Ramadhan

Lailatul Qadar dan Ketentuan Takdir Manusia

Kam, 29 April 2021 | 15:15 WIB

Lailatul Qadar dan Ketentuan Takdir Manusia

Para ulama berpendapat, turunnya malaikat ke bumi bertujuan mengurus setiap urusan manusia, berupa takdir-takdir yang akan dihadapi pada tahun tersebut.

Di antara keistimewaan yang Allah berikan pada umat Islam di bulan Ramadhan adalah lailatul (malam) qadar. Malam istimewa nan agung yang tidak pernah dirasakan oleh selain umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Balasan pahala berlipat ganda bagi yang melakukan amal kebajikan, bahkan melebihi hitungan ibadah dalam jangka seribu bulan. Keberadaannya dirahasiakan, dan tidak semua orang bisa menemukan. Semua itu telah diafirmasi oleh Allah subhanahu wa ta’ala  dalam Al-Qur’an, tepatnya dalam surat Al-Qadr Allah berfirman:

 

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ (١) وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ (٢) لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ (٣)

 

Artinya, “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam qadar. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan.” (QS Al-Qadr: 1-3).

 

Tidak hanya itu, lailatul qadar juga menjadi saksi diturunkannya Al-Qur’an oleh Allah subhanahu wa ta’ala dari lauh mahfudh dan diletakkan di langit dunia oleh malaikat jibril, setelah itu diturunkan kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam secara berangsur-angsur. Namun, yang lebih menarik dari semuanya, lailatul qadar juga menjadi peta jalan manusia pada tahun selanjutnya. Pada malam tersebut Allah subhanahu wa ta’ala  menakdirkan apa yang Allah kehendaki kepada hambanya, sesuai dengan apa yang diminta kepada-Nya.

 

Meski pada dasarnya manusia dilahirkan lengkap dengan takdir yang telah ditulis pada zaman azali, lailatul qadar menjadi ruang rahasia Allah dengan segala otoritas dan hak prerogratif-Nya. Allah bisa menjangkau apa pun tanpa batas, baik perihal yang sudah terjadi maupun yang akan terjadi. Dengan kata lain, tidak ada satu pun kejadian yang lepas dari radar-Nya. Dalam konteks ini, urusan takdir dengan segala kemungkinan perubahannya merupakan otentik urusan Allah subhanahu wa ta’ala.

 

Oleh sebab itu, sebagai manusia dengan segala keterbatasan pengetahuannya perihal takdir yang akan dihadapi, Allah memberikan kebebasan untuk melakukan ikhtiar yang menurutnya lebih baik untuk kehidupan pribadinya. Manusia tidak boleh berdiam diri tanpa usaha, dengan seloroh “takdir sudah nyata adanya”. Karena, ketidaktahuannya terhadap takdir menjadikan ikhtiar sebagai sesuatu yang wajib untuk manusia usahakan.

 

Salah satu bukti bahwa manusia sebagai makhluk harus berikhtiar adalah adanya lailatul qadar. Malam itu adalah sebuah momentum yang Allah berikan kepada manusia terkait urusan takdirnya. Semua itu sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an. Allah subhanahu wa ta’ala  berfirman:

 

تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ

 

Artinya, “Pada malam itu turun para malaikat dan Ruh (jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur semua urusan.” (QS Al-Qadr: 4).

 

Imam Fakhruddin ar-Razi memberikan penafsiran terkait ayat di atas. Yaitu: turunnya malaikat ke dunia atas dasar kepentingan masing-masing. Dan bisa disimpulkan dengan dua kepentingan. Pertama, para malaikat dengan segala kesibukannya dalam beribadah, menyempatkan diri untuk turun ke bumi dengan tujuan yang sama, yaitu melakukan ibadah, seperti sujud, rukuk, doa, menyampaikan ilmu, menyampaikan wahyu, dan menyampaikan salam penghormatan kepada manusia. Kedua, dan ini yang paling disepakati oleh ulama ahli tafsir, yaitu untuk menentukan takdir manusia pada tahun tersebut. Sebagaimana penjelasan Imam ar-Razi, beliau menyatakan:

 

من أجل كل أمر قدر في تلك السنة من خير أو شر، وفيه إشارة إلى أن نزولهم إنما كان عبادة

 

Artinya, “(tujuan turunnya malikat) disebabkan suatu hal yang telah ditakdirkan pada tahun tersebut. Berupa kebaikan dan kejelekan. Dan ini memberikan sebuah pengertian, bahwa turunnya para malaikat hanyalah bentuk ibadah.” (Imam Fakhruddin ar-Razi, Tafsir Mafathul Ghoib, juz 32, h. 232)

 

Penjelasan Imam ar-Razi di atas memberikan sebuah pemahaman bahwa pada dasarnya turunnya malaikat ke bumi bukan atas dasar keinginan dan kemauan sendiri, namun dengan tujuan ibadah, yaitu mengurus setiap urusan manusia, berupa takdir-takdir yang akan dihadapi pada tahun tersebut. Seperti ajal, rezeki, jodoh, dan lain sebagainya.

 

Pada malam itu juga, para malaikat tak henti-hentinya mendoakan kebaikan untuk semua orang Islam, laki-laki dan perempuan. Doa istimewa itu oleh malaikat lakukan tidak lain kecuali agar tahun setelah turunnya lailatul qadar menjadi tahun yang lebih berkah dan manfaat untuk umat Islam. Imam Ibnu Katsir ad-Dimisqi juga mempunyai pandangan berbeda dalam menafsiri ayat di atas. Beliau mengatakan:

 

فلا يزالون ليلتهم تلك يدعون للمؤمنين والمؤمنات وجبريل لا يدع أحدًا من المؤمنين إلا صافحه وعلامة ذلك مَن اقشعر جلدهُ ورقّ قلبه ودَمعَت عيناه، فإن ذلك من مصافحة جبريل.

 

Artinya, “Maka tak henti-hentinya para malaikat mendoakan orang mukmin laki-laki dan perempuan pada malam tersebut. Malaikat jibril tidak mendoakan salah satu orang mukmin kecuali menyalaminya. Sedangkan tanda-tanda disalami malaikat jibril yaitu: bulu (badan) merinding, lunak hatinya, dan menangis kedua matanya. Jika tanda-tanda tersebut ada pada umat Islam pada lailatul qadar, maka pertanda malaikat jibril mendoakan dan menyalaminya” (Imam Ibnu Katsir ad-Dimisqi, Tafsir Ibnu Katsir, juz 8, h. 452).

 

Oleh sebab itu, ulama mufassirin dan para fuqaha’ berpendapat bahwa pada malam tersebut dianjurkan (baca: sunnah) memperbanyak berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala, sesuai dengan apa yang diinginkan dan kebutuhannya pada tahun setelahnya. Agar doa pada malam itu dicatat oleh para malaikat dan dijadikan sebagai penentu jalan takdir pada tahun setelahnya.

 

 

Sunnatullah, santri di Pondok Pesantren Al-Hikmah Bangkalan