Internasional

Kaleidoskop 2020: Kontroversi Pernyataan Macron dan Islamofobia di Prancis

Sen, 28 Desember 2020 | 09:00 WIB

Paris, NU Online
Salah satu peristiwa internasional yang menyita perhatian publik sepanjang 2020 adalah konflik di Prancis yang melibatkan umat Islam. Peristiwa bermula ketika sebuah majalah satire Perancis, Charlie Hebdo, memutuskan untuk mencetak ulang kartun Nabi Muhammad pada September 2020 lalu. 


Itu dilakukan untuk menandai dimulainya persidangan penyerangan kantor mereka pada 2015 oleh dua bersaudara Said dan Cherif Kouachi, yang menewaskan 12 orang. Seorang pelaku penyerangan meninggal dan 14 tersangka lainnya diadili di Paris. Keputusan mencetak ulang kartun Nabi Muhammad oleh Charlie Hebdo itu mendapatkan kecaman keras dari dunia Islam, termasuk Universitas Al-Azhar Mesir.


Kemudian pada Jumat, 16 Oktober, seorang guru di Perancis, Samuel Paty (47), dibunuh Abdullakh Anzorov—seorang pria berusia 18 tahun berdarah Chechnya- dalam perjalanan pulangnya dari sebuah sekolah di Conflans-Sainte-Honorine.

 

Paty dibunuh karena sebelumnya dia menunjukkan kartun kontroversial Nabi Muhammad kepada murid-muridnya di kelas. Hal itu membuat marah seorang wali murid dan kemudian dia menggalang kampanye online untuk melawan guru tersebut.


Beberapa hari setelah kejadian pembunuhan Paty, pemerintah Perancis melancarkan tindakan keras terhadap organisasi Muslim di sana. Menteri Dalam Negeri Perancis Gerald Darmanin mengusulkan untuk melarang sebuah asosiasi yang melacak kejahatan rasial anti-Muslim, Collective Against Islamophobia in France (CCIF).

 

Dalam sebuah wawancara di Radioa Europe 1, Darmanin mengatakan bahwa CCIF adalah musuh Republik Prancis dan menjadi salah satu dari beberapa organisasi yang akan dibubarkan atas permintaan pribadi Presiden Perancis, Macron. Sementara kelompok main hakim sendiri telah merusak masjid. 


Diberitakan Aljazeera, Kamis (22/10), Muslim Perancis khawatir kematian Paty digunakan sebagai senjata untuk memajukan kebijakan pemerintah yaitu mencampurkan Islam dengan terorisme.


Grand Syekh Al-Azhar, Syekh Ahmad al-Thayeb, di satu sisi mengecam aksi pemenggalan guru yang terjadi di Prancis. Namun di sisi lain, ia menegaskan bahwa menghina agama atas nama kebebasan berbicara adalah sebuah ‘undangan untuk kebencian’. Menurutnya, diberitakan Al-Arabiya, Rabu (21/10), Islam tidak ada sangkut pautnya dengan pemenggalan seorang guru Perancis, Samuel Paty, pada Jumat lalu. 


Kemudian pada Ahad 18 Oktober, dua Muslimah bernama Amel dan Kanza dari Aljazair mengalami luka-luka setelah ditikam oleh dua perempuan Perancis. Kejadian bermula ketika mereka berjalan-jalan di bawah Menara Eiffel bersama dengan kerabatnya (total rombongan mereka adalah empat orang dewasa dan empat anak-anak), ada dua orang perempuan Perancis yang sedang membawa anjing jenis pitbull mendekatinya. Mereka ketakutan dengan anjing itu dan meminta pemilik anjing itu untuk mengikatnya atau meminggirkannya.


Akan tetapi, pemilik anjing tersebut yang diduga sedang mabuk itu malah marah dengan permintaan Amel, Kanza, dan rombongannya. Tidak lama setelah itu, dua perempuan Perancis itu kemudian menikam Amel dan Kanza berkali-kali dan melontarkan kata-kata bernada rasial. Dilaporkan, Kanza mendapatkan enam luka tusuk dan menderita luka di paru-parunya. Sementara Amel mengalami luka tusuk di tangannya. Mereka sedang menjalani perawatan di sebuah rumah sakit. 


Seperti diberitakan New York Post, Kamis (22/10), kejadian itu terekam kamera handphone dan kemudian menyebar ke pengguna handphone lainnya di Perancis. Atas kejadian itu, polisi setempat kemudian menahan dua perempuan Perancis tersebut dengan tuduhan percobaan pembunuhan.


Pada Jumat, 23 Oktober, Presiden Perancis Emmanuel Macron melontarkan pernyataan yang cenderung menyerang Islam. Dia menyebut Islam sebagai agama yang sedang mengalami krisis di seluruh dunia.

 

Dalam upacara penghormatan Paty, Macron juga mengkritik mereka yang dia sebut sebagai 'Islamis’ dan membela penerbitan kartun kotroversial Nabi Muhammad oleh majalah satire Charlie Hebdo dengan dasar sekularisme Prancis (laicite). Dia juga berjanji akan mengajukan RUU untuk memperkuat regulasi yang secara resmi memisahkan gereja dan negara di Perancis.


Sepekan berselang, Kamis 29 Oktober, seorang yang diidentifikasi sebagai imigran asal Tunisia (21) menyerang Gereja Basilika Notre Dame di Kota Nice, Prancis. Diberitakan AFP, Kamis (29/10), tiga orang tewas dalam serangan itu. Dilaporkan, pelaku membawa Al-Qur’an, tiga pisau, dan meneriakkan ‘Allahu Akbar’ dalam aksinya. Kejadian ini tidak hanya dikecam oleh otoritas Prancis, tetapi juga oleh komunitas Muslim di sana. 

 

Menyusul serangan ekstremis di sebuah gereja di Nice, sejumlah pemuda Muslim menjaga Gereja Katedral pada liburan akhir pekan All Saints, dengan melakukan koordinasi dengan pihak kepolisian setempat. Gerakan ini diinisiasi oleh pemuda berdarah Aljazair kelahiran Prancis, Benferhat.

 

Ia mengaku kesal karena kekerasan ekstremis seringkali mengaku Islam. Melalui gerakan itu, dia ingin menunjukkan bahwa kemanusiaan harus dijunjung tinggi dan juga sebagai penghormatan kepada para korban akibat terorisme dan ekstremisme.


“Tapi saya juga Muslim dan kami telah melihat Islamofobia di negara ini, dan terorisme," katanya kepada The Associated Press.


Hingga awal November, konflik yang melibatkan Islam di Perancis seakan belum reda. Dua potongan kepala babi yang masih berlumuran darah ditinggalkan begitu saja oleh orang tak dikenal di Grand Mosque atau Masjid Agung di Kota Compiegne di Oise, Perancis Utara.

 

Kepala babi ini ditemukan saat sedang dilakukan pekerjaan restorasi di masjid tersebut. Dilansir media Anadolu Agency, Selasa (3/11) Dewan Kepercayaan Muslim Perancis, French Council of the Muslim Faith mengecam insiden serangan Islamofobia ini.

 

Respons atas Pernyataan Macron dan Penghinaan Nabi Muhammad

 

Ucapan dan sikap Macron tersebut mengundang beragam respons, terutama dari dunia Islam. Negara-negara Islam seperti Arab Saudi, Indonesia, Yordania, Turki, dan Pakistan mengecam keras pernyataan Macron yang dinilai menghina Islam tersebut dan membela penerbitan karikatur Nabi Muhammad. Pada Selasa, (27/10) Kementerian Luar Negeri RI bahkan memanggil langsung Duta Besar Perancis untuk Indonesia dan menyampaikan kecaman terhadap pernyataan Macron.


“Pernyataan tersebut telah melukai perasaan lebih dari 2 Milyar orang muslim di seluruh dunia dan telah memecah persatuan antar umat beragama di dunia,” demikian pernyataan yang dirilis Kemlu RI di lamannya, kemlu.go.id, Jumat (30/10). Presiden Republik Indonesia Joko Widodo juga mengecam keras pernyataan Macron yang telah menghina Islam dan mengganggu persatuan umat dunia, Sabtu (31/10).

 

Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, menyampaikan pernyataan yang keras terhadap Macron. Menurut Erdogan, Macron perlu melakukan pemeriksaan mental karena sikapnya yang demikian terhadap Islam.  


"Apa masalah yang dimiliki Macron dengan Islam dan Muslim? Macron membutuhkan pengobatan mental," kata Erdogan, dikutip laman Aljazeera, Senin (26/10). Erdogan juga menyebut kalau Macron telah kehilangan akal sehatnya. 


Sementara Sekretaris Jenderal PBNU H Ahmad Helmy Faishal Zaini sangat menyayangkan pernyataan dan sikap Macron. Menurutnya, radikalisme dan ekstremisme tidak memiliki agama, sebab bisa dimiliki oleh pribadi beragama apa pun. Dia menambahkan, Islam adalah kasih sayang dan perdamaian. Karena itu, tidak benar jika Islam diidentikkan dengan kekerasan.


"Pernyataan (Macron) ini sangat tendensius. Menggelorakan Islamofobia dan memiliki dampak besar terhadap perdamaian dunia. Maka, menggelorakan propaganda bahwa Islam merupakan agama radikalis dan ekstremis, jauh sekali dengan kebenaran dan fakta yang ada," katanya Selasa (27/10).

 

Katib Aam PBNU, KH Yahya Cholil Staquf, menyebut, apa yang terjadi di Prancis itu merupakan bentuk dari gejala supremasi sekularisme, Selasa (3/11). Pasalnya, ia melihat Macron membela pembuatan kartun Nabi Muhammad oleh majalah Charlie Hebdo.

 

Padahal tindakan Charlie Hebdo tersebut telah melakukan penghinaan. Menurutnya, supremasi sekularisme ini muncul setelah hadir supremasi agama di masa-masa sebelumnya. Hal-hal yang berkaitan dengan agama menjadi tersudutkan di masa ini, sedangkan kebebasan lain yang sebetulnya terbatasi dalam wilayah agama dibela.


Amnesti Internasional (AI) juga dengan tegas mengkritik retorika yang disampaikan pemerintah Perancis dan menyebutnya ‘kemunafikan yang memalukan’. Bagi AI, dilansir laman Anadolu Agency, Sabtu (14/11), pemerintah Perancis tidak mendukung kebebasan berbicara, melainkan menggandakan ‘kampanye kotor’ terhadap Muslim Perancis atas pembunuhan Samuel Paty.  


Pernyataan Macron itu juga menyebabkan gerakan boikot produk Prancis di sejumlah negara Arab. Diberitakan BBC Senin (26/10), produk-produk Perancis seperti produk kecantikan ditarik dari beberapa rak supermarket di Kuwait, Qatar, dan Yordania pada Ahad, 25 Oktober waktu setempat.

 

Seruan boikot juga menggema di beberapa negara berpenduduk mayoritas Muslim seperti Indonesia, Pakistan, Arab Saudi, dan lainnya. Di samping itu, aksi unjuk rasa anti-Prancis terjadi di beberapa negara Arab lainnya seperti Jalur Gaza, Suriah, dan Libya. 


Pewarta: Muchlishon
Editor: Fathoni Ahmad