Syariah

Belajar dari Kasus Investasi Bodong Qnet: Kenali Pola Skema Ponzi!

Sel, 8 September 2020 | 11:00 WIB

Belajar dari Kasus Investasi Bodong Qnet: Kenali Pola Skema Ponzi!

Skema ponzi ini bisa bersalin rupa menjadi apa saja, termasuk bersembunyi di balik bungkus ekonomi syariah.

Skema Ponzi atau yang lebih dikenal sebagai skema piramida merupakan skema bisnis setor uang ke admin dengan iming-iming imbalan atau reward. Skema ini sudah dilarang beroperasi di berbagai negara bahkan di belahan bumi mana pun.

 

Memang ada beda antara skema ponzi dengan sistem piramida. Tidak semua sistem piramida adalah haram. Bila ada wasilah barang, dan barangnya merupakan barang manfaat, maka diperoblehkan. Namun, bila barang itu tidak bermanfaat, atau hanya kecil manfaatnya sebab di tempat lain bisa didapatkan dengan Rp0, maka jelas bahwa status keberadaan barang itu hanya sebagai pengelabuan. Inti utamanya adalah skema ponzi dan arisan berantai.

 

Di Indonesia, skema ponzi ini bisa bersalin rupa menjadi apa saja. Bahkan, ada yang dibungkus dengan pola ta’awun (tolong-menolong) atau bahkan gerakan anti-riba dan sejenisnya supaya terkesan syar’i dan tidak diketahui motif sebenarnya dari pelaku.

 

Padahal, tujuan sebenarnya dari para pelaku skema ponzi ini adalah hendak maling terhadap harta orang lain yang bertindak sebagai downliner-nya. Tentu ini tidak sesuai dengan syariat.

 

Kalangan awam diikelabui dengan berbagai iming-iming imbalan yang menarik dan kadang mencatut nama seorang tokoh yang difigurkan untuk memperkuat pengelabuan dan menyembunyikan cara malingnya.

 

Ciri Umum Skema Ponzi

Ada beberapa ciri umum dari skema ponzi yang mudah untuk dikenali. Ciri paling umumnya adalah sebagai berikut:

 

  1. Ada penyetoran uang kepada pihak admin dengan alasan membeli produk atau lisensi atau biaya pendaftaran menjadi anggota
  2. Kerja hanya fokus pada rekrutmen member (anggota) baru.
  3. Seorang member hanya mendapat untung bila ia berhasil merekrut sejumlah anggota baru. Kelak ini membedakannya dari produk yang laku keras di pasaran, sehingga pihak member tidak hanya fokus pada bonus. Dengan kerja melakukan jual beli produk saja, dia sudah mendapatkan keuntungan.
  4. Bila terdapat produk yang menjadi perantara, maka umumnya produk ini hanya dijual di kalangan anggota saja dan tidak laku dipasarkan di kalangan umum. Tujuan dipasarkan di antara anggota ini adalah agar pihak yang bersangkutan juga mendaftar menjadi member baru.
  5. Harga produk tidak sesuai dengan manfaat yang didapat. Bahkan terkadang pihak yang membeli tidak tahu cara menggunakan produk itu.

 

Tips Mengenali Suatu Bisnis sebagai Skema Ponzi atau Bukan

Di tengah situasi ekonomi yang tengah lesu akibat terdampak wabah Covid seperti sekarang ini, banyak kalangan yang berusaha mencari uang secara instan. Termasuk di antaranya adalah mencari duit dengan skema ponzi. Kita ambil contoh bisnis Qnet dengan fakta-fakta sebagai berikut.

 

Pertama, Qnet menarik biaya pendaftaran anggota sebesar 10 juta rupiah. Bisnis Qnet sering dipasarkan dengan kamuflase berupa jual beli alat atau produk kesehatan, yaitu jual  beli kaca kesehatan yang diproduksi dan diperkenalkan sebagai merek Cakra. Kaca ini dihargai sebesar 10 juta rupiah. Pemasarannya dilakukan dengan mekanisme Multi Level Marketing (MLM)

 

Kedua, keuntungan member baru Qnet hanya bisa didapat dari mencari member baru lainnya. Untuk mengembalikan uang yang sudah disetorkan oleh member yang sudah mendaftar kepada upline, maka member baru harus mencari anggota lain, minimal sebanyak 2 orang member.

 

Dari pendaftaran 1 orang anggota baru ini, pihak member yang merekrut dan berperan selaku upliner, akan mendapatkan bonus sebesar 5 juta secara langsung  dari downliner. Sehingga dari 2 orang anggota downliner, tersetor kepada upliner, sebesar 10 juta. Alhasil, kerja bukan lagi pada penjualan produk, melainkan fokus pada upaya mencari anggota baru dan bonus.

 

Ketiga, produk Qnet hanya bisa dipasarkan ke anggota yang mendaftar menjadi peserta. Pola ini sebenarnya ingin menutupi jumlah uang yang disetor kepada upliner, dan sisanya dibagi-bagikan kepada para member baru yang berhasil direkrut. Mana mungkin, untuk mendapatkan suatu barang yang kelak akan diperdagangkan secara umum agar mendapatkan keuntungan lantas pemasarannya hanya dibatasi untuk anggota saja?

 

Semestinya, jika produk-produk itu memang menawarkan manfaat yang besar, maka produk itu harus dapat dipasarkan secara umum. Dan jika setiap anggota  yang mendaftar hanya berkesempatan dapat 1 produk, maka jelas bahwa produk ini hanya bersifat sebagai pengelabuan (ghabn) atas tindakan malingnya upliner terhadap harta downliner.

 

Yang kaya adalah upliner yang lebih dulu mendaftar. Downliner yang tidak bisa mendapatkan anggota baru, maka ia hanya mendapatkan produk yang sama sekali tidak bermanfaat baginya, atau hanya kecil sekali manfaatnya.

 

Dijual ke orang lain nggak bisa sebab harganya yang tinggi, sementara dipakai sendiri, juga tidak tahu prosedur dan manfaat penggunaannya.

 

Dengan demikian, jika tidak ada manfaat dan tidak bisa dijual ke pihak lain, lantas apa manfaatnya downliner memiliki barang itu? Itu tandanya, ia sudah ditipu.

 

Analisis Skema Ponzi pada Qnet

Setiap upaya mendapatkan harta yang melewati tindakan adanya kerja (kulfah) adalah sah, manakala disampaikan dalam bentuk transaksi jual beli atau investasi, kecuali ada akad lain seperti hibah, sedekah, zakat, nafkah, hadiah, hasil mewaris, penerima harta wasiat atau pemberian (athiyah).

 

Jual beli memiliki sejumlah syarat khusus dalam syariat, yaitu:

  1. Barang merupakan milik sendiri (milku al-tam)
  2. Kebebasan dalam melakukan transaksi dengan siapa saja (hurriyatu al-tasharruf)
  3. Barang yang diperjualbelikan bisa dikuasakan kepada pihak wakil atau pihak yang diberi izin melalui akad wakalah (perwakilan) atau akad ijarah (menggaji pekerja)
  4. Barang bisa diserahterimakan  (maqduru al-taslim)

 

Adapun investasi (istitsmari) memiliki syarat khusus yaitu adanya ruang usaha dan bagi hasil. (Baca: Memahami Makna Investasi dan Praktiknya).

 

Rusaknya Praktik Jual Beli dalam Qnet

Qnet mengafiliasikan diri pada  bisnis jual beli. Artinya, kita menelaahnya, juga berdasar basis akad jual beli, dan bukan akad istitsmari.

 

Jika di dalam jual beli, ada pembatasan bahwa suatu produk hanya bisa dipasarkan kepada  anggota tertentu, maka syarat semacam ini merupakan syarat yang bathil, sebab bertentangan dengan sifat barang yang wajib hurriyatu al-tasharruf (bebas ditasarufkan kepada siapapun) oleh pemiliknya abadan (selamanya).

 

Adanya ikatan penasarufan barang, yang hanya terbatas pada jalur tertentu setelah suatu barang dibeli, menandakan sifat kepemilikan barang itu bagi pembelinya (member baru) adalah bersifat kepemilikan tidak sempurna atau yang biasa dikenal dengan istilah (milkun dla’if).

 

Ikatan seperti ini hanya memungkinkan berlaku pada akad ijarah (sewa jasa/sewa manfaat), atau pada akad bai’ bi al-wafa’ (jual beli sistem sende versi Madzhab Hanafi) yang dalam versi Syafiiyah adalah termasuk akad gadai (rahn). Alhasil, mekanisme bisnis produk Qnet sudah termasuk mekanisme transaksi jual beli yang tidak sah karena faktor adanya syarat yang melemahkan status kepemilikan barang yang seharusnya sempurna.

 

Bagaimana bila dipandang dari sisi akad ijarah (sewa jasa)?

Seandainya relasi antara upliner dan downliner Qnet dipaksakan sebagai akad ijarah (sewa barang), maka akad ini rusak disebabkan adanya syarat yang disertakan kepada pihak penyewa agar mencari anggota baru agar ia mendapat untung.  Sudah barang tentu akan semacam ini menempati derajat syarath fasidah (syarat yang rusak).

 

Alasannya: Sebab orang yang menyewa, hanya memiliki 2 kewajiban yang disyariatkan, yaitu:

  1. Penyewa hanya fokus pada menempatkan penggunaan barang yang disewa sesuai peruntukannya. Jika penyewa tidak menggunakan barang sesuai umumnya peruntukan (berdasar ‘urf), maka bila terjadi kerusakan pada barang yang  disewa, maka ia wajib ganti rugi (dlaman).
  2. Penyewa wajib mengembalikan barang yang disewa kepada pemiliknya setelah selesai masa kontrak/ masa sewanya.

 

Sementara dalam praktik bisnis Qnet, barang itu tetap ada di tangan upliner, tanpa beralih ke pihak lain (downliner) ketika ada anggota baru yang mendaftar. Itu artinya, barang yang ada di tangan upliner, tidak ada tujuan untuk diperjualbelikan atau disewakan. Akad ijarah hanya berlaku pada upaya mencari anggota, sehingga penghasilan (passive income) yang kemudian disebut sebagai keuntungan itu hanya fokus dari hasil mencari anggota saja. Itu sebabnya, maka hukumnya adalah haram karena ketiadaan wasilah barang yang memperantainya, baik untuk tujuan dijualbelikan maupun untuk disewakan.

 

Bagaimana jika dipandang sebagai akad ju’alah (prestasi berbasis capaian kinerja)?

Jika mekanisme bisnis Qnet dipaksakan mengikuti akad ju’alah (prestasi capaian), maka yang patut dipertanyakan, adalah kinerja dalam bidang apa?

 

Akad ju’alah diipandang sebagai sah, sehingga anggota berhak mendapatkan ju’lu (bonus) adalah jika terdapat kejelasan target capaian berbasis kinerja. Jika target  capaian itu diperoleh dari akad jual beli, maka ketentuan ju’lu ditetapkan berdasarkan banyaknya barang yang dijual.

 

Secara jual beli, akad  bisnis Qnet sudah jelas menunjukkan tidak sahnya, dengan alasan sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Oleh karenanya, bonus yang diberikan oleh Qnet, adalah murni karena faktor pencarian anggota dan berasal dari anggota.

 

Bonus yang diperoleh dan berasal dari downliner merupakan bonus yang fasidah (rusak) dan berasal dari akad jualah atau akad ijarah yang rusak. Sebab bonus itu tidak melewati akad jual beli barang, melainkan berasal dari uang yang disetor oleh anggota baru kepada upliner-nya.

 

Bukti kuatnya adalah bahwa (1) barang yang diserahkan kepada pembeli baru, bersifat terikat dengan statusnya sebagai member baru, dan (2) barang yang diserahkan kepada member baru adalah bukan yang sudah ada di tangan uplinernya, (3) setiap person, hanya boleh memiliki satu barang, sehingga bila ada member baru, barang baru distock dari pusatnya.

 

Berangkat dari sini, maka dapat disimpulkan, bahwa secara ju’alah pun, akad bisnis Qnet ini adalah haram.

 

Jika ditinjau dari berbagai akad, mekanisme bisnis Qnet adalah tidak sah sebab rusak akadnya, maka secara hukum, bisnis dan laba yang diperoleh dari Qnet juga haram. Laba tersebut sejatinya bukan laba, tapi uang downline yang dimaling oleh upline secara tidak sah.

 

Bagaimana hukumnya secara fikih? Jawabnya, sudah pasti hukumnya adalah haram dan jelas menunjukkan skema ponzii. Ciri utamanya, memakan harta downline secara tidak sah dengan wasilah barang sebagai bahan menutupi tindakan kejahatan.

 

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Penenliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur