Syariah

Menyikapi Barang Temuan di Area Bencana dalam Fiqih Muamalah

Ahad, 19 Januari 2020 | 01:00 WIB

Menyikapi Barang Temuan di Area Bencana dalam Fiqih Muamalah

Saat benda semacam ini hanyut dan terbawa banjir, dan identitas asli mobil tersebut masih ada, maka sudah pasti, status kepemilikan mobil ini tidak bisa dipandang sebagai harta temuan (luqathah) karena syarat utama barang dapat disebut sebagai harta luqathah adalah bila barang tersebut tidak diketahui identitasnya.

Relasi pemerintah dan masyarakat/rakyatnya diikat oleh kemaslahatan. Relasi ini bersifat mu’tabar (kuat). Tak diragukan lagi, semua ulama menyepakatinya. Dengan demikian, wajib hukumnya bagi pemerintah, melakukan dan mengeluarkan kebijakan dengan basis terwujudnya kemakmuran atau kemaslahatan itu. Sebagaimana bunyi kaidah:

تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة

Artinya, “Kebijakan pemimpin terhadap rakyatnya adalah mengikut mandat mewujudkan kemaslahatan.” (Al-Asybah wan Nazhair, juz I, halaman 122).
 

Bahkan, dalam rangka mewujudkan kemaslahatan, perkara yang makruh dalam syariat pun, hukumnya dapat berubah menjadi wajib, manakala pemerintah menetapkan wajibnya perkara makruh tersebut dilakukan, disebabkan oleh adanya unsur kemaslahatan.

إذا أمر بواجب تأكد وجوبه وإن أمر بمندوب وجب وإن أمر بمباح فإن كان فيه مصلحة عامة كشرب الدخان وجب بخلاف ما إذا أمربمحرم أو مكروه أو مباح لا مصلحة فيه عامة إهـ

Artinya: “Ketika seorang pemimpin memerintahkan suatu kewajiban (menurut syara’), maka kewajiban itu semakin kuat. Jika ia memerintahkan sesuatu yang sunnah, maka hal itu menjadi wajib. Dan, jika ia memerintahkan sesuatu yang mubah, selama mendatangkan kemaslahatan umum, seperti larangan merokok, maka menjadi wajib menjauhi merokok. Lain halnya bila pemimpin memerintahkan suatu keharaman, atau hal-hal yang bersifat makruh atau suatu perkara mubah, akan tetapi tidak memuat unsur maslahah umum di dalamnya, (maka tidak wajib mengikuti perintah tersebut).” (Bujairami ‘alal Khatib, Juz II, halaman 238).
 

Alhasil, penekanan kaidah fiqih di atas terletak pada lafal “tasharruf” yang makna aslinya adalah “pengelolaan” sehingga tersimpan di dalamnya aspek “manajerial.” Manajerial yang dituju adalah terwujudnya kemaslahatan. Perintah pemimpin agar melakukan suatu yang diharamkan namun ada kemaslahatan berupa menjaga jiwa (nyawa), hukumnya adalah dibolehkan, meski hal itu tidak wajib diikuti.

Wajib dan tidaknya mengikuti ini adalah individu itu sendiri yang menentukan kadarnya keterpaksaan (dharurat) atas dirinya. Jika tidak berlaku kondisi dharurat, sudah pasti haram melakukan perintah haram yang datang dari imam tersebut. Bahkan seandainya perintah itu adalah makruh (bukan haram). 

Sebagai ilustrasi, pada kasus bencana tsunami di Palu dulu, pemerintah pernah mengeluarkan kebijakan bolehnya masyarakat terdampak bencana untuk mengambil harta yang tersisa dan masih selamat milik orang lain, dalam jangka waktu tertentu, seiring lumpuhnya akses transportasi umum guna menyalurkan bantuan ke wilayah terdampak. Lumpuhnya akses transportasi ini merupakan illat hukum sehingga menyebabkan berlakunya kaidah dharurat.

Tanpa keberadaan illat itu, maka sudah pasti hukumnya menjadi haram mengambil harta benda orang lain yang masih ada dalam gudang dan diketahui batas tempat penyimpanannya meski gudang itu dalam kondisi roboh. Illat keharaman dalam hal ini adalah 1) karena diketahuinya pemilik atau 2) bisa dijamin kembalinya barang kepada pemilik, asalkan pihak yang menemukan tidak bermaksud menguasainya.
 

Sebagai contoh: ada mobil yang hanyut terbawa banjir atau tsunami sehingga mobil itu berada di tempat yang jauh dari lokasi pemilik. Sudah pasti, suatu mobil dilengkapi dengan nomor platnya. Bahkan catatan dan dokumen kepemilikan ini tersimpan dengan rapi di kepolisian.

Saat benda semacam ini hanyut dan terbawa banjir, dan identitas asli mobil tersebut masih ada, maka sudah pasti, status kepemilikan mobil ini tidak bisa dipandang sebagai harta temuan (luqathah) karena syarat utama barang dapat disebut sebagai harta luqathah adalah bila barang tersebut tidak diketahui identitasnya.
 
Adapun, barang sejenis mobil itu, adalah barang yang meski pemiliknya secara langsung tidak diketahui, namun identitas pemilik tersebut yang terjamin dokumennya. Oleh karena itu, pihak yang menemukan, sudah selayaknya melaporkannya ke pihak yang berwenang bila sudah memungkinkan melaporkannya.
 

Yang sering terjadi di lapangan, justru masyarakat kadang saling lempar tanggung jawab mengenai siapa yang harus melaporkan. Dalam kondisi seperti ini, maka pihak yang berperan pertama kali, selaku yang wajib melaporkan, adalah aparat pemerintahan setempat (pak lurah/pak kepala desa). Mengapa?
 
1. Mereka memang digaji untuk mengelola potensi konflik warganya. Indonesia menganut sistem bahwa pemerintahan itu “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.” Sistem ini secara tidak langsung memberikan amanat bahwa pemerintah/aparat bertanggung jawab atas harta benda milik rakyat.

Jadi, relasi aparat dengan rakyat dalam konteks ini menyerupai relasi antara mu’jir (pengupah) dan ajir (orang yang diupah). Dengan demikian, tindakan penguasaan atau keengganan melaporkan oleh orang yang diupah (ajir) merupakan tindakan yang tidak dibenarkan oleh syariat.

2. Karena aparat kedudukannya adalah sebagai ra’i (pemimpin) yang harus menjaga kemaslahatan dan salah satu aspek kemaslahatan itu adalah hifzhul mal (menjaga harta) masyarakatnya.

Sebuah kaidah dasar fiqih menyebutkan:

منزلة الإمام من الرعية منزلة الولي من اليتيم 

Artinya, "Derajat Imam (pemimpin) terhadap rakyatnya menempati derajat wali terhadap anak yatim,” (Al-Asybah wan Nazhair, juz I, halaman 122).

Memang, tidak semua barang memiliki sertifikat hak milik dan mudah diketahui pemiliknya. Ketika hal ini terjadi pada lokasi bencana, maka sudah pasti bahwa barang itu masuk ke dalam kategori barang luqathah (barang temuan).

Untuk itu, berlaku pula hukum-hukum yang berkaitan dengan luqathah, seperti: wajib mengumumkannya selama 1 tahun, menyimpannya dan tidak berusaha menguasainya. Tindakan berusaha menguasainya diqiyaskan statusnya dengan orang yang mengghashab harta orang lain, dan hukumnya adalah haram. Keterangan ini dapat kita temukan dalam Kitab Kifayatul Akhyar, khususnya Bab Zakat. Bahkan, seandainya terjadi kerusakan pada barang tersebut, ia menjadi wajib untuk mengganti rugi (dhaman ta’widh).

Dalam versi lain, harta temuan yang tidak diketahui pemiliknya dihukumi sebagai boleh untuk dikuasai, akan tetapi harus disertai adanya jaminan. Dalam hal ini, harta temuan disamakan statusnya dengan harta amanah. Dengan demikian, bila suatu saat pemilik asli mengaku bahwa harta tersebut adalah miliknya, maka dia wajib mengembalikan. Jika harta tersebut telah habis atau rusak digunakan, maka ia wajib menggantinya. Dalam istilah fiqih, harta yang demikian diistilahkan sebagai al-malul amanah ma’at tadhmin.

Tentu, ada batasan terkait dengan barang temuan versi terakhir ini. Misalnya, harta itu mudah rusak karena terdiri dari bahan makanan. Jika tidak dikonsumsi oleh penemunya, justru menjadi harta yang tersia-siakan.

Adapun untuk temuan berupa barang berharga, seperti perhiasan emas atau yang lainnya, maka hukumnya diserupakan sebagaimana harta maghshub (harta yang dighashab), khususnya bila ada niat untuk menguasainya dari sang penemu, dan tidak memberitahukan. Wallahu a’lam bis shawab.
 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah–Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur