Syariah

Bernazar dalam Hati, Apakah Sah?

Rab, 25 September 2019 | 11:15 WIB

Bernazar dalam Hati, Apakah Sah?

Nazar wajib dilakukan bila terkait dengan perbuatan ibadah sunnah, bukan maksiat.

Pada pembahasan sebelumnya, sudah dijelaskan bahwa nazar merupakan salah satu penguat sebuah perkataan yang diucapkan oleh seseorang. Hal yang asalnya bersifat anjuran, akan menjadi wajib dilakukan ketika dinazari. Terkait persoalan nazar ini, Rasulullah menegaskan bahwa nazar hanya berlaku pada perbuatan yang mengandung ketaatan, dan tidak berlaku pada hal-hal yang mengandung kemaksiatan. Dalam salah satu haditsnya beliau bersabda:
 
مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلَا يَعْصِهِ
 
“Barangsiapa yang bernazar untuk taat pada Allah maka taatlah. Dan barangsiapa yang bernazar untuk durhaka (melakukan maksiat) pada Allah maka jangan durhaka pada-Nya” (HR Bukhari).
 
Sehingga ketika seseorang bernazar akan melakukan maksiat, maka hal yang harus dilakukan olehnya adalah tidak melakukan apa yang ia nazarkan dan menebus perkataannya dengan denda sumpah (kafarah yamin). Tebusan tersebut ditunaikan dengan salah satu dari tiga pilihan berikut: (1) memerdekakan budak, (2) memberi makan sepuluh orang miskin dengan ketentuan setiap orang miskin diberi satu mud makanan pokok (0,6 kilogram atau ¾ liter beras), atau (3) memberikan pakaian pada sepuluh orang miskin. Jika tidak mampu melakukan satu pun dari ketiga hal di atas, maka wajib untuk berpuasa selama tiga hari.
 
Baca juga:
 
Nazar sendiri hanya dapat sah ketika perbuatan yang dinazari (manzur bih) diucapkan secara langsung lewat sebuah perkataan. Mengenai hal ini, dalam kitab al-Muhadzab dijelaskan:
 
ولا يصح النذر إلا بالقول
 
“Nazar tidak sah kecuali dengan sebuah ucapan” (Abu Ishaq as-Syairazi, al-Muhadzab, juz 1, hal. 443).
 
Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat dipastikan bahwa bernazar dalam hati atau sebatas niat saja tanpa dibarengi dengan sebuah perkataan tidak dianggap sah secara syariat. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Imam An-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ ala Syarh al-Muhadzab:
 
قال أصحابنا يصح النذر بالقول من غير نية كما يصح الوقف والعتق باللفظ بلا نية. وهل يصح بالنية من غير قول - فيه الخلاف الذي ذكره المصنف (الصحيح) باتفاق الاصحاب انه لا يصح الا بالقول ولا تنفع النية وحدها
 
“Para ashab (murid-murid Imam Syafi’i) berkata, ‘Nazar tetap sah meskipun tidak disertai dengan niat, seperti halnya sahnya wakaf dan memerdekakan budak dengan mengucapkan lafaz dengan tanpa adanya niat’. Lalu apakah nazar sah dengan niat tanpa adanya ucapan? Dalam permasalahan ini terdapat perbedaan pendapat di antara ulama yang telah dijelaskan oleh pengarang kitab. Menurut pendapat yang sahih (qaul shahih) dengan disepakati para ashab bahwa nazar tidak sah kecuali dengan ucapan, dan niat dalam hati saja tidak bermanfaat (tidak cukup) untuk digunakan nazar” (Syekh Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ ala Syarh al-Muhadzab, juz 8, hal. 451).
 
Meski nazar dalam hati atau sebatas niat saja tidak dianggap cukup secara syara’, tapi dalam berbagai permasalahan tentang nazar, niat dapat berpengaruh dalam hal mengkhususkan suatu objek nazar yang masih bersifat umum. Misalkan ketika seseorang berkata dalam nazarnya: “Aku bernazar akan pergi ke Makkah” tapi dalam hatinya ia niatkan bahwa yang ia maksud adalah haji. Maka hal yang wajib ia lakukan adalah melaksanakan ibadah haji, sehingga ia belum dianggap menunaikan kewajiban nazarnya jika hanya sebatas umrah saja. Hal demikian seperti yang dijelaskan dalam referensi berikut:
 
(فرع) قال المتولي لو قال لله علي أن أمشي إلى مكة ونوى بقلبه حاجا أو معتمرا انعقد النذر على ما نوى وإن نوى إلى بيت الله الحرام حصل ما نواه كأنه تلفظ به والله أعلم
 
“Cabang permasalahan. Imam Mutawali berkata: ‘Jika seseorang berkata: “Demi Allah aku akan berjalan menuju Makkah” dan ia niat dalam hatinya bahwa yang ia maksud (dalam perkataan tersebut) adalah haji atau yang ia maksud adalah umrah, maka perkataan tersebut sah sebagai nazar sesuai dengan apa yang ia niatkan. Dan jika ia niatkan (perkataan di atas) untuk menuju ke Baitullah maka niatnya mencukupi, seolah-olah ia mengatakannya. Wallahu a’lam” (Syekh Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ ala Syarh al-Muhadzab, juz 8, hal. 451)
 
Pengaruh sebuah niat dalam mengkhususkan (men-takhsis) nazar yang masih umum dicontohkan pula dalam permasalahan menentukan subjek pelaku nazar. Misalkan ketika seseorang berkata “Aku akan bersedekah pada fakir miskin” lalu dalam hatinya ia niat akan memberikan sedekah tersebut dengan tenaganya sendiri, tanpa melalui bantuan orang lain, maka wajib baginya untuk memberikan sedekah tersebut dengan dirinya sendiri. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam kitab Asna al-Mathalib:
 
(وإن نذر ستر الكعبة) ، ولو (بالحرير أو تطيبها أو صرف مال فيه جاز فإن نوى المباشرة) لذلك (بنفسه لزمه ، وإلا فله بعثه) إلى القيم ليصرفه في ذلك
 
“Jika seseorang bernazar untuk menutupi Ka’bah, meskipun dengan kain sutra, atau ia bernazar untuk memberi wewangian pada Ka’bah atau bernazar untuk membelanjakan hartanya untuk hal tersebut maka nazar demikian diperbolehkan (sah). Jika ia niat akan melakukan hal tersebut dengan dirinya sendiri, maka wajib baginya untuk melakukannya. Jika ia tidak meniati (akan melakukan sendiri) maka boleh baginya untuk mengutus pada pengurus Ka’bah, supaya membelanjakan untuk hal tersebut” (Syekh Zakaria al-Anshari, Asna al-Mathalib, juz 7, hal. 351)
 
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa nazar hanya sah bila disertai dengan ucapan. Sehingga, nazar dalam hati merupakan nazar yang tidak sah dan tidak wajib untuk melakukannya. Namun, niat punya pengaruh pada wujud nazar yang kadung diucapkan. Ketika nazar diucapkan dengan kalimat yang masih umum tapi hati meniatkannya untuk hal yang spesifik, maka wujud nazar yang wajib ditunaikan adalah perbuatan yang sesuai dengan niat spesifik tersebut. Wallahu a’lam.
 
 
Ustadz M. Ali Zainal Abidin, Pengajar di Pondok Pesantren Annuriyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember