Syariah

Koin dan Harta Virtual pada Game PES Multiplayer Konami menurut Hukum Islam

Ahad, 20 Desember 2020 | 11:00 WIB

Koin dan Harta Virtual pada Game PES Multiplayer Konami menurut Hukum Islam

Prinsip muamalah, termasuk pada game PES ini, adalah tak dijumpai adanya judi (maisir), riba, spekulasi (gharar), ghabn (kecurangan) dan sejenisnya. (Ilustrasi: Youtube)

Olahraga elektronik atau eSprot merupakan sebuah game (permainan) olahraga yang dikemas dalam bentuk produk elektronik. Namun, keberadaan dari game ini tidak sebagaimana game konsol Play Station (PS) yang pernah kita bahas sebelumnya.

 

Meskipun alat yang dipergunakan dalam permainan sama—ada joy stick dan ada layar—tetapi rancangannya dibangun lain, yaitu langsung berbasis internet dan real time (waktu terkini). Para pakar teknologi lebih ahli dalam menjelaskan skema rangkaiannya secara terperinci.

 

Yang ingin kita kaji kali ini adalah bahwa pemilik kombinasi rangkaian teknologi eSprot bisa bertanding melawan klub mana saja, dan mengikuti sebuah gelaran kompetisi oleh entitas penyelenggara tertentu. Mungkin istilah yang lebih keren saat ini adalah menyerupai PUBG (playerunknown’s battleground). Alhasil, pemain game itu bersifat multiplayer. Nah, apakah pola pertandingan semacam ini sah secara syariat?

 

Karena di dalam game yang terhubung internet meniscayakan adanya pihak penyelenggara, maka ada pula hadiah yang ditawarkan dan itu bisa berupa materi.

 

Sejauh ini, yang diketahui oleh penulis, hadiah itu diperoleh dari pihak developer aplikasi Pro Evolution Soccer (PES), yaitu Konami. Bahkan di tahun 2021 mendatang, Konami menyediakan hadiah kurang lebih 28 miliar rupiah (2 juta USD).

 

Jika menilik dari penyedia hadiah ini, maka bisa dipastikan bahwa hadiah tersebut memang berstatus sah sebagai hadiah. Alasannya. karena ketiadaan illat judi yang ditengarai oleh adanya pihak yang kehilangan harta bila kalah.

 

Namun, karena lomba PES memungkinkan untuk diselenggarakan oleh sebuah event organizer, maka alangkah baiknya untuk kita beri catatan juga bahwa sebuah hadiah itu sah sebagai ju’lu (hadiah berbasis prestasi), dengan catatan bahwa hadiah bukan dari urun dana yang disetorkan oleh pemain seluruhnya. Paling tidak, harus ada satu pemain yang tidak dipungut dana (‘iwadl) yang berperan sebagai muhallil-nya.

 

Selanjutnya, beberapa pertimbangan fiqih yang mendasari pola penyelenggaraan liga Pro Evolution Soccer (PES) Multiplayer cabang game sepakbola ini, antara lain:

  1. Kedudukan pemain (gamer) terhadap klub meta yang dipegangnya
  2. Akad token coin yang digunakan untuk jual beli pemain lewat fitur PES
  3. Spekulasi pada Fitur Game

 

Kedudukan Pemain (Gamer) terhadap Klub Meta yang Dipegangnya

Jika pada pertandingan ala liga game konsol PS - seabagaimana yang sudah penulis singgung sebelumnya - maka kedudukan seorang gamer terhadap perangkat game yang dipergunakannya adalah layaknya seorang pemanah terhadap busur dan anak panahnya.

 

Adapun perangkat joy stick, PC/CPU/Laptop/Jaringan Internet, seluruhnya menduduki serupa anak panah dan busurnya. Sementara itu, keterampilan pemain, menempati posisi keahlian dalam memanah yang ditandai adanya keterampilan dan keterlatihan.

 

Akad Token Coin PES untuk Jual Beli Fitur PES

Untuk bisa bermain dalam PES, seorang gamer harus membeli Token Coin PES yang bisa diakses lewat Google Play. Token ini juga bisa didapatkan lewat aplikasi Telkomsel.

 

Terdapat sejumlah pilihan paket yang tersedia. Berikut ini merupakan rincian paket beserta harga yang ditawarkan dan terdapat di fitur MyTelkomsel, antara lain:

 

Paket 100 Koin = 15.000

Paket 300 + 10 Koin = 45.000

Paket 1000 + 50 Koin = 149.000

Paket 2000 + 150 Koin = 299.000

Paket 3000 + 300 Koin = 439.000

Paket 5000 + 800 Koin = 739.000

Paket 10.000 + 2000 Koin = 1.499.000

 

Sebagai catatan bahwa harga di atas adalah berlaku untuk Top Up PES 2020 mobile, dengan harga termurahnya sebesar 15.000 rupiah. Biaya ini dibayarkan dengan jalan memotong pulsa Telkomsel.

 

Adapun untuk harga top up yang mencapai ratusan atau bahkan jutaan rupiah, bisa dibayarkan secara tunai lewat tagihan kartu kredit.

 

Manfaat dari top up di atas adalah berupa bisa memanfaatkan utilitas jual beli pemain bintang yang tersedia dalam fitur game PES. Alhasil, semakin banyak koin yang dibeli, maka semakin besar peluang untuk membeli pemain bintang.

 

Dengan demikian, status dari koin di atas, adalah masuk rumpun harta manfaat dengan aset yang mendasarinya berupa uang yang dipergunakan untuk melakukan top up. Alhasil, koin semacam ini termasuk kelompok harta sejati, dan bisa dikelompokkan sebagai koin sejati (native coin).

 

Oleh karena itu, bila dalam suatu pertandingan, ada indikasi yang menyebabkan berkurangnya koin bagi peserta yang kalah, atau sebaliknya bisa menyebabkan bertambahnya koin bagi peserta yang menang, maka itu tandanya ada praktek judi (maisir) di dalamnya. Mengapa? Sebab itu sama saja dengan masing-masing peserta telah menyodorkan ‘iwadl (uang tombok) untuk bertanding.

 

Hukum Membeli Fitur Game dengan Koin Topping Up

Beberapa perangkat game dilengkapi dengan pembelian fitur tertentu. Untuk game PES, umumnya dilengkapi dengan fitur jual beli pemain. Pemain yang dibeli, adalah pemain bintang yang umum diketahui skill/keahliannya dalam dunia riil. Berapa harganya?

 

Sudah barang tentu menyesuaikan dengan manfaat yang didapat, maka segitulah harga itu disampaikan. Semakin berkelas dan tinggi skill pemain yang hendak dibeli, maka semakin tinggi pula jumlah koin yang akan berkurang dan dimiliki oleh gamer.

 

Karena koin game merupakan native coin (koin sebenarnya), dan fitur yang diakses terdiri berupa harta manfaat, maka sudah barang tentu akad pembelian fiture tersebut adalah masuk rumpun akad ijarah (kontrak jasa).

 

Apakah akad ijarah fiture ini dipandang sebagai sah dalam konteks fikih? Maka untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dikembalikan pada dasar utama dari akad ijarah.

 

Akad ijarah merupakan salah satu rumpun dari akad jual beli (shinfun mina al-buyu’at). Oleh karena itu, pembelian yang dilakukan terhadap fitur pemain, juga meniscayakan wajibnya memenuhi ketentuan: ma’lum (diketahui), tidak ada gharar (spekulasi), tidak ada jahalah (ketidaktahuan), tidak ada judi (maisir), dan tidak ada riba.

 

Sekali lagi, semua ini dasarnya adalah dengan tetap memperhatikan bahwa koin yang dipergunakan untuk jual beli itu, adalah koin asli dan sah sebagai harta. Oleh karenanya, segala ketentuan yang berkaitan dengan harta, juga meniscayakan (lazim) berlaku atas penyalurannya (tasharruf).

 

Beberapa Fitur Pemain Virtual Dibeli secara Spekulatif di Dalam Game

Beberapa game multiplayer dilengkapi dengan fitur transaksi virtual secara spekulatif. Suatu misal, hendak membeli CR7 sesuai dengan harganya. Namun, CR7 ini dibursakan bersama-sama dengan pemain lain, seperti Dibala, atau Messi. Kategori harganya sama semua dalam bursa transfer yang disajikan dalam fitur game.

 

Ketika seorang gamer mengakses fitur game, ia tidak bisa menentukan apakah CR7, Dibala, ataukah Messi yang hendak ia boyong ke dalam timnya. Ketiganya sama-sama pemain bintang. Lalu gamer ini mengakses buy (perintah beli). Nah, yang didapat ternyata adalah Dibala, dan bukan CR7. Atau sebaliknya, yang dikehendaki adalah Messi, ternyata outputnya ia mendapatkan CR7.

 

Tak urung mengakses fitur semacam ini pada dasarnya adalah menyerupai jual beli munabadzah (jual beli lempar kerikil).

 

Karena konteks dalam game adalah berkaitan dengan harta manfaat, maka jual beli semacam, masuk rumpun akad ijarah munabadzah. Alhasil, sifat spekulasinya (gharar-nya) ada pada ketidakpastian fitur pemain yang didapat.

 

Apakah gharar mengakses fitur bursa pemain menjadikan game PES itu haram?

 

Pertanyaan ini muncul dengan landasan bahwa koin adalah harta asli. Sementara, gamer membutuhkan peran pemain bintang di dalam klub virtual yang dimilikinya.

 

Spekulasi terjadi secara langsung lewat akad ijarah virtual di majelis akad. Alhasil, ketika mengakses fitur tersebut, akadnya bukan akad ijarah salam (pesan) sehingga tidak ada gharar lain yang melingkupi transaksi tersebut.

 

Karena sifat gharar (spekulatif) itu hanya ada 1 dalam 1 transaksi ijarah munabadzah, maka akad semacam ini masih bisa dishahihkan dengan jalan adanya khiyar (opsi pembatalan atau meneruskan akad). Mengapa? Sebab, yang dilarang dalam syara’ adalah bila dalam 1 transaksi terdapat 2 gharar sekaligus.

 

Prinsipnya sama dengan kebolehan melakukan akad salam. Di dalam akad salam, ketidaktahuan terhadap barang melainkan hanya sifat dan karakteristiknya saja ini pada dasarnya adalah juga gharar (spekulatif). Namun, karena hanya ada 1 gharar dalam salam, maka keberadaannya ditolerir sebagai yang dibolehkan sebab adanya kebutuhan primer (dlarurah li al-hajah). Syaratnya, harus ada khiyar. Ketiadaan khiyar, menjadikan akad tersebut bisa dihukumi sebagai haram, kecuali jika pembelinya ridla.

 

Nah, dalam game pun juga bisa berlaku demikian. Jika kesempatan khiyar itu ditiadakan, maka pertanyaannya: apakah penyewa pemain virtual itu ridla dengan mendapatkan pemain bintang dengan nama lain? Jika ternyata ia ridla, maka tidak ada pilihan lagi, selain daripada dibolehkannya akad tersebut. Pertimbangannya: sebab pihak pembeli membutuhkan keberadaan pemain bintang itu untuk memperkuat klub virtualnya.

 

Kesimpulan

Dunia virtual merupakan dunia yang terus berkembang. Di dalamnya meniscayakan adanya harta virtual. Bagaimanapun juga, tasharruf dari harta virtual ini menghendaki tuntunan yang dibenarkan oleh syariat sebagai wujud perlindungan terhadap harta (hifdh al-mal).

 

Koin game merupakan bagian dari harta virtual yang diperoleh lewat jalur topping up resmi. Jika untuk mengakses game tersebut, diduga adanya unsur-unsur yang diharamkan dalam muamalah, maka penyaluran koin game ke dalam wilayah yang tidak dibenarkan oleh syariat hukumnya juga adalah haram. Hal sebaliknya berlaku bila di dalam penyaluran itu tidak dijumpai adanya judi (maisir), riba, spekulasi (gharar), ghabn (kecurangan) dan sejenisnya. Wallahu a’lam bish shawab.

 

 

Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jatim