Hikmah

Ketika Imam Hasan al-Bashri Ditanya Seorang Khawarij

Rab, 30 Desember 2020 | 12:00 WIB

Ketika Imam Hasan al-Bashri Ditanya Seorang Khawarij

Menurut Imam Hasan al-Bahsri, apa yang dilakukan orang-orang Khawarij (memerangi penguasa) bukan karena urusan akhirat (agama), melainkan urusan dunia.

Dalam kitab al-Bashrâ’ir wa al-Dzakhâ’ir, Imam Abu Hayyan al-Tauhidi mencatat sebuah riwayat tentang seorang Khawarij yang mendatangi Imam Hasan al-Basri. Berikut riwayatnya:


أتي رجل من الخوارج الحسن البصري فقال له: ما تقول في الخوارج؟ قال: هم أصحاب الدنيا. قال: ومن أين قلتَ، وأحدهم يمشي في الرُمح حتي ينكسر فيه ويخرج من أهله وولده؟ قال الحسن: حدِّثْنِي عن السلطان أيمنعك من إقامة الصلاة وإيتاء الزكاة والحج والعمرة؟ قال: لا. قال: فأراه إنما منعك الدنيا فقاتلتَه عليها


Seseorang dari (kelompok) Khawarij mendatangi Hasan al-Bashri, ia bertanya kepadanya: “Apa pendapatmu tentang Khawarij؟”


(Imam) Hasan al-Bashri menjawab: “Mereka adalah ahli dunia.”


Orang Khawarij itu berkata: “Dari mana pendapatmu itu, padahal salah satu dari mereka berjalan dalam kemiskinan hingga tak memiliki apa-apa, dan keluar (meninggalkan) keluarga dan anaknya?”


(Imam) Hasan berkata: “Ceritakanlah kepadaku tentang penguasa (atau pemerintah), apakah ia melarangmu mendirikan shalat, menunaikan zakat, (melaksanakan) haji dan umrah?”


Khawarij itu menjawab: “Tidak.”


(Imam) Hasan berkata: “Maka dari itu, aku berpendapat bahwa dunialah yang sebenarnya melarangmu, (bukan penguasa), karena itu kau memeranginya karena dunia.” (Imam Abu Hayan al-Tauhidi, al-Bashrâ’ir wa al-Dzakhâ’ir, Beirut: Dar Shadir, 1988, juz 1, h. 156)


****

Khawarij adalah kelompok sempalan di masa awal Islam. Tepatnya di era kepemimpinan Sayyidina Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah. Mereka disebut Khawarij karena keluar atau tidak lagi mengakui kepemimpin Ali bin Abi Thalib, bahkan mengkafirkannya karena kebijakannya di saat “tahkîm” dianggap tidak sesuai dengan hukum Allah. Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari mengatakan:


وإكفاره بالتحكيم، وحرجوا عليه، فسُمُّوا خوارج، لأنهم خرجوا علي علي بن أبي طالب


“Dan mengkafirkan Ali (bin Abi Thalib) sebab “tahkim”. Mereka keluar dari (barisan) ‘Ali (bin Abi Thalib). Karena itu, mereka disebut “Khawarij”, karena mereka keluar (dari barisan) ‘Ali bin Abi Thalib.” (Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari, Maqâlât al-Islâmiyyîn, Kairo: Dar al-Hadits, 2009, h. 11).

 

 

Dalam riwayat di atas, Imam Hasan al-Bashri memandang Khawarij sebagai ahli dunia. Dengan alasan bahwa pemerintah atau penguasa tidak melarang mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan ibadah haji dan umrah. Artinya, penguasa tidak sedang melawan Islam, karena mereka tidak melarang pelaksanaan ibadah umat Islam. Jika demikian, menurut Imam Hasan al-Bahsri, apa yang dilakukan orang-orang Khawarij (memerangi penguasa) bukan karena urusan akhirat (agama), melainkan urusan dunia.


Alasan yang dikemukakan Imam Hasan al-Bashri, sebenarnya bukan hal baru, atau selaras dengan penjelasan Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Ketika Sayyidina Ali sedang berkhutbah, seseorang dari samping masjid berkata: “lâ hukma illallah” (tidak ada hukum kecuali hukum Allah), dan beberapa orang lainnya pun turut melakukan hal yang sama. Kemudian Sayyidina Ali berkata:


الله أكبر، كلمة حقّ يُلتمس بها باطل! أما إن لكم عندنا ثلاثا ما صحبتمونا: لا نمنعكم مساجد الله أن تذكروا فيما اسمه، ولا نمنعكم الفيء ما دامت أيديكم مع أيدينا، ولا نقاتلكم حتي تبدءونا


Terjemah bebas: “Allah Maha Besar. Kalimat yang benar (tapi) ditujukan untuk kebatilan. (Meskipun demikian), sungguh kalian memiliki tiga (hak yang harus kami jaga), (yaitu): 1) Kami tidak akan melarang kalian (beribadah di) masjid-masjid Allah agar kalian bisa (dengan leluasa) menyebut nama-Nya (berzikir) di dalamnya, 2) Kami tidak akan menghalangi kalian (mendapatkan) rampasan perang selama kalian turut (berjuang) bersama kami, dan 3) Kami tidak akan memerangi kalian hingga kalian yang terlebih dahulu (memerangi) kami.” (Imam al-Thabari, Târîkh al-Thabarî, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1967, juz 5, h. 73)


Sayyidina Ali tetap mengakui hak-hak mereka sebagai, jika menggunakan istilah sekarang, warga negara, terlepas mereka mengakuinya atau tidak sebagai penguasa. Ia tetap mengafirmasi hak-hak mereka meskipun ia dituduh dan dikritik secara langsung. Ia tidak terbawa amarah. Kebenaran tetap harus disampaikan. Ia tidak membiarkan amarah membuatnya berlaku tidak adil atau menutupi kebenaran.


Penyataan Sayyidina Ali tersebut menguatkan penjelasan yang disampaikan Imam Hasan al-Bashri. Penguasa, meskipun tidak diakui, tidak melarang orang-orang Khawarij untuk mendirikan shalat, membayar zakat, melaksanakan ibadah haji dan umrah, bahkan diafirmasi secara terbuka di depan umum oleh Sayyidina Ali. Meskipun demikian, pada akhirnya, Sayyidina Ali wafat dibunuh oleh salah satu dari mereka, Abdurrahman bin Muljam.


Karena itu, menurut Imam Hasan al-Bashri, perlawanan yang dilakukan kaum Khawarij sangat bersifat duniawi. Apalagi jika melihat kasus pembunuhan Sayyidina Ali, yang ketika itu sedang melakukan shalat subuh, atau, di riwayat lain, sedang berada di perjalanan menuju Masjid Kufah sembari menyeru: “ayyuhânnâs, ash-shalâh, ash-shalâh” (wahai manusia, shalat! shalat!). (Imam Ibnu Hibban, al-Sîrah al-Nabawiyyah wa Ahbâr al-Khulafâ’, Iskandariah: Dar Ibnu Khaldun, tt, h. 324). Tapi, hati dan pikiran Abdurrahman bin Muljam sudah tidak bisa lagi tercerahkan. Ia dengan brutal menebas Sayyidina Ali dengan pedangnya yang berbisa. Peristiwa itu terjadi di bulan Ramadhan, dan keesokan harinya, di hari Jumat, Sayyidina Ali meninggal dunia. Allahumma shalli wa sallim ‘ala sayyidina Muhammad wa ‘ala alihi wa sahbihi ajma’in.


Wallahu a’lam bish-shawwab...

 

Muhammad Afiq Zahara, alumni Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen