Opini

Menggagas Perlindungan bagi Orang Gagap di Indonesia

Kam, 30 November 2017 | 05:15 WIB

Oleh Muhammd Ishom

Banyak orang di Indonesia tidak paham tentang gagap. Akibatnya orang-orang gagap di negeri ini sering mengalami bulliying oleh mereka yang lancar berbicara, seperti diolok-olok, ditertawakan, dibentak, dilecehkan, dan dijadikan bahan lelucon. Di negara-negara maju seperti di negera-negara di Eropa, Amerika, dan Australia, orang gagap dilindungi undang-undang sebagaimana orang-orang difabel. Undang-undang di Indonesia belum satu pun yang mengakomodasi permasalahan orang-orang gagap. 

Nabi Musa AS tidak lancar berbicara. Tetapi Tuhan mengangkatnya menjadi seorang nabi sekaligus rasul untuk menyampaikan wahyu-Nya kepada umat. Cerita tentang ketidaklancaran Nabi Musa dalam berbicara tidak hanya bisa kita temukan dalam Al-Qur’an, tetapi juga di dalam Kitab Injil di mana Nabi Musa secara jelas menunjukkan dirinya tidak lancar berbicara yang oleh banyak pihak ditafsirkan gagap berbicara.

"Oh Tuhan, aku ini tidak pandai bicara, dahulu pun tidak dan sejak Engkau berfirman kepada hamba-Mu pun tidak, sebab aku berat mulut dan berat lidah”. (Keluaran 4:10)

Di dalam Al-Qur’an juga dikisahkan tentang ketidak lancaran Nabi Musa berbicara, yakni ketika Allah memerintahkannya menegur Raja Fir’aun karena perbuatannya telah melampaui batas (QS 16:24), Nabi Musa menjawab:
 
"Ya Tuhanku, lapangkanlah dadaku. Mudahkanlah urusanku. Lepaskanlah kekakuan lidahku (gagap). Supaya mereka memahamiku. Jadikanlah seorang dari keluargaku sebagai pembantuku (juru bicara). Dialah Harun saudaraku". (QS 16:25-30)
 
Begitulah Nabi Musa yang kuat secara fisik, ternyata kurang percaya diri menghadapi Raja Fir’aun yang memang sangat kejam. Nabi Musa bukannya takut secara fisik menghadapi Fir’aun, tetapi masalahnya apakah Fir’aun bisa memahami cara bicaranya. Doa Nabi Musa dikabulkan dan diangkatlah oleh Allah saudaranya bernama Nabi Harun AS sebagai penerjemah atau juru bicaranya. 
 
Menarik untuk direnungkan mengapa orang gagap seperti Nabi Musa diangkat oleh Tuhan menjadi seorang rasul dan nabi, padahal tugas ini bukan perkerjaan main-main. Sebagai seorang penyeru kebanaran dan penggerak perubahan, mestinya seorang nabi pandai berkomunikasi baik secara verbal maupun non-verbal. 
 
Dipilihnya Musa menjadi nabi dapat dijadikan referensi untuk menyikapi kasus-kasus diskriminasi terhadap orang-orang gagap seperti yang terjadi di masa lalu pada Lewis Carrol - penulis Alice in Wonderland asal Inggris. Ketika berharap menjadi pendeta, ia tidak diperbolehkan karena gagap bicara. 

Persoalan gagap sebenarnya sudah menjadi keprihatinan internasional sejak bertahun-tahun lalau. Ini terbukti dengan terbentuknya sebuah organisasi orang gagap sedunia bernama International Stuttering Association (ISA) pada tanggal 25 Juli 1995 di Swedia. Organisasi yang sudah beranggotakan 35 negara di dunia ini mengemban misi “A world that understands stuttering”, terwujudnya sebuah dunia yang memahami gagap.
 
Lima belas tahun berikutnya, yakni tahun 2000, ISA bersama IFA (International Fluency Association) berhasil memperjuangkan disahkannnya undang-undang tentang orang gagap yang disebut the Bill of Rights and Responsibilities for People who Stutter. Undang-undang ini berisi delapan hak, diantaranya adalah bahwa orang gagap berhak berbicara gagap atau selancar yang ia mampu atau sesuai dengan pilihannya. Orang gagap juga berhak diperlakukan secara bermartabat dan hormat oleh individu-individu, kelompok-kelompok, perusahaan-perusahaan, badan-badan pemerintah, organisasi-organisasi, kesianian dan media.  

Orang Gagap di Indonesia 
 
Di Indonesia, orang-orang gagap belum mendapat perhatian apalagi perlindungan dari berbagai pihak, seperti pemerintah, akademisi, alim ulama, ahli kesehatan dan pers. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, belum mengakomodasi mereka yang bicara gagap. 
 
Di negara-negara maju sebagaimana telah disebutkan di atas, orang-orang gagap diakomodasi dalam undang-undang tentang disabilitas. Di Amerika Serikat, misalnya, orang-orang gagap diakomodasi dalam undang-undang yang disebut The Americans with Disabilities Act of 1990. Di Inggris, undang-undang seperti ini yang termuat dalam The UK Disabilities Discrimination Act 1995 juga disahkan. Di Turki, The Turkish Association of Disabled Persons, berhasil memperjuangkan keringanan tarif bagi orang gagap karena mereka memerlukan waktu lebih lama untuk berbicara lewat telepon.

Masyarakat di Indonesia hingga kini belum memiliki wacana untuk memasukkan orang gagap kedalam kelompok difabel yang memerlukan perlindungan sebagaimana yang sudah lazim di negara-negara maju. Di Indonesia kelompok difabel memang baru mencakup mereka yang mengalami kendala fisik maupun non-fisik namun belum mengakomodasi mereka yang memiliki kendala non-fisik berupa gagap bicara. Padahal penderitaan yang dialami orang gagap tidak kalah beratnya. 

Orang mudah bersimpati, berberlas kasih dan memberikan pertolongan kepada difabel fisik maupun non-fisik seperti orang-orang tuna netra. Namun tidak demikian kepada difabel non-fisik seperti orang gagap. Mereka malahan diolok-olok, ditertawakan dibentak, dilecehkan, dan dijadikan bahan lelucon seperti Aziz Gagap dalam OVJ beberapa tahun silam. Tidak hanya itu mereka juga sering ditolak dunia kerja dalam tes wawancara ketika melamar pekerjaan.  

Perlakuan-perlakuan seperti itu tidak jarang membuat orang gagap mengalami keterasingan sosial, tidak percaya diri, menanggung malu, kurang berprestasi, karir terhambat, putus asa dan bahkan tergoda bunuh diri. Padahal jumlah mereka  cukup besar karena diperkirakan 1 persen dari penduduk berbicara gagap. Jika penduduk Indonesia sekarang kira-kira adalah 260 juta, maka  terdapat sekitar 2,2 juta orang gagap di Indonesia.

Munas dan Konbes NU di Lombok

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj beberapa waktu lalu di Pesantren Al-Tsaqofah Ciganjur, Jakarta Selatan menyatakan persoalan disabilitas akan dibawa ke perhelatan Musyawarah Nasional (Munas) dan Konferensi Besar (Konbes) NU yang berlangsung di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Sudah bisa diprediksi Munas dan Konbes NU tersebut tidak membicarakan tentang orang-orang gagap dalam pembahasan tentang disabilitas karena permasalahan orang gagap belum menjadi wacana publik di Indonesia. 

Pertanyaannya adalah apakah memang orang gagap pantas disebut difabel, atau bahkan disabled persons menurut versi internasional? 
 
Memasukkan orang gagap kedalam difabel atau disabled persons mungkin akan menimbulkan sikap pro dan kontra di Indonesia, bahkan mungkin perlawanan keras, baik dari kalangan internal orang gagap itu sendiri maupun dari eksternalnya, seperti keluarga dan masyarakat. 
 
Di negara-negara Eropa dan Amerika, dimasukkanya orang gagap kedalam kelompok disabled persons memang sempat menjadi polemik yang sangat seru. Namun polemik ini dapat diakhiri dengan baik karena pihak-pihak yang menentang berhasil diyakinkan bahwa yang terpenting bukan bagaimana orang-orang gagap diberi label. Hal yang jauh lebih penting dan mendesak adalah bagaimana mereka diperlakukan secara adil, manusiawi dan bermartabat di bawah undang-undang seperti yang berlaku di negara-negara maju tersebut.


Penulis adalah dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta