Fragmen

Surat Lebaran H. Mahbub Djunaidi dari Penjara

Jum, 30 Juni 2017 | 11:02 WIB

Pada tahun 1977, tokoh pers nasional dari NU, H. Mahbub Djunaidi, pernah dipenjara rezim Orde Baru tanpa pengadilan. Disinyalir pada tahun itu, selain melalui tulisannya, Mahbub termasuk orang yang menginginkan suksesi pada kepemimpinan nasional. Isu suksesi makin marak memasuki tahun 1978, tahun bersidangnya MPR hasil Pemilu 1977.

Pada tahun-tahun itu, sebagai salah seorang politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP), ia aktif keluar-masuk kampus memenuhi undangan mahasiswa untuk memberikan ceramah dan menyampaikan makalah. 

Mungkin akibat kegiatannya itu, Mahbub ditahan yang berwajib selama hampir setahun. Di dalam penjara di Nirbaya, ia menyelesaikan sebuah novel, Angin Musim, yang membidik politik Indonesia dari sudut pandang seekor kucing.  

Said Budairy, sejawat Mahbubd Djunaidi di Duta Masyarakat dan di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), bersaksi bahwa sejumlah tokoh waktu itu mau menjadi penjamin bagi penahanan Mahbub di luar. Tapi pihak yang berkuasa tidak mau beringsut dari sikapnya sehingga usaha tersebut gagal. 

Karena kesehatannya menurun, setelah lama “disimpan” di Rumah Tahanan Nirbaya, penulis novel dari Hari ke Hari, Angin Musim, dan penerjemah beberapa buku tersebut dipindahkan ke Rumah Sakit Gatot Subroto. 

Pada lebaran tahun itu, penulis berjuluk yang dijuluki "pendekar pena" tidak bersama keluarganya karena masih dalam penjara. Ia berkirim surat kepada kelaurganya. Surat itu dibacakan salah seorang anaknya, Fairus, ketika Mahbub wafat tahun 1995 di pemakaman Assalam, Bandung. 

Berikut petikan surat tersebut: 

Alangkah bahagianya papa berlebaran bersamamu semua, walaupun tidur berdesakan di lantai. Ketahuilah, kebahagiaan itu terletak di dalam hati, bukan pada benda-benda mewah, pada rumah mentereng dan gemerlapan. Benda sama sekali tak menjamin kebahagiaan hati. Cintaku kepadamu semuanya yang membikin hatiku bahagia. Hati tidak bisa digantikan oleh apapun iuga. Papa orang yang sudah banyak makan garam hidup. Hanya kejujuran, kepolosan, apa adanya yang bisa memikat hatiku. Bukan hal-hal yang berlebih-lebihan.

(Abdullah Alawi)