Syariah

Perihal Permendag tentang Penyelenggaraan MLM Lokal dan Asing di Indonesia

Kam, 19 November 2020 | 15:00 WIB

Perihal Permendag tentang Penyelenggaraan MLM Lokal dan Asing di Indonesia

MLM harus memiliki alur distribusi yang jelas, serta besaran bonus atau komisi yang wajar.

Sistem penjualan langsung berjenjang (MLM) merupakan sistem yang legal di Indonesia lewat Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 32/M-DAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Perdagangan dengan Sistem Penjualan Langsung. Tidak hanya MLM lokal, bahkan MLM asing pun secara tegas dinyatakan boleh beroperasi di Indonesia berbekal peraturan ini.

 

Permendag 32/2008 Pasal 6 menegaskan, “Perdagangan dengan sistem penjualan langsung dapat dilakukan oleh perusahaan dalam rangka penanaman modal dalam negeri atau penanaman modal asing sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal.

 

Lewat pasal ini ditegaskan bahwa perusahaan yang menggunakan sistem MLM bisa bergerak dalam 2 bidang, yaitu: investasi dan jual beli. Maksud dari investasi di sini adalah penanaman modal.

 

Karena pasal tersebut mengatur tentang kebolehan wilayah yang dirambah dalam perdagangan langsung (direct selling) maka masuknya MLM asing ke Indonesia dalam praktiknya adalah selaku penanam modal. Oleh karenanya, yang diperlukan kemudian adalah soal komposisi modal perusahaan tersebut.

 

Ketentuan perusahaan asing selaku penanam modal diatur dalam Permendag yang terbit sebelumnya, yaitu Permendag 13/M-DAG/PER/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan SIUPL (Surat Izin Usaha Penjualan Langsung). Di dalam Permendag 13/2006 ini dinyatakan bahwa MLM asing bisa beroperasi di Indonesia dengan catatan wajib bekerja sama dengan para distributor Indonesia dalam pemasaran produk.

 

Karena sinkronnya dua relasi peraturan itu maka seolah berlaku ketetapan bahwa setiap MLM asing yang hendak beroperasi di Indonesia adalah:

  1. Wajib menggandeng entitas perusahaan lokal dalam negeri
  2. Menjaga komposisi modal yang ditanamkannya di Indonesia, yaitu (1) modal minimal adalah sebesar 5 miliar rupiah, dan (2) perusahaan lokal wajib memiliki modal sebesar 2 miliar.
  3. Karena masih berlaku harus menggandeng perusahaan lokal maka dalam ketentuannya, MLM asing yang berdiri di Indonesia tetap wajib mengantongi izin SIUPL (Surat Izin Usaha Perdagangan Langsung). SIUPL bagi perusahaan yang baru memiliki durasi berlaku selama 1 tahun.
  4. Wajib menempatkan minimal 1 orang WNI dalam jajaran direksi dan 1 orang dalam jajaran komisaris utama.
  5. Komposisi kepemilikan saham perusahaan dibatasi maksimal 60% untuk pemodal asing dan sisanya 40% adalah milik pengusaha lokal.

 

Perlindungan Konsumen

Dengan mencermati bahwa komposisi modal asing dalam perusahaan yang bergerak di bidang penjualan langsung ini adalah 60% maka timbul sejumlah kekhawatiran. Kekhawatiran pertama berkaitan dengan masalah perlindungan konsumen. Kekhawatiran kedua berkaitan dengan soal persaingan perdagangan yang sehat.

 

Untuk melindungi konsumen, pemerintah mengatur bahwa setiap usaha/bisnis yang melakukan perdagangan langsung wajib memiliki SIUPL atau Surat Izin Usaha Perdagangan Langsung.

 

Jadi, apabila ada tawaran dari entitas usaha yang tidak memiliki SIUPL, masyarakat diimbau untuk waspada: jangan-jangan perusahaan direct selling (DS) itu adalah yang penyelenggara money game. Tidak peduli usaha itu menawarkan skema bisnis apa pun, baik dalam bentuk adanya barang yang dijualbelikan atau penawaran skema investasi.

 

Masyarakat diimbau untuk tidak gampang tergiur dengan tawaran reward atau iming-iming penghasilan dan bonus yang besar dan tidak masuk akal. Sebab, iming-iming ini yang sering menjebak timbulnya kerugian bagi masyarakat lain yang mendaftar terakhir saat skema bisnis itu telah jenuh.

 

Selain terkait dengan dana masyarakat, hak konsumen untuk mendapatkan produk yang berkualitas dengan harga yang terjangkau dan sesuai dengan manfaat, merupakan objek lain dari perlindungan tersebut. Seringkali kita menemui adanya MLM yang memasarkan produk dengan harga yang cukup fantastis, dan menjanjikan bonus langsung yang cukup fantastis pula.

 

Praktik semacam ini tentu merupakan salah satu ladang bagi tumbuh suburnya praktik ighra’, yaitu praktik lalainya tugas seorang tenaga marketing dari menjual produk dan justru terjerembab pada aktivitas pencarian anggota semata.

 

Adanya produk yang sebenarnya berharga murah namun menjanjikan bonus yang menggiurkan dan berharga mahal, juga merupakan salah satu praktik yang bisa membahayakan konsumen disebabkan ia tidak mendapatkan manfaat produk yang diharapkan. Akhirnya, ia terjerembab dalam praktik jual beli barang yang sejatinya kecil sekali manfaatnya.

 

Yang paling mengkhawatirkan adalah bilamana masyarakat dikelabui oleh praktik jual beli produk mondial dan fiktif. Beberapa kali MLM asing terbukti pernah melakukan hal demikian, misalnya Qnet, dan beberapa MLM yang sudah scam.

 

 

Kasus yang hampir serupa adalah MLM yang dibawa oleh PT Tiansha, atau yang dikenal dengan Tiens. Namun, akhir-akhir ini Tiens membuka MLM yang berbasis syariah. Penegasan dari pimpinan APLI (Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia), Tiens juga sudah masuk dalam bagian dari perusahaan MLM yang ada di bawah pengawasannya.

 

Alhasil, kerja para pengamat dan peneliti sistem pemasaran langsung, tinggal mengamati dan menetapkan hukumnya secara syariah tentang bagaimana praktik sebenarnya dari perusahaan MLM asing semacam Tiens ini (PT Tiansha) di Indonesia. Akankah masih menunjukkan sinyalemen keharaman atau tidak.

 

Persaingan Sehat MLM Asing dan MLM Lokal

Untuk mengatur agar terjadi persaingan yang sehat di antara para pengusaha MLM, Permendag Nomor 32 Tahun 2008 juga menggariskan beberapa aturan terkait dengan MLM, antara lain:
 

  1. MLM harus memiliki alur distribusi yang jelas terhadap produk/barang yang dijual, mulai ketika barang itu masih ada di perusahaan hingga sampai akhir jatuh ke tangan konsumen.
  2. Komisi/bonus yang boleh diberikan kepada mitra usaha dibatasi sebesar 40%. Alhasil, berangkat dari sini, bila ada entitas MLM yang memberikan bonus melebihi 40%, ini pertanda pihak perusahaan telah melanggar Permendag 32/2008.
  3. Perusahaan MLM harus memiiki skema pembelian produk (Kit) dari mitra usaha, bilamana mitra tersebut memutuskan untuk berhenti atau mengundurkan diri.
  4. Dalam rangka pembelian kembali Kit produk Mitra Usaha ini, pihak MLM hanya boleh memberikan beban administrasi sebesar 10% dari harga total Kit Produk.
  5. SIUPL Tetap bisa diberikan kepada perusahaan bilamana jaring usahanya lolos dalam status masa percobaan SIUPL (khususnya bagi perusahaan baru) selama 1 tahun.
  6. Sifat dari SIUPL Tetap ini bisa berlaku terus selama perusahaan masih beroperasi di Indonesia.

 

 

Demikianlah sekilas ringkasan mengenai aturan penyelenggaraan MLM di Indonesia dalam Permendag Tahun 2006 dan 2008. Semoga tulisan singkat ini sekilas dapat memberikan rambu-rambu kewaspadaan bagi masyarakat, seiring upaya mengenali MLM yang berskema ponzi.

 

Satu catatan yang terpenting adalah bahwa bonus dari perusahaan MLM yang boleh diberikan kepada mitra adalah maksimal 40%. Lebih dari itu, patut diduga bahwa telah terjadi money game, misalnya pada skema bisnis MCI Wordl. Wallahu a’lam bish shawab.

 

Muhammad Syamsudin, S.Si., M.Ag, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jatim