Syariah

Maulid yang Bidah Menurut Sayyid M Alwi Al-Maliki

Kam, 22 November 2018 | 13:45 WIB

Peringatan maulid tidak bisa disebut bidah atau sunnah. Ia merupakan sarana untuk mengenang dan mengenal pribadi Nabi Muhammad SAW dalam segala sisinya yang dapat menjadi pelajaran bagi umatnya. Oleh karena itu, peringatan maulid sering kali disisipi dengan nilai-nilai luhur yang dipraktikkan oleh Rasulullah SAW agar dapat diteladani masyarakat.

Peringatan maulid berada di luar kategori bidah atau sunnah karena ia hanya tradisi atau adat. Hanya saja memang peringatan maulid memang mengandung banyak manfaat bagi masyarakat sebagai momentum yang perlu mendapat perhatian lebih untuk mengenang Rasulullah SAW.

Peringatan maulid ini, kata Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, bisa berstatus bidah bukan karena praktik ini terbilang baru, tetapi karena keyakinan kita untuk mengenang dan menyebut Rasulullah SAW pada waktu tertentu. Padahal, kenangan dan sebutan atas Rasulullah SAW harus dilakukan setiap waktu, bahkan dalam setiap embusan nafas seorang Muslim.

والحاصل أننا لا نقول بسنية الاحتفال بالمولد المذكور في ليلة مخصوصة بل من اعتقد ذلك فقد ابتدع في الدين لأن ذكره صلى الله عليه وسلم والتعلق به يجب أن يكون في كل حين ويجب أن تملأ به النفوس

Artinya, “Simpulannya, kami tidak mengatakan kesunnahan peringatan maulid tersebut pada malam tertentu. Bahkan siapa saja yang meyakini demikian, maka ia terjatuh pada bidah dalam Islam. Pasalnya, ingatan dan kaitan diri kita terhadap Nabi Muhammad SAW wajib dilakukan pada setiap waktu dan wajib terisi nafas kita olehnya,” (Lihat Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, Mafahim Yajibu an Tushahhah, Surabaya, Haiatus Shafwah Al-Malikiyyah, tanpa catatan tahun, halaman 341).

Keyakinan bahwa sebutan atau peringatan atas Rasulullah SAW hanya berlaku pada hari atau bulan tertentu jelas masuk dalam kategori bidah. Oleh karena itu, keyakinan tersebut harus dibuang jauh agar kita tidak membatasi diri untuk menyebut dan mengaitkan diri dengan Rasulullah SAW pada waktu-waktu tertentu saja.

Tetapi tentu saja semangat peringatan, kenangan, atau sebutan terhadap Rasulullah SAW menguat pada bulan kelahiran Rasulullah SAW karena perasaan kerinduan masyarakat yang meluap dan kemurahan hati mereka pada saat itu.

نعم إن في شهر ولادته يكون الداعي أقوى لإقبال الناس واجتماعهم وشعورهم الفياض بارتباط الزمان بعضه ببعض فيتذكرون بالحاضر الماضي وينتقلون من الشاهد إلى الغائب

Artinya, “Tetapi pada bulan kelahiran Nabi Muhammad SAW, dorongan untuk mengingat dan mengaitkan diri pada Rasulullah SAW lebih kuat karena kedatangan, kumpulan, dan limpahan rasa murah hati mereka terkait satu waktu dengan yang lain sehingga mereka mengingat orang yang hadir di masa lalu dan perhatian mereka beralih dari  yang hadir kepada sosok yang telah tiada,” (Lihat Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, Mafahim Yajibu an Tushahhah, Surabaya, Haiatus Shafwah Al-Malikiyyah, tanpa catatan tahun, halaman 341).

Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki ingin mengatakan bahwa umat Islam tidak boleh “jauh” dari Rasulullah. Mereka harus menghadirkan kenangan atas akhlak Rasulullah dan membasahi mulutnya dengan shalawat setiap saat. Tetapi pada waktu-waktu tertentu seperti pada bulan maulid masyarakat perlu mengenang Rasulullah lebih intensif.

Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki tidak bermaksud untuk menyalahkan umat Islam yang mengadakan peringatan maulid pada Bulan Rabi'ul Awwal. Ia justru mengapresiasi tradisi peringatan maulid di masyarakat pada bulan Rabi’ul Awwal. Meski mengingat dan bershalawat pada bulan dan hari apa saja, masyarakat meningkatkan kedekatannya kepada Nabi Muhammad SAW pada Rabi’ul Awwal.

Pernyataan Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki tidak berlebihan. Pasalnya, Rasulullah SAW sendiri menganjurkan kita untuk lebih banyak bershalawat pada hari Jumat, meski setiap hari kita juga dianjurkan untuk bershalawat. Wallahu a‘lam. (Alhafiz K)