Bahtsul Masail

Penjelasan Seputar Kontroversi Kesunahan Puasa Rajab

Jum, 23 Maret 2018 | 05:00 WIB

Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Redaksi Bahtsul Masail NU Online, sebelumnya mohon maaf, saya ingin bertanya perihal anjuran puasa Rajab. Setahu kami beberapa penjelasan sejumlah ustadz bahwa tidak ada hadits perihal puasa Rajab. Puasa Rajab menjadi kontoversi. Bagaimana kita harus menyikapinya? Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Rahmawati/Mojokerto).

Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga Allah SWT menurunkan rahmat-Nya untuk kita semua. Pertama, yang perlu dipahami adalah bahwa segala sesuatu yang diamalkan oleh umat Islam harus memiliki pijakan atau dasar dalam agama, yaitu Al-Quran, hadits, ijmak, atau qiyas.

Dari sini kemudian suatu amal ibadah dapat dimasukkan ke dalam dua kategori, sunah atau bid‘ah. Amalan sunah adalah amalan yang memiliki pijakan dalam sumber agama Islam. Sedangkan amalan bid‘ah adalah amal yang tidak memiliki pijakan dalam Islam.

Hanya saja yang perlu diingat kembali bahwa amalan sunah dan bid’ah yang dibahas di sini dipahami menurut definisi syariah, bukan secara bahasa yang cakupannya terlalu umum sehingga apapun dapat dikenakan label bid‘ah. Hal ini disebutkan oleh ulama Madzhab Hanbali, Ibnu Rajab Al-Hanbali sebagai berikut:

وقال الحافظ ابن رجب الحنبلي: والمرادُ بالبدعة: ما أحدث مما لا أصل له في الشريعة يَدُل عليه، أما ما كان له أصل من الشرع يدل عليه، فليس ببدعة شرعاً، وإن كان بدعة لغة.

Artinya, “Ibnu Rajab Al-Hanbali mengatakan, ‘Yang dimaksud bid‘ah sesat itu adalah perkara baru yang tidak ada sumber syariah sebagai dalilnya. Sedangkan perkara baru yang bersumber dari syariah sebagai dalilnya, tidak termasuk kategori bid‘ah menurut syara’/agama meskipun masuk kategori bid‘ah menurut bahasa,’” (Lihat Ibnu Rajab Al-Hanbali pada Syarah Shahih Bukhari).

Perihal hadits Rasulullah SAW yang menjelaskan soal bid‘ah itu, Guru Besar Hadits dan Ulumul Hadits Fakultas Syariah Universitas Damaskus Syekh Musthafa Diyeb Al-Bugha membuat catatan singkat berikut ini.

من أحدث) اخترع (في أمرنا هذا) ديننا هذا وهو الإسلام (ما ليس فيه) مما لا يوجد في الكتاب أو السنة ولا يندرج تحت حكم فيهما أو يتعارض مع أحكامها وفي بعض النسخ (ما ليس منه) (فهو رد) باطل ومردود لا يعتد به

Artinya, “Siapa saja yang mengada-ada (membuat hal baru) di dalam urusan (agama) kami (agama Islam) yang bukan bersumber darinya (tidak terdapat dalam Al-Quran atau sunah, tidak berlindung di bawah payung hukum keduanya atau bertolak belakang dengan hukumnya), maka tertolak (batil, ditolak, tidak diperhitungkan),’ (Lihat Ta’liq Syekh Mushtofa Diyeb Al-Bugha pada Jamius Shahih Al-Bukhari, Daru Tauqin Najah, Cetakan Pertama 1422 H, Juz IX).

Lalu bagaimana dengan amalan puasa di Bulan Rajab? Secara lugas dan spesifik, tidak ada hadits yang bisa dipertanggungjawabkan menyebutkan anjuran untuk mengamalkan puasa sunah Rajab. Tetapi yang perlu diingat, larangan untuk berpuasa di bulan Rajab juga tidak ditemukan di dalam Al-Quran, hadits, ijmak sebagai sumber hukum Islam. Artinya, puasa sunah di bulan Rajab tidak bisa dikatakan bid‘ah. Hal ini disebutkan oleh Imam An-Nawawi, ulama dari kalangan Syafi’iyah yang juga pakar hadits, berikut ini:

تنبيه) قال في كتاب الصراط المستقيم: لم يثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم في فضل رجب إلا خبر كان إذا دخل رجب قال: اللهم بارك لنا في رجب ولم يثبت غيره بل عامة الأحاديث المأثورة فيه عن النبي صلى الله عليه وسلم كذب وقال النووي: لم يثبت في صوم رجب ندب ولا نهي بعينه ولكن أصل الصوم مندوب

Artinya, “(Peringatan) di Kitab Shiratul Mustaqim disebutkan, tidak ada riwayat yang tetap terkait keutamaan puasa Rajab dari Nabi Muhammad SAW kecuali hadits, ‘Jika masuk bulan Rajab, Rasulullah berdoa, ‘Ya Allah, berkatilah kami pada Bulan Rajab.’ Tidak ada riwayat selain ini. Bahkan hadits Rasulullah SAW terkait keutamaan Rajab umumnya dusta.’ Imam An-Nawawi  mengatakan, tidak ada riwayat perihal puasa Rajab yang berisi anjuran dan larangan secara spesifik. Tetapi ibadah puasa pada prinsipnya dianjurkan dalam agama,” (Lihat Abdur Rauf Al-Munawi, Faidhul Qadir bi Syarhi Jami‘is Saghir, [Beirut, Darul Makrifah, 1972 M/1391 H], cetakan kedua, juz IV, halaman 18).

Dari keterangan Imam An-Nawawi ini, kita dapat menarik simpulan bahwa agama Islam menganjurkan secara umum ibadah puasa di bulan dan hari apa saja kecuali hari-hari larangan puasa yang disebutkan oleh agama secara lugas, yaitu puasa di dua hari raya Id, hari tasyrik (11, 12,13 Dzulhijjah). Artinya, Rajab termasuk bulan di mana kita dianjurkan untuk berpuasa. Meskipun tidak ada dalil secara rinci, dalil umum menganjurkan umat Islam untuk mengamalkan puasa sunah Rajab.

Adapun perbedaan pendapat di tengah masyarakat mesti disikapi dengan bijaksana. Setiap pihak tidak boleh memaksakan kehendaknya. Semuanya harus menghargai pandangan orang lain yang berbeda.

Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.



(Alhafiz Kurniawan)