Internasional

Nuansa Kehilangan atas Kepergian Mbah Maimoen dari Adelaide 

Kam, 8 Agustus 2019 | 15:00 WIB

Nuansa Kehilangan atas Kepergian Mbah Maimoen dari Adelaide 

M Noor Harisuddin (kiri keempat) bersama  jamaah NU di Bellevue Height Adeleide South Australia.

Adelaide, NU Online
Wafatnya KH Maimoen Zubair di Makkah Arab Saudi, Selasa (6/8) yang bersamaan dengan musim haji membuat semua kalangan kehilangan. Tak terkecuali Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Australia-New Zealand di Kota Adelaide. 
 
Kota yang indah dan menjadi ibu kota South Australia ini menjadi saksi bisu bahwa ada duka yang mendalam atas meninggalnya sang maha guru, Mbah Maimoen, sebutan populer untuk almarhum dan almaghfurlah. 
 
Bagaimana nuansa kesedihan yang dirasakan sejumlah kalangan saat berita duka tersebut diterima? Berikut catatan M Noor Harisuddin yang dikirim kepada NU Online.
 
Dirinya bersyukur bisa hadir ke Australia pada musim dingin ini dalam rangka mengkampanyekan Islam Nusantara. Hal tersebut atas undangan Prof Kiai Nadirsyah Hosen selaku Rais PCINU Australia New Zealand dan Mas Tufel (Ketua) mengundang dalam rangka Dakwah Musim Dingin 2019 dengan tema tersebut untuk dua pekan lamanya sejak Ahad hingga Selasa (4-20/8).
 
Setelah sempat terhambat karena visa yang tak kunjung keluar sebab salah kamar, akhirnya segalanya berjalan lancar. “Saya pun langsung berangkat dari Jember ke Denpasar Bali menuju Adelaide Australia,” kata Guru Besar Ushul Fiqih IAIN Jember tersebut. 
 
Selama perjalanan dari Denpasar Bali ke Adelaide, memori bersama Mbah Maimoen tak bisa hilang begitu saja. Terakhir, setelah Idul Fitri, tepatnya Ahad (9/6), dirinya bersama keluarga sowan kepada ke Sarang, Jawa Tengah.  
 
“Secara spesial, saya  mendapat ijazah sanad kitab Bughyatul Mughtarin, sementara tamu yang lain yang berjumlah lebih dua puluh orang tidak mendapat sanad serupa,” kata Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Jember ini. 
 
Ada kebanggaan, apalagi kala itu Mbah maimoen memegang erat tangannya sembari membisikkan akan pentingnya kitab ini sekitar seperempat jam lamanya. “Saya hanya menjawab inggih atas semua yang beliau sampaikan,” aku Ketua Umum Asosiasi Penulis dan Peneliti Islam Nusantara tersebut.  
 
Sebelumnya, di hadapan tamu, Mbah Maimoen bercerita banyak tentang sejarah Islam dan peran habaib dalam penyebaran Islam di Indonesia. Hal tersebut disampaikan hampir 1 jam lamanya. 
 
Agar didengar hadirin, Mbah Maimoen menggunakan pengeras suara sehingga terdengar keras. “Kami yang berada di sebelah depan kanan beliau, menjadi ikut menikmati uraian demi uraian bernas dan mencerahkan tersebut,” kenangnya. 
Tak terasa, mulai pukul empat sore hingga hampir Maghrib waktu setempat. Kamipun minta izin pulang.         
 
Memori Wakil Ketua Pengurus Wilayah Lembaga Dakwah NU Jawa Timur tersebut juga merekam tahun 1997. “Saat itu, saya adalah santri Ma’had Aly Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo. Pada bulan Ramadlan tahun itu, saya ikut ngaji posonan atau mengaji pada bulan Ramadlan di Pesantren Al-Anwar Sarang, Rembang,” ungkapnya. 
 
Kala itu dia bersama santri lain mengaji beberapa kitab. Singkat cerita, setelah selesai ngaji posonan setengah bulan lamanya, hadirin mohon pamit kala malam hari. Banyak tamu yang kebetulan bersama. 
 
Seperti biasanya, malam itu, semua diberi makan. “Hanya saja, saya yang paling cepat makannya,” ungkapnya. 
 
Mbah Maimoen dengan nada guyon mengatakan: ”Kalau makannya cepat, insyaallah dapat ilmunya juga cepat.”. 
 
Bagi orang lain, mungkin ini perkataan yang biasa. “Namun bagi saya yang saat itu menjadi mahasiswa semester tiga Fakultas Syariah IAI Ibrahimy Situbondo, perkataan beliau merupakan hal yang luar biasa,” katanya. 
 
Apa yang dikatakan Mbah Maimoen, menjadi inspirasi persis atas apa yang ditulis oleh Ibnu Athailah al-Iskandari dalam kitab Hikam: Kaifa takhruqu laka al-‘awaidu wa anta lam tukhriq min nafsika al-‘awaida. Terjemah bebasnya bagaimana mungkin kau dapat menjadi luar biasa, sementara yang kau lakukan adalah hal-hal yang biasa saja. 
 
“Bagi santri seperti kami, inspirasi Mbah Maimoen itu menjadi semacam api yang terus menyala untuk melakukan hal-hal luar biasa dalam kehidupan,” kata Pengasuh Pondok Pesantren Darul Hikam Jember tersebut. Untuk mencapai hasil yang besar, harus ada usaha besar. Dan agar mencapai hasil yang luar biasa harus melakukan perbuatan yang luar biasa, lanjutnya.     
 
Termasuk hal ‘luar biasa’ adalah shalat ghaib dan tahlil di Kota Adelaide. Katib Syuriyah PCINU Australia New Zealand, Ustadz Sabilil Muttaqin ‘calon’ Ph.D, mengundang pengurus dan jamaah NU dengan agak pesimis. Maklum karena shalat ghaib dan tahlil dilakukan pada Rabu sore (7/8) di mana umumnya anggota NU masih kuliah atau bekerja. 
 
Apalagi ditambah musim dingin yang disertai hujan membuat sebagian orang Australia menjadi malas beraktivitas. Meski demikian, Mbak Nella pemilik rumah di Bellevue Height Adeleide South Australia yang ditempati acara ini sangat senang dengan kehadiran para anggota jamiyah NU tersebut. 
 
Dia menyiapkan makanan malam khas Indonesia yang lezat untuk rombongan. Mbak Nella dan juga suaminya, Prof. Jimmi (alm) adalah jangkar NU di Australia karena komitmennya yang tinggi pada eksistensi organisasi Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand. 
 
“Alhamdulillah, meski tidak sangat banyak seperti di Indonesia, beberapa warga NU Australia di Adelaide yang bergabung bersama kami,” jelasnya. 
 
Waktu maghrib setempat (05.39 pm), rombongan shalat Maghrib berjamaah dan dilanjutkan dengan shalat ghaib. 
 
“Setelah melakukan shalat ghaib untuk almarhum Mbah Maimoen, kamipun melakukan tahlil bersama,” ungkapnya. 
 
Rasa khusyuk dan duka terlihat pada beberapa wajah yang hadir. Pada akhirnya semua harus rela dan ikhlas ditinggal oleh seorang maha guru, kiai yang sangat alim. 
 
“Kiai Maimoen adalah panutan hidup kami. Luasnya ilmu, tingginya akhlak, kesederhanaan, keikhlasan dan ketawadluan adalah samudera keteladanan yang tak pernah lapuk dimakan zaman dan tempat. Selamat jalan Kiai Maimoen,” tandasnya. (Ibnu Nawawi)