Internasional

Ritual Kurban dan Haji, Lambang Moderasi Beragama

Ahad, 11 Agustus 2019 | 10:15 WIB

Ritual Kurban dan Haji, Lambang Moderasi Beragama

Suasana shalat Idul Adha di Balai Kartini KBRI, Canberra, Ahad (11/8).

Canberra, NU Online

Masyarakat Muslim Australia yang berada di Canberra menunaikan shalat Idul Adha 1440 Hijriah di Balai Kartini Kedutaaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Canberra, Ahad (11/8). Cuaca dingin yang mencapai kisaran minus 3 derajat celcius, tak menghambat ratusan warga Muslim setempat untuk menunaikan shalat sunnah tersebut.

Dalam khotbahnya, Dosen Fakultas Syariah IAIN Jember Wildani Hefni mengetengahkan tema Visi Moderasi Beragama dalam Ritual Kurban dan Haji.

Menurut Wildan, dari aspek nilai filosofis, ritual kurban dan haji merefleksikan visi moderasi beragama yang dapat dipahami dalam arti moderat dengan meyakini cara ibadah masing-masing tanpa menyalahkan yang lain. Selain itu, pengorbanan Ibrahim menggambarkan aktualisasi integrasi cinta Tuhan dan cinta kemanusiaan.

Dikatakan, tokoh sentral dalam sejarah ritual kurban dan haji adalah Nabi Ibrahim. Ibrahim telah mengajarkan perjuangan humanistik dalam menjalankan pesan keagamaan disertai perjuangan kemanusiaan.

“Ibrahim telah mengajarkan kita bagaimana menemukan cinta sejati yang dibangun diatas ketulusan untuk berkurban hingga menuai kesalehan personal dan sosial,” ungkapnya.

Di bagian lain, Mahasiswa The Australian National University (ANU) Canberra tersebut mengutip penjelasan Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumiddin tentang sifat hati manusia yang di antaranya adalah sifat bahimiyah, (kebuasan), dan sifat syaithaniyah.

“Tidak heran, jika watak manusia seringkali dikuasai kemarahan, penuh kebencian, caci maki, dan segala perbuatan tercela lainnya,” urainya.

Dalam konteks itu, alumni Lembaga Bina Santri Mandiri (LBSM) Parung Bogor ini menekankan relevansi ritual kurban untuk menanggalkan ego primordialisme dan menenggelamkan eksklusivitas. Ritual kurban dimaksudkan sebagai perjuangan untuk menghindari cinta buta, cinta dunia berlebihan. Jiwa kebinatangan inilah yang harus disembelih agar manusia menjadi orang yang shalih dan bertakwa. Pada titik inilah, agama mengajarkan umat manusia tentang beragama yang moderat, terbuka, dan tidak terjebak pada nilai-nilai kehewanan.

“Ritual kurban sejatinya mengandung gema profetik penghayatan keberagamaan agar tak muncul kekerasan dalam aras kehidupan”, urainya.

Sedangkan ritual ibadah haji, tambah Wildan, merupakan gambaran dari kerangka konseptual moderasi beragama. Dalam proses ibadah haji, tidak lagi ada perbedaan status sosial, tidak ada atasan-bawahan, tidak ada orang kaya-miskin, semuanya sama. Yang berbeda hanya pada konteks praktik ibadah yang dijalankan. Keragaman dalam keberagamaan adalah sebuah keniscayaan dalam proses ibadah haji.

“Ibadah haji mempertemukan keragaman etnis, budaya, suku, bangsa, bahasa, dialek, dan bahkan praktik serta pemahaman keagamaan. Disitulah nilai toleransi dijungjung. Keragaman dalam keberagamaan dilakukan. Nilai inilah yang seharusnya berimplikasi positif terhadap aktifitas kehidupan yang damai,” pungkas Alumnus PMII IAIN Wali Songo.

Shalat Idul Adha tersebut berkat kerjasama Australia-Indonesia Muslim Foundation Australian Capital Territory (AIMF-ACT) dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Canberra. (Aryudi AR)