Opini

Sudahkah Masjid Memenuhi Hak Beribadah Kelompok Difabel?

Sel, 13 Agustus 2019 | 07:00 WIB

Sudahkah Masjid Memenuhi Hak Beribadah Kelompok Difabel?

Saatnya fiqih berorientasi pada perwujudan kesetaraan dan pemberdayaan kelompok yang selama ini dikucilkan. Ilustrasi (news.de)

Oleh Bahrul Fuad 

“Saya shalat (Idhul Adha) benar-benar nangis, teringat (selama) 11 tahun saya shalat di rumah mengikuti TV di Istiqlal, dan hari ini saya berada di dalamnya…haru banget.”

Ini adalah salah satu kesan yang disampaikan oleh teman-teman difabel usai menjalankan ibadah shalat Idul Adha 1440 H di Masjid Istiqlal kemarin. Perasaan gembira, haru, dan penuh semangat mewarnai raut wajah sebagian jamaah difabel yang datang dari berbagai wilayah di Jabodetabek. Beberapa teman difabel dari Bogor bahkan rela patungan menyewa bus dan berangkat jam 03.00 pagi untuk menuju Masjid Istiqlal.

Salah seorang teman difabel pengguna kursi roda menyampaikan dia sangat terharu bisa masuk ke dalam Masjid Istiqlal karena selama ini dia hanya melihat masjid kebanggaan rakyat Indonesia itu dari luar pagar. Saat itu dia juga merasa sangat dimanusiakan bahwa dia bisa shalat berjamaah duduk di kursi rodanya di shaf depan sejajar dengan shaf jamaah lainnya. Selama ini jika dia shalat di masjid dekat rumahnya selalu meninggalkan kursi rodanya di luar kemudian merangkak masuk ke dalam masjid. 

Seorang sahabat tuli juga menyampaikan bahwa shalat Idul Adha minggu lalu sangat mengesankan baginya karena pertama kali dia bisa mengikuti isi ceramah Ustadz Yusuf Mansur dengan lengkap. Selama ini jika shalat Jumat atau shalat Id dia tidak pernah tahu isi khutbahnya. Bahkan jika dia bertanya pada orang di sampingnya tentang isi khutbah Jumat seringkali tidak mendapatkan informasi yang lengkap.

Pada kegiatan shalat Idul Adha 1440 H di Masjid Istiqlal kemarin adalah pengalaman pertama bagi pengurus masjid terbesar di Asia Tenggara ini. Badan Pelaksanaan Pengelolaan Masjid Istiqlal dengan didukung Bimas Islam Kementerian Agama berusaha semaksimal mungkin untuk memfasilitasi para jamaah difabel. Pintu Masuk Ar Rahman merupakan pintu yang ramah bagi difabel dibuka kembali dan dimanfaatkan secara maksimal. Pada pintu ini sudah tersedia tempat parkir khusus bagi difabel, tempat wudhu ramah difabel, ubin penuntun bagi difabel netra, dan juga lift khusus bagi difabel.

Selain itu pihak Istiqlal juga menyediakan dua layar berukuran besar dan beberapa layar TV monitor yang tersebar di beberapa sudut ruang Masjid Istiqlal yang menayangkan gambar Juru Bahasa Isyarat bagi saudara-saudara tuli pada saat khutbah berlangsung. Tak cukup itu, pihak Masjid Istiqlal juga mengerahkan para relawan dari Remaja Masjid Istiqlal dan Komunitas Pemuda Lintas Iman yang sudah bersiap sejak pukul 03.00 pagi untuk membantu teman-teman difabel yang akan menjalankan shalat Idul Adha.

Kegiatan Shalat Idul Adha 1440 H di Masjid Istiqlal yang ramah bagi difabel ini merupakan hasil dari proses advokasi yang cukup panjang sejak diterbitkannya buku Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas. Sosialaisasi dan diskusi tentang buku Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas tersebut intensif dilakukan dalam berbagai kesempatan. Begitu juga pendekatan dengan berbagai pihak yang berkepentingan juga dilakukan guna memastikan terwujudnya kesadaran atas hak dan kebutuhan khusus para difabel di bidang peribadatan. Banyak pihak terlibat dalam hal ini seperti TAF, PBNU, Lakpesdam NU, P3M, Yakkum, Bimas Islam Kementerian Agama, dan tentu BPP Masjid Istiqlal sebagai pelaksana.
Kami para difabel berharap pemenuhan hak dan kebutuhan khusus difabel dalam rangka menjalankan peribadatan terus dilakukan oleh Masjid Istiqlal dan seluruh masjid di Indonesia.

Praktik ajaran agama yang selama ini banyak dimanfaatkan untuk ibadah yang berorientasi pada keshalihan individual sudah saatnya kini bergeser pada keshalihan sosial yang berorientasi pada kemaslahatan umat. Akhir-akhir ini wacana keagamaan khususnya Islam di Indonesia banyak didominasi oleh diskusi tentang bagaimana berpakaian, takfir (saling menuduh kafir), dan perebutan kekuasaan. Padahal banyak persoalan yang membebani masyarakat kita belum banyak terselesaikan dengan baik, seperti akses pendidikan, akses kesehatan, akses ekonomi, dan termasuk akses menjalankan peribadatan bagi kelompok minoritas seperti difabel.

Oleh karena itu sudah saatnya kajian fiqih yang merupakan sarana untuk memahami syariat Islam dan sekaligus mengatur berbagai aspek kehidupan manusia mulai diarahkan pada hal-hal yang berorientasi pada perwujudan kesetaraan dan pemberdayaan kelompok masyarakat yang selama ini ditinggalkan dan dikucilkan.


Penulis adalah aktivis difabel; anggota tim penulis buku "Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas" terbitan LBM PBNU, P3M, PSLD Unibraw (2018)