Nasional

Kaleidoskop 2020: Nasib Pembelajaran di Era Pandemi Covid-19

Ahad, 13 Desember 2020 | 00:00 WIB

Kaleidoskop 2020: Nasib Pembelajaran di Era Pandemi Covid-19

Ilustrasi pandemi virus corona Covid-19. (NU Online)

Pandemi Covid-19 yang mewabah di berbagai penjuru dunia berimbas pada berbagai sektor kehidupan masyarakat. Bukan hanya kesehatan dan ekonomi, dunia pendidikan pun sangat terpengaruh dengan pandemi yang pertama kali diumumkan masuk Indonesia pada 2 Maret 2020. Kebijakan jaga jarak dan tidak berkerumun mengakibatkan pemerintah menerbitkan kebijakan khusus pembelajaran di lembaga pendidikan.


Kebijakan pertama dilakukan melalui Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan Dalam Masa Darurat Penyebaran Corona Virus Desease (Covid-19). Pada kebijakan ini, diputuskan larangan pelaksanaan pembelajaran tatap muka di sekolah yang berlaku hingga akhir tahun pelajaran 2019/2020. 


Saat memasuki tahun pelajaran 2020/ 2021, pemerintah kembali mengeluarkan aturan baru tentang pelaksanaan pendidikan melalui SKB 4 Menteri, yaitu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan Menteri dalam Negeri masing-masing No. 01/KB/2020, No. 516 Tahun 2020, No. Hk.03.01/Menkes/363/2020, dan No. 440-882 Tahun 2020. 

 


Kebijakan ini mengatur penyelenggaraan pembelajaran tetap berjalan dalam masa pandemi dengan mempertimbangkan pembagian zona wilayah yang dikeluarkan oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Namun melalui kebijakan ini, Pemerintah berprinsip tetap fokus mengedepankan dan mengutamakan kesehatan dan keselamatan seluruh elemen lembaga pendidikan.


Disebutkan dalam SKB ini bahwa untuk daerah yang berada di zona oranye dan merah, tetap dilarang melakukan pembelajaran tatap muka di satuan pendidikan. Sekolah pada zona-zona tersebut tetap melanjutkan Belajar dari Rumah (BDR).

 

Sementara zona hijau dan kuning dapat diperbolehkan untuk melakukan pembelajaran tatap muka dengan pertimbangan risiko kesehatan yang tidak berbeda jauh dengan zona hijau. Pembelajaran tatap muka di zona hijau atau kuning juga bisa dilaksanakan  jika pemerintah daerah dan orang tua atau wali mengizinkan untuk tatap muka.


Tahapan pembelajaran tatap muka satuan pendidikan di zona hijau dan zona kuning dilakukan secara bersamaan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dengan pertimbangan risiko kesehatan yang tidak berbeda untuk kelompok umur pada dua jenjang tersebut. Sementara itu untuk PAUD dapat memulai pembelajaran tatap muka paling cepat dua bulan setelah jenjang pendidikan dasar dan menengah.

 


Sementara untuk pembelajaran praktik yang merupakan keahlian inti SMK, diperbolehkan di semua zona dengan wajib menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Madrasah dan sekolah berasrama di zona hijau dan zona kuning juga dapat membuka asrama dan melakukan pembelajaran tatap muka secara bertahap sejak masa transisi. 


Kapasitas asrama dengan jumlah peserta didik kurang dari atau sama dengan 100 orang pada masa transisi bulan pertama adalah 50 persen, bulan kedua 100 persen, kemudian terus dilanjutkan 100 persen pada masa kebiasaan baru. Untuk kapasitas asrama dengan jumlah peserta didik lebih dari 100 orang, pada masa transisi bulan pertama 25 persen, dan bulan kedua 50 persen, kemudian memasuki masa kebiasaan baru pada bulan ketiga 75 persen, dan bulan keempat 100 persen.  


Seiring diterapkannya kebijakan pembelajaran di semester pertama (ganjil) tahun pelajaran 2019/2020 ini, berbagai kendala dihadapi. Banyak pihak menilai pembelajaran daring atau pembelajaran jarak jauh (PJJ) berjalan tidak efektif. Banyak pihak menilai jika kebijakan ini diteruskan maka akan berimbas pada siswa, dalam bentuk penurunan kemampuan belajar (learning loss).


Di antara kendala yang dihadapi adalah kurangnya persiapan segenap insan pendidikan terhadap datangnya wabah Covid-19 yang datang tiba-tiba. Di tambah lagi sarana dan prasarana yang mendukung pembelajaran daring tidak tersedia secara merata di berbagai daerah di Indonesia. Termasuk juga tingkat kemampuan ekonomi dan kesempatan orang tua siswa juga ikut mempengaruhi tidak maksimalnya pembelajaran di masa pandemi.

 

 

Dari sisi siswa, pembelajaran daring juga sangat melelahkan melebihi pembelajaran tatap muka. Pasalnya pembelajaran daring lebih banyak memberikan tugas yang membebani fisik dan metal mereka. Jika hal ini terjadi secara terus-menerus, maka efek lain bisa saja muncul seperti stres, jenuh, dan pada akhirnya pelajar akan depresi dan tak peduli terhadap tugas yang diberikan.

 

Pada sistem pembelajaran daring, para pendidik juga banyak mengeluh tidak maksimalnya pendidikan dari sisi afektif. Karakter, kedisiplinan, etika, dan hal-hal menyangkut psikologi anak didik tidak terajarkan dengan baik.

 

Menteri Pendidikan Nadiem Makarim sendiri mengakui bahwa pembelajaran daring memiliki sedikitnya tiga dampak negatif yakni ancaman putus sekolah karena pelajar terus berada di rumah, penurunan capaian belajar, dan kekerasan pada anak. 


Kebijakan Pembelajaran


Setelah melakukan evaluasi dan menerima berbagai masukan dari berbagai pihak, akhirnya pemerintah memperbolehkan kegiatan pembelajaran tatap muka oleh satuan pendidikan untuk semester genap tahun 2020/2021. 


Kebijakan yang akan dimulai pada Januari 2021 ini tertuang dalam Keputusan Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran pada Tahun Ajaran 2020/2021 dan Tahun Akademik 2020/2021 di Masa Pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). 

 


Dalam kebijakan baru ini, pemerintah daerah adalah pihak yang paling dapat menentukan apakah daerahnya bisa segera melakukan pembelajaran tatap muka atau belum. Hal ini karena Pemda lebih mengetahui kondisi, kebutuhan dan kapasitas serta keamanan situasi Covid-19 di wilayahnya. 


Namun Pengurus Pusat Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) menilai Surat Keputusan Bersama (SKB) pemerintah terkait kegiatan pembelajaran tatap muka tidak tegas dan menyulitkan. Melalui Ketua Pengurus Pusat Pergunu, Aris Adi Leksono, Pergunu meminta kesiapan pemerintah menanggung sarana pra sarana protokol kesehatan (prokes).


Pergunu menilai prosedural yang telah ditetapkan pemerintah tidak semudah yang dibayangkan, sebab perlu koordinasi yang intens bahkan rekomendasi dari Pemerintah Daerah (Pemda).

 

 

Hal-hal ini tentu akan memperlambat implementasi kebijakan oleh pihak sekolah untuk dapat dilaksanakan. Pemerintah pusat dalam hal ini seolah-olah lepas tangan dan melempar tanggung jawab kepada sekolah secara sepihak. Jika terjadi sesuatu hal, otomatis sekolah yang akan disalahkan.


Penulis: Muhammad Faizin

Editor: Fathoni Ahmad