Syariah

Hukum Pengambilan Jatah Daging atau Kulit oleh Panitia Kurban

Rab, 22 Agustus 2018 | 14:30 WIB

Hukum Pengambilan Jatah Daging atau Kulit oleh Panitia Kurban

(Foto: pinterest)

Panitia kurban di tengah masyarakat biasanya merangkap sebagai tim jagal yang menyembelih, menguliti, mencincang, dan membuat paketan hewan kurban yang baru disembelih yang siap didistribusikan ke masyarakat. Kalau panitia kurban dipandang sebagai tim jagal, maka mereka tidak berhak menerima bagian hewan kurban (baik kulit, daging, maupun bagian lainnya) dari orang yang menunaikan ibadah kurban sebagai upah.

Pasalnya, orang yang menunaikan ibadah kurban diharamkan untuk memberikan sebagian dari hewan kurbannya kepada tim jagal sebagai upah bagi mereka. Orang yang menunaikan ibadah kurban harus menyiapkan dana atau benda berharga lainnya di luar daging atau kulit hewan kurbannya sebagai upah untuk mereka.

Syekh Nawawi Banten menjelaskan alasan kenapa orang yang berkurban dilarang memberikan daging atau kulit hewan kurban kepada tim jagal sebagai upah. Tetapi jika orang yang berkurban itu memberikan daging atau kulit hewan kurban kepada panitia kurban yang merangkap tim jagal dengan niat sedekah, maka pemberian itu tidak dilarang.

ـ (ويحرم أيضا جعله) أي شيئ منها (أجرة للجزار) لأنه في معنى البيع (ولو كانت الأضحية تطوعا) فإن أعطى للجزار لا على سبيل الأجرة بل على سبيل التصدق جزءا يسيرا من لحمها نيئا لا غيره كالجلد مثلا، ويكفي الصرف لواحد منهم، ولا يكفي على سبيل الهدية

Artinya, “(Menjadikannya) salah satu bagian dari kurban (sebagai upah bagi penjagal juga haram) karena pemberian sebagai upah itu bermakna ‘jual’, (meskipun itu ibadah kurban sunnah). Jika kurbanis memberikan sebagian daging kurban mentah, bukan selain daging seperti kulit, kepada penjagal bukan diniatkan sebagai upah, tetapi diniatkan sebagai sedekah [tidak masalah]. Pemberian daging kurban kepada salah satu dari penjagal itu memadai, tetapi pemberian daging kepada penjagal tidak memadai bila diniatkan hadiah,” (Lihat Syekh M Nawawi Banten, Tausyih ala Ibni Qasim, [Beirut, Darul Fikr: 1996 M/1417 H], halaman 272).

Berbeda dari Syekh M Nawawi Banten yang menganggap pemberian kepada tim jagal dengan niat hadiah itu tidak memadai, Syekh M Ibrahim Al-Baijuri berpendapat lain.

Menurut Al-Baijuri, orang yang berkurban dilarang memberikan sesuatu dari hewan kurban kepada tim jagal dengan niat sebagai upah mereka. Kalau pemberian itu diniatkan sebagai sedekah atau hadiah untuk mereka, maka hal itu tidak masalah.

ـ (ويحرم أيضا جعله أجرة للجزار) لأنه في معنى البيع فإن أعطاه له لا على أنه أجرة بل صدقة لم يحرم  وله إهداؤه وجعله سقاء أو خفا أو نحو ذلك كجعله فروة وله إعارته والتصدق به أفضل

Artinya, “(Menjadikan [daging kurban] sebagai upah bagi penjagal juga haram) karena pemberian sebagai upah itu bermakna ‘jual’. Jika kurbanis memberikannya kepada penjagal bukan dengan niat sebagai upah, tetapi niat sedekah, maka itu tidak haram. Ia boleh menghadiahkannya dan menjadikannya sebagai wadah air, khuff (sejenis sepatu kulit), atau benda serupa seperti membuat jubah dari kulit, dan ia boleh meminjamkannya. Tetapi menyedekahkannya lebih utama,” (Lihat Syekh M Ibrahim Baijuri, Hasyiyatul Baijuri, [Beirut, Darul Fikr: tanpa catatan tahun], juz II, halaman 311).

Dari pelbagai keterangan di atas, kita dapat menarik simpulan bahwa orang yang berkurban dilarang memberikan sesuatu dari hewan kurbannya kepada tim jagal dengan niat sebagai upah kerja mereka. Tetapi ketika tim jagal itu tidak lain adalah tim panitia kurban sendiri, orang yang berkurban tetap dapat memberikan daging atau kulit mereka dengan niat sedekah, bukan niat sebagai upah.

Dengan asumsi bahwa tim jagal itu tidak lain adalah tim panitia kurban sendiri dan pelbagai keterangan fiqih tersebut, kita dapat mengatakan bahwa panitia kurban tetap berhak menerima daging atau kulit hewan kurban yang diniatkan sedekah, bukan upah, oleh mereka yang berkurban. Wallahu a‘lam. (Alhafiz K)