Bahtsul Masail

Hukum Shalat saat Susah Debu dan Air Bersih ketika Banjir

Sel, 21 Januari 2020 | 14:45 WIB

Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Redaksi Bahtsul Masail NU Online, saya ingin bertanya. Dalam kondisi banjir seperti bencana pada awal 2020 di Jakarta dan beberapa kota lain, kita tetap berkewajiban shalat. Lalu bagaimana bila ketersediaan air untuk bersuci pun terbatas. Sementara debu untuk tayamum juga tidak ada? Mohon penjelasan. Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (hamba Allah/Jakarta)

Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga Allah SWT menurunkan rahmat-Nya untuk kita semua. Dalam situasi apapun, temasuk dalam kondisi bencana, orang yang hidup tetap berkewajiban untuk melaksanakan shalat, menurut mayoritas ulama. Orang dalam situasi bencana di mana sulit mengakses air bersih dan debu yang suci, semisal bencana banjir, dalam fiqih disebut faqidut thahurain.

Syekh Wahbah Az-Zuhayli menjelaskan situasi faqidut thahurain, yaitu orang yang tidak dapat mengakses air bersih dan debu untuk bersuci dari hadats besar dan hadats kecil sebagai berikut:

فاقد الطهورين: هو فاقد الماء والتراب، كأن حبس في مكان ليس فيه واحد منهما، أو في موضع نجس لا يمكنه إخراج تراب مطهر. أو كأن وجد ما هو محتاج إليه لنحو عطش، أو وجد تراباً ندياً ولم يقدر على تجفيفه بنحو نار. ومثله المصلوب وراكب سفينة لا يصل إلى الماء. ومثله: من عجز عن الوضوء والتيمم معاً بمرض ونحوه، كمن كان به قروح لا يستطيع معها مس البشرة بوضوء ولا تيمم.

Artinya, “Faqidut thuahurain adalah orang yang tidak menemukan air dan debu; misalnya orang yang terisolasi di sebuah tempat tanpa air dan debu; di sebuah tempat najis yang tidak memungkinkannya untuk mengeluarkan debu suci; mendapati air yang dibutuhkan untuk menutupi rasa haus misalnya; atau menemukan tanah yang basah dan tidak mungkin mengeringkannya dengan api. Serupa dengan itu adalah orang yang dipasung dan penumpang kapal (besar) yang tidak sampai pada air. Sama halnya dengan orang yang tidak dapat berwudhu dan tayamum sekaligus karena sakit dan lain hal, semisal orang yang memiliki luka yang tidak dapat tersentuh air wudhu atau debu tayamum,” (Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr: 1985 M/1405 H], cetakan kedua, juz I, halaman 451).

Namun demikian, ulama berbeda pendapat perihal cara shalat dan pengulangan shalat bagi faqidut thahurain. Syekh Wahbah Az-Zuhayli mengatakan bahwa ulama berbeda pendapat perihal faqidut thahurain. Sekelompok ulama, yaitu Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanafi, berpendapat bahwa faqidut thahurain tetap wajib shalat dan wajib mengulang shalatnya.

Ulama Mazhab Hanbali mengatakan bahwa faqidut thahurain tetap wajib shalat tanpa wajib mengulang shalatnya. Sementara Mazhab Maliki berpendapat bahwa faqidut thahurain tidak wajib shalat karena tidak memenuhi syarat. Tetapi sebagian ulama Malikiyah mengatakan bahwa faqidut thahurain tetap wajib shalat.

Dalil yang diajukan oleh Mazhab Syafii adalah Surat Al-Maidah ayat 6 dan hadits nabi yang terjemahannya “Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci.” Berikut ini pandangan ulama Syafi‘iyah:

يشترط لصحة الصلاة الطهارة عن الحدث سواء في ذلك الأصغر والأكبر عند القدرة لأن فاقد الطهورين يجب أن يصلي على حسب حاله وتجب الإعادة وتوصف صلاته بالصحة على الصحيح

Artinya, “Orang yang memiliki hadats kecil atau besar disyaratkan untuk bersuci semampunya demi keabsahan shalatnya. Pasalnya, orang yang tidak mendapati air dan debu (faqidut thahurain) tetap wajib shalat bagaimana pun kondisinya dan wajib mengulangnya. Shalatnya dinilai sah menurut qaul shahih,” (Taqiyudin Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, [Damaskus, Darul Khair: 1994 M], juz I, halaman 90). 

Ulama Syafiiyah mengatakan bahwa faqidut thahurain yang berhadats besar tidak boleh membaca selain Al-Fatihah di dalam shalatnya, setidaknya menurut An-Nawawi. Sedangkan menurut Ar-Rafi‘i, faqidut thahurain tidak perlu membaca Surat Al-Fatihah dalam shalat.

Adapun Mazhab Hanbali, faqidut thahurain yang berhadats besar tidak perlu menambah bacaan setelah Al-Fatihah. Ia juga tidak perlu menambah bacaan tasbih lebih dari sekali. Ia juga tidak perlu menambah durasi thuma’ninah pada ruku, sujud, dan duduk di antara dua sujud.

Bagi salah satu pandangan di Mazhab Hanafi, faqidut thahurain baik hadats besar maupun hadats kecil berperilaku seperti gerakan orang shalat karena menghormati waktu shalat tanpa niat dan tanpa perlu membaca apapun. Ia melakukan ruku dan sujud di tempat kering dan mengulang shalatnya. Tetapi pandangan lain dalam mazhab Hanafi mengatakan bahwa faqidut thahurain cukup menunda shalatnya.

Lalu bagaimana dengan masyarakat Indonesia? Masyakarat Indonesia umum pengikut mazhab Syafi’i. Sebaiknya masyarakat tetap melakukan shalat li hurmatil wakti saat mengalami bencana dan mengulangnya saat mendapati air bersih atau debu untuk bersuci di kemudian waktu.

Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.
 

(Alhafiz Kurniawan)