Hikmah

Ketika Nabi Musa Bertanya ‘Di Mana Aku Mencari-Mu, Allah?’

Rab, 5 Juni 2019 | 07:00 WIB

Dalam kitab al-Zuhd, Imam Ahmad bin Hanbal mencatat riwayat tentang Nabi Musa yang bertanya kepada Allah. Berikut riwayatnya:

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ، حَدَّثَنِي أبِي، حَدَّثَنَا سَيَّارٌ، حَدَّثَنَا جَعْفَرٌ، عَنْ عِمْرَانَ الْقَصِيرِ قَالَ: قَالَ مُوسَى بْنُ عِمْرَانَ: أَيْ رَبِّ، أَيْنَ أَبْغِيكَ؟ قَالَ: ابْغِنِي عِنْدَ الْمُنْكَسِرَةِ قُلُوبُهُمْ؛ إِنِّي أَدْنُو مِنْهُمْ كُلَّ يَوْمٍ بَاعًا، وَلَوْلَا ذَلِكَ لَانْهَدَمُوا

Abdullah bercerita, ayahku bercerita kepadaku, Sayyar bercerita, Ja’far bercerita, dari ‘Imran al-Qashiri, ia berkata:

Musa bin ‘Imran berkata: “Wahai Tuhan, di mana aku mencari-Mu?”

Allah menjawab: “Carilah Aku di sisi orang-orang yang hancur hatinya. Sesungguhnya Aku dekat dengan mereka setiap hari (sejarak) satu bâ’ (sekitar dua lengan). Jikalau tidak demkian, mereka pasti roboh (binasa).” (Imam Ahmad bin Hanbal, al-Zuhd, Kairo: Dar al-Rayyan li al-Turats, 1992, h. 95)

****

Kita adalah manusia yang bisa mencita-citakan kebahagiaan; bisa merencanakan kehidupan, dan bisa memprediksi tindakan. Namun, kita seringkali terlalu tenggelam. Lupa akan sekitar dan sesama. Cara pandang kita menjadi searah. Penglihatan kita menjadi sejurus. Jika berhasil, kita lupa menyelipkan pandang untuk sesama. Jika gagal, kita enggan menyalahkan diri sendiri, dan mencari kambing hitam. Siapa lagi kalau bukan orang lain, bahkan dalam tingkatan paling kritis, tidak sedikit yang menyalahkan Tuhan.

Syekh Hamzah Yusuf Hanson pernah berkata: “Everyone’s a believer when things are going fine. The real faith is when one becomes patient with tribulations—Semua orang adalah mukmin ketika semuanya berjalan baik. Iman sejati adalah, ketika seseorang mampu bersabar dengan musibah (yang menimpanya).” 

Akan tetapi, manusia memiliki kadar bersabar yang berbeda-beda. Tidak semua orang bisa seperti Nabi Ayyub yang tidak pernah mengeluh meskipun menderita penyakit yang luar biasa buruk. Karena itu, Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya yang lain untuk membantu. Ini menunjukkan bahwa dalam Islam, faktor eksternal tidak kalah pentingnya dengan faktor internal. Karena keduanya saling melengkapi dan berkesinambungan sepanjang zaman. Jika salah satunya hilang, bisa jadi dunia akan kehilangan fungsinya.

Faktor internal yang dimaksud adalah bersabar, bahwa manusia dituntut untuk mendidik dirinya sendiri saat menghadapi musibah. Namun, tidak semua orang memiliki kemampuan yang sama dalam memahami kesabaran, hingga berpengaruh pada pengamalannya. Karena pemahaman tentang “sabar” berkaitan erat dengan banyak hal, salah satunya ilmu pengetahuan, atau pendidikan yang didapatnya sejak dini. Karena itu, Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk saling membantu, terutama membantu orang-orang yang sedang kesusahan. Inilah yang dimaksud faktor eksternal.

Dalam riwayat di atas, Nabi Musa ‘alaihissalam bertanya: “Wahai Tuhan, di mana aku mencari-Mu?” Allah menjawab: “Carilah Aku di sisi orang-orang yang hancur hatinya. Sesungguhnya Aku dekat dengan mereka setiap hari (sejarak) satu bâ’ (sekitar dua lengan). Jikalau tidak demkian, mereka pasti binasa.” Artinya, Islam mendorong umatnya untuk melihat ke sekitarnya, dan memperhatikan orang-orang yang membutuhkan. Tidak hanya itu, Islam menyuruh pemeluknya untuk mencari orang-orang yang membutuhkan dan membantu mereka, hingga Allah menegaskan bahwa diri-Nya sangat dekat dengan orang-orang yang hancur hatinya (kesusahan).

Dengan demikian, siapapun yang berkehendak menemukan Allah, ia harus membantu orang-orang yang kesusahan. Karena di sanalah rida dan rahmatNya berada. Saking pentingnya, Allah menekankan perintah tersebut dengan kiasan yang paling tinggi, dengan menggunakan Nama-Nya. Dalam sebuah hadits diceritakan (HR. Imam Muslim):

عن أبي هريرة، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: يَا ابْنَ آدَمَ مَرِضْتُ فَلَمْ تَعُدْنِي، قَالَ: يَا رَبِّ، كَيْفَ أَعُودُكَ وَأَنْتَ رَبُّ الْعِزَّةِ؟ فَيَقُولُ: أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ عَبْدِي فُلانًا مَرِضَ فَلَمْ تَعُدْهُ، وَلَوْ عُدْتَهُ لَوَجَدْتَنِي عِنْدَهُ، وَيَقُولُ: يَا ابْنَ آدَمَ اسْتَطْعَمْتُكَ فَلَمْ تُطْعِمْنِي، فَيَقُولُ: يَا رَبِّ كَيْفَ أُطْعِمُكَ وَأَنْتَ رَبُّ الْعِزَّةِ؟ فَيَقُولُ: أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ عَبْدِي فُلانًا جَاءَكَ يَسْتَطْعِمُكَ فَلَمْ تُطْعِمْهُ، أَمَا عَلِمْتَ أَنَّكَ لَوْ أَطْعَمْتَهُ لَوَجَدْتَ ذَلِكَ عِنْدِي، فَيَقُولُ: يَا ابْنَ آدَمَ اسْتَسْقَيْتُكَ فَلَمْ تَسْقِنِي، فَيَقُولُ: أَيْ رَبِّ كَيْفَ أَسْقِيكَ وَأَنْتَ رَبُّ الْعِزَّةِ؟ فَيَقُولُ: أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ عَبْدِي فُلانًا اسْتَسْقَاكَ فَلَمْ تَسْقِهِ، وَلَوْ سَقَيْتَهُ لَوَجَدْتَ ذَلِكَ عِنْدِي

Dari Abu Hurairah: Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah ‘Azza wa Jalla berfirman di hari kiamat: “Hai anak Adam, Aku telah sakit, tapi kau tidak menjenguk-Ku. Orang itu bertanya: Wahai Tuhan, bagaimana caraku menjenguk-Mu, sedangkan Kau Tuhan yang Maha Kuasa? Allah menjawab: Apakah kau tidak mengetahui bahwa seorang hamba-Ku bernama Fulan sakit tapi kau tidak mau menjenguknya. Sekiranya kau menjenguknya, pasti kau dapati Aku di sisinya.

Wahai anak Adam, Aku minta makan kepadamu, tapi kau tidak mau memberikan makan kepada-Ku. Orang itu bertanya: Wahai Tuhan, bagaimana caraku memberi makan kepada-Mu, sedang Kau Tuhan yang Maha Kuasa? Allah berfirman: Apakah kau tidak tahu adanya seorang hamba-Ku, si Fulan, telah datang meminta makan kepadamu, tapi kau tidak memberinya makan. Sekiranya kau memberinya makan, pasti kau akan menemukan balasannya di sisi-Ku.

Wahai anak Adam, Aku minta minum kepadamu, tapi kau tidak mau memberi-Ku minum. Orang itu bertanya: Wahai Tuhan, bagaimana caraku memberi-Mu minum, padahal Kau Tuhan yang Maha Kuasa? Allah berfirman: Apakah kau tidak tahu bahwa hamba-Ku, si Fulan, minta minum kepadamu tapi kau tidak mau memberinya minum. Sekiranya kau memberinya minum, pasti kau akan menemui balasannya di sisi-Ku.” (Imam Abu al-Hasan Muslim bin al-Hajjaj al-Naisaburi, Shahîh Muslim, Riyadl: Dar al-Salam li al-Nasyr wa al-Tauzi’, 2000, h. 1126).

Dalam hadits tersebut, Allah mengingatkan orang yang tidak menjenguk-Nya, serta tidak memberiNya makan dan minum. Hamba-hambanya bertanya, bagaimana cara kami menjenguk-Mu, serta memberi-Mu makan dan minum, padahal Kau adalah Tuhan yang Maha Kuasa. Jawaban Allah menunjukkan pentingnya berbagi dengan sesama, dan pentingnya membantu orang yang membutuhkan. Sehingga siapa pun yang melakukan itu, ia seperti menjenguk Allah, dan Allah akan membalasnya dengan pahala yang besar.

Maka dari itu, salah satu cara paling mudah mencari Tuhan adalah dengan cara mencari orang-orang yang kesusahan dan membantunya. Allah sendiri mengatakan Dia sangat dekat dengan mereka. Jika tidak, sudah barang tentu mereka akan terjatuh dan roboh. Karena itu Allah berfirman (QS. Al-Baqarah: 153):

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

“Wahai orang-orang yang beriman, mohonlah pertolongan dengan sabar dan shalat. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” 

Allah telah menaruh kesabaran di hati setiap orang, dan memerintahkan mereka menggunakannya (faktor internal), atau menjadikan sabar dan shalat sebagai penolong, karena sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar. Sebagai penyeimbang, Allah juga memerintahkan manusia untuk menolong orang-orang yang kesusahan (faktor eksternal), agar kesabaran mereka dikuatkan dari luar, dan mereka semakin mengenali diri mereka sendiri, hingga pelahan-lahan mereka memahami, bahwa di setiap hati manusia ada kesabaran. Tergantung bagaimana mereka membangkitkannya. Wallahu a’lam bish shawwab.


Muhammad Afiq Zahara, alumni PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.