalau tidak bisa membantunya, jangan menjerumuskannya. Ini prinsip kedamaian yang dapat mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin. Di saat itulah manusia mendapat malam kemuliaan, yaitu malam lailatul qadar. 

Poin penting yang harus diperhatikan di sini ialah selain bertemu malam lailatul qadar, manusia juga mendapatkannya. Kata ‘mendapatkan’ mempunyai konsekuensi bahwa seseorang harus melakukan ibadah dan amal kebaikan sehingga mendapatkan kemuliaan malam tersebut.

Di dalam Qur’an Surat Al-Qadr ayat 2 dijelaskan, wama adraka ma lailatul qadar (dan tahukah kamu malam lailatul qadar?). Wahyu Allah SWT tersebut ingin menegaskan bahwa betapa mulianya malam lailatul qadar dan hal itu dijelaskan oleh ayat-ayat selanjutnya.

Prof Quraish Shihab (1999) menjabarkan tentang potongan ayat wama adraka. Semua uraian Al-Qur’an yang dimulai dengan wama adraka menunjukkan bahwa sesuatu itu tidak terjangkau atau hampir tidak terjangkau oleh nalar manusia.

Lailatul qadar sedemikian agung sehingga tidak terjangkau oleh nalar manusia. Sebab itu dalam ayat kedua QS Al-Qadr dijelaskan wama adraka ma lailatul qadar. Hari kiamat itu wama adraka, wama adrakamal haqqah. Bintang, wama adrakamat thariq. Tidak terjangkau kecuali Allah SWT atau Rasulullah SAW menyingkap sebagian darinya.

Datangnya malam lailatul qadar tidak seorang pun yang mengetahui tepatnya kapan. Selama ini umat Islam hanya membaca tanda-tanda malam yang menurut Al-Qur’an lebih baik dari 1.000 bulan ini. Betapa mulianya malam lailatul qadar karena mampu membawa seorang hamba pada ketakwaan yang hakiki. (Fathoni)