Syariah

Solusi Kasus Kredit Syariah Akad IMBT Pasca-Bencana

Sel, 6 November 2018 | 12:45 WIB

Kredit mobil baik secara syariah maupun secara konvensional, pada dasarnya mengikuti proses akad ijarah muntahiyah bi al-tamlîk atau syirkah musâhamah bi nihâyati al-tamlîk. Purna akad dari sistem ini adalah kepemilikan barang sepenuhnya oleh pembeli setelah. Proses perpindahan kepemilikan barang terjadi berangsur-angsur seiring bertambahnya jumlah pembayaran angsuran oleh debitur kepada kreditur. Kreditur yang dimaksud dalam kesempatan tulisan ini adalah perbankan atau perusahaan jasa leasing.

Perbedaan kredit ala ijarah muntahiyah bi al-tamlik dengan kredit yang masuk dalam kategori jual beli taqsith atau jual beli tempo adalah keberadaan angsuran yang cenderung menurun setiap kali terjadi pertambahan jumlah angsuran oleh debitur. Selain itu, status kepemilikan barang pada produk IMBT adalah tidak sama dengan kepemilikan barang produk taqsith (perkreditan). Barang yang diperoleh lewat akad IMBT adalah belum sepenuhnya menjadi hak milik debitur. Hal ini berbeda pada kasus jual beli taqsith atau jual beli dengan harga tunda yang mana status hak milik barang sudah menjadi wewenang mutlak dari pembeli. Syeikh Wahbah Zuhaily menyebut sebagai milkun naqish dan milkun tâm

والملك الناقص هو ملك العين وحدها أو المنفعة وحدها ويسمى ملك المنفعة حق الإنتفاع 

Artinya: “Milkun nâqish adalah suatu kepemilikan atas dasar barang saja dan bukan manfaatnya, atau manfaatnya saja dan tidak pada barangnya. Yang dimaksud kepemilikan manfaat adalah hak pemanfaatan barang.” (Wahbah Zuhaily, Al-Fiqhu al-Islâmy wa Adillatuhu, Damaskus: Daru al-Fikr, tt.: 4/415)

Lawan dari milkun naqish adalah milkun tâm, yaitu kepemilikan atas barang dan manfaat. Jadi, dua-duanya, baik manfaat maupun barangnya menjadi hak dari seseorang yang membeli. 

Untuk milkun tâm, seorang pembeli hanya berhak mengambil manfaat dari barang saja, sementara barangnya tidak ikut memiliki. Barang masih menjadi hak penjual, sehingga pembeli harus menyewanya (ijârah) agar bisa mendapatkan manfaat yang dibelinya. Contoh gampang dari praktik akad ini adalah meteran listrik rumah tangga, yang mana wujud meterannya masih merupakan hak milik dari PLN (Perusahaan Listrik Negara), sedangkan manfaat dari meteran itu dimiliki oleh konsumen rumah tangga PLN. 

Akad IMBT merupakan turunan dari milkun tâm sebagaimana diuraikan di atas. Bedanya, barang yang dibeli (ain al-musta’jar) bisa diakuisisi kepemilikannya secara sempurna oleh pihak penyewa/pembeli setelah purna akadnya. Paripurnanya akad merupakan hal yang diikat oleh sebuah perjanjian antara pihak lembaga perkreditan dan pembelinya. Meski ada wujud perjanjiannya, namun akad ini tidak bisa dikategorikan sebagai akad bai’u al-‘uhdah, yaitu jual beli yang disertai dengan janji akan dijual kembali kepada penjualnya setelah selang beberapa waktu tertentu. Akad bai’u al-uhdah sering dikenal sebagai akad sende. Dalam bai’u al-uhdah, peralihan kepemilikan berlangsung sempurna dari penjual ke pembeli. Begitu juga saat jatuh tempo, peralihan kepemilikan juga berlangsung sempurna dari pembeli ke penjual kembali. Sementara dalam IMBT, status kepemilikan barang tidak berlangsung sempurna sebelum purna akad. Jadi, pada poin transfer of risk (hak penguasaan barang) inilah, para pakar fiqih muamalah harus memberikan penekanan perhatian. 
Karena kepemilikan barang dalam IMBT tidak terjadi secara sempurna, maka pihak pembeli hanya memiliki kewajiban atas harga sewa barang. Mengapa demikian? Karena dalam akad IMBT, pembeli merupakan pihak yang berperan selaku penyewa barang dan hanya berhak atas manfaat barang. 

Sebenarnya, kasus IMBT ini tidak selalu sebagaimana yang penulis sebutkan di atas dalam wilayah operasionalnya. Ada juga yang memiliki pola lain yang lebih cocok apabila dikategorikan sebagai akad syirkah musâhamah bi nihâyati al-tamlîk (SMBT). Namun, dalam catatan penulis, sejauh ini, pola perkreditan kendaraan lewat jasa syariah atau konvensional, lebih condong kepada praktik IMBT dengan segenap model perpindahan kepemilikan barangnya. Ciri khasnya, adalah pihak perusahaan jasa leasing masih bisa mengambil mobil / kendaraan yang sudah berada di tangan pembeli apabila terjadi keterlambatan dalam melakukan transaksi untuk alasan dilelang guna menutup kekurangan tagihan pembeli. Sementara itu, hasil pelelangan kadang tidak diberitahukan kepada pembeli, sehingga pembeli tidak mendapat pengembalian dari sisa hasil lelangnya ketika harga pokok barangnya sudah terpenuhi semua. 

Dengan memahami konteks ini, maka apabila terjadi kasus bencana sehingga menyebabkan hilangnya barang yang diakadkan dalam IMBT, maka hak dasar dan tanggung jawab pembeli adalah sebatas pada pembayaran harga sewa sampai dengan waktu terjadinya bencana. Adapun tanggung jawab rusaknya barang yang disewa adalah menjadi hak dan tanggung jawab penjual, karena status kepemilikan barang belum berpindah ke pembeli/penyewa. 

Sampai di sini, justru hak dari pembeli/penyewa adalah mendapatkan hak kembalian (ganti rugi) harga pokok barang yang telah dibayarkan kepada perusahaan leasing seiring perjanjian akan dibelinya barang tersebut di akhir akad. Mengapa demikian? Status harga pokok yang dibayarkan bersama-sama dengan cicilan tiap bulannya adalah ibarat titipan uang yang diberikan dalam bentuk akad wadi’ah yadu al-amanah seiring kepercayaan pembeli kepada perusahaan untuk menjaganya sampai purna akad. 

Seberapa besar ganti rugi tersebut diberikan kepada pembeli/penyewa barang? Besaran ganti rugi yang harus diberikan oleh perusahaan leasing adalah sebesar harga pokok cicilan dikalikan banyaknya bulan sampai dengan waktu datangnya bencana. Tapi, apa mungkin ini mampu dilaksanakan oleh perusahaan ya? Bagaimana pula dengan perkreditan mengikut pola akad SMBT? Insyaallah kita akan kupas pada tulisan-tulisan mendatang. Wallahu a’lam bish shawab.


Muhammad Syamsudin, Tim Peneliti dan Pengkaji Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jatim