Opini

Anatomi Radikalisme di Indonesia (7): Dua Jenis Salafi di Tanah Air

Jum, 10 Agustus 2018 | 12:30 WIB

Anatomi Radikalisme di Indonesia (7): Dua Jenis Salafi di Tanah Air

Ilustrasi (Dhaka Tribune)

Oleh M. Kholid Syeirazi

Senapan memang bisa membunuh teroris, tetapi tidak ideologinya. Radikalisme berakar dari ideologi salafi yang didirikan oleh Ibn Taimiyah (1263–1328 M) dan menjelma menjadi gerakan revolusioner di tangan Muhammad Ibn Abd Wahhab (1701-1793 M). Ideologi salafi yang tidak toleran, absolutis, dan puritan membentuk cara berpikir radikal. Radikal adalah separo modal untuk menjadi teroris. Salafi dengan programnya yang keras menentang ‘syirik kubur’ dan amaliah bid’ah akan naik kelas menjadi jihadis begitu terpapar doktrin ‘syirik undang-undang’ yang merupakan materi tauhid hâkimiyah. Seorang jihadis akan menjadi teroris begitu siap melakukan ‘amaliah’ teror dengan iming-iming syahid, bidadari, dan surga. 

Terorisme berakar dari doktrin-doktrin jihad qitâl yang dibangunIbn Taimiyah (1263–1328 M) dan Sayyid Quthb (1906-1966 M), tauhid hâkimiyah Abu A’la al-Mawdudi (1903-1979 M), dan juknis jihad Abdus Salam Farag (1954-1982 M). Di tengah situasi perang, doktrin ini berkembang di tangan Abdullah Azzam (1941-1989 M), Abdurrab Rasul Sayyaf (lahir 1946 M), Usamah bin Ladin (1957-2011 M), Ayman al-Zawahiri (lahir 1951 M), dan Abu Bakar al-Baghdadi (1971-2017 M).

Perang global melawan terorisme telah menewaskan banyak teroris, tetapi tidak ideologinya. Paham salafi dan salafi-jihadi masih punya banyak pengikut dan juru bicara. Dalam sistem demokrasi, mereka bebas dan dijamin undang-undang untuk berkumpul dan menyatakan pendapat, termasuk mengadakan kajian. Secara garis besar, dua kelompok salafi bersaing di panggung dakwah Indonesia: Salafi-Hijazi dan Salafi-Ikhwani. 

Salafi-Hijazi

Salafi-Hijazi menginduk kepada doktrin Wahhabi dan pendapat duo ulama pro Kerajaan Arab Saudi—Bin Baz dan Nashirudin al-Albani. Kajian mereka seputar pemurnian tauhid dan ibadah, membahas ‘syirik kubur’ dan anti-bid’ah. Mereka apolitis, tidak menyentuh wilayah ‘syirik undang-undang’ atau demokrasi. Ini bisa dimengerti karena kiblat mereka adalah Arab Saudi yang berbentuk kerajaan. Sistem monarki, dalam perspektif salafi-jihadi, bermasalah dan bahkan disebut sebagai representasi dâr al-kufr

Salafi-Ikhwani

Salafi-Ikhwani menginduk kepada al-Ikhwân al-Muslimûn (IM) Mesir yang didirikan Hasan al-Banna. Dari rahim IM inilah lahir paham salafi-jihadi. Fokus gerakannya bukan hanya anti-bid’ah dan ‘syirik kubur,’ tetapi ‘syirik demokrasi dan undang-undang. ’ Mereka menyerang demokrasi dan memurtadkan pemimpin muslim yang berhenti memperjuangkan syariat Islam. Jihad bagi mereka bukan hanya melawan agresor asing (kâfir harbî), tetapi juga terhadap penguasa setempat (kâfir mahallî) yang murtad karena enggan menegakkan hukum Islam. Seluruh doktrin salafi-jihadi—dalam semua variannya—bisa dilacak bersumber dari IM Mesir yang kemudian pecah menjadi banyak faksi. 

Di dalam kelompok salafi dan salafi-jihadi banyak turunan dan pecahan, masing-masing bahkan saling mengkafirkan. Kelompok salafi, misalnya, menyebut salafi-jihadi sebagai reinkarnasi Khawarij. Namun, baik salafi maupun salafi jihadi, sama-sama bernaung di bawah fatwa-fatwa Ibn Taimiyah. Ibn Taimiyah adalah mentor intelektual dari seluruh aliran salafi. Paham salafi dan salafi-jihadi punya panggung untuk mentransfer paham dan keyakinannya melalui pengajian tertutup dan terbuka, bahkan diunggah ke media sosial untuk diikuti siapa saja. Terkadang mereka bukan hanya menyerang ormas lain seperti NU yang jelas berbeda, tetapi juga saling men-tahdzir di antara penganut salafi sendiri. 

Pendekatan hukum adalah mutlak tetapi tidak cukup. Memburu dan menghukum pelaku teror wajib. Namun, sejarah mencatat, teroris bisa dihukum mati tetapi tidakajarannya. Belajar dari kasus IM di Mesir, paham radikalisme justru menjamur di sel-sel penjara. Bahkan Ba’asyir dan Aman Abdurrahman bisa me-remote control aksi amaliah dari bilik jeruji. Pendekatan sosial-budaya berbasis masyarakat sipil harus bergandeng dengan pendekatan hukum-represif oleh negara.

Dialog tetap penting untuk mengembangkan toleransi, mengakui fakta kemajemukan tafsir atas Islam, dan menghargai perbedaan pendapat. Institusi pendidikan juga berperan penting mencegah penyebaran radikalisme. Caranya, antara lain, memasukkan wawasan kebangsaan dalam kurikulum pendidikan agama Islam. Materi ini penting untuk meletakkan dasar pemahaman bahwa umat Islam bukan hanya wajib menjadi muslim yang saleh, tetapi juga warga negara yang baik, yang tulus mengakui kebhinekaan dan menghargai perbedaan. NKRI berdasarkan Pancasila adalah common platform agar setiap orang bisa menjadi warga negara yang baik sekaligus penganut agama yang taat. 



Penulis adalah Sekretaris Jenderal Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU)

Tulisan ini merupakan rangkaian dari tujuh seri artikel tentang anatomi radikalisme yang dipublikasikan secara berkala di NU Online. Ulasannya berusaha melacak akar ideologi radikal, antara lain dengan menyinggung soal DI/NII, penetrasi salafisme, generasi Harbi Pohantun dan Infishâl, serta JI, JAT, dan JAD.