Pustaka

Manakib Habib Luthfi: Catatan Kekaguman Seorang Santri

Sab, 8 Januari 2022 | 11:15 WIB

Manakib Habib Luthfi: Catatan Kekaguman Seorang Santri

Buku Cahaya Nusantara Maulana Habib Lutfhi karya Habib Muhdor Ahmad Assegaf.

Buku Cahaya Nusantara Maulana Habib Lutfhi hasil karya Habib Muhdor Ahmad Assegaf, mengajak pembaca mengarungi samudera ilmu yang sangat dalam dan luas. Pada beberapa lembaran buku tersebut, acap kali menemukan pitutur, pengetahuan dan cerita baru dalam dunia sufistik.


Maulana Habib Luthfi bin Yahya (Lahir 10-11-1946 M/ 27 Rajab 1367 H), tidak hanya sosok ulama karismatik di Nusantara, beliau juga populer menempati posisi strategis di kancah Nasional maupun Internasional yakni pimpinan Forum Ulama Sufi Sedunia, Dewan Pertimbangan Presiden serta sederet Jabatan Strategis di Nahdlatul Ulama dan lainnya.


Selain nasabnya sampai pada baginda Nabi Muhammad SAW, beliau juga dikenal sebagai ahli sejarah yang mampu menjelaskan secara terperinci perjalanan sejarah kenabian, misalnya dengan menghitung mundur peristiwa ribuan tahun yang lalu, menggambarkan situasi tentang majunya peradaban dua tanah haram (Haramain/ Mekah dan Madinah), bercerita tentang gunung kecil aktif tak pernah mengeluarkan uap di Madinah, buah-buahan seperti rumman (delima), tuffah (apel), habbab (semangka) Bithit (blewah) dan sebagainya.


Beliau juga piawai menggambarkan peradaban masa aulia (para wali) dalam ranah global hingga lokal (Nusantara) yakni sejarah sembilan wali di Nusantara, bahkan amalan tarekat yang amalkan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono terlukis dalam guratan sejarah yang tak banyak orang mengetahuinya. 


Penulis buku ini adalah Habib Muhdor Ahmad Assegaf, yang seringkali menggantikan ceramah beliau serta sebagai santri dan abdi dalem (selama 15 tahun berkhidmah) dari Habib Luthfi, Ditulis dengan sangat apik. Buku ini terdiri dari sebelas bab atau sebelas catatan, dipungkas dengan penutup. Catatan pertama dan kedua menjelaskan tentang siapa sosok Habib Luthfi, tradisi dan kesehariannya serta peran sebagai tokoh yang amat disegani. Selain menjelaskan tokoh pengaruh dunia dan masuk pada daftar 50 dari 500 Muslim paling berpengaruh (sejak 2019-sekarang).


Maulana Habib Luthfi juga seorang Jawa, yakni habib yang Jawa atau ‘Jawa yang habib’. Meskipun memiliki jalur nasab Nabi Muhammad saw, tetapi berperilaku sangat baik terhadap keturunan ajam (non-Arab), apalagi terhadap ahlul bait (keturunan Nabi) yang berasal dari Arab maupun ajam. Beliau memiliki kecerdasan serta hafalan yang kuat (dhabith), tetapi tidak memiliki sifat angkuh atau sombong. Karena kecintaan kepada Jawa, keseharian menggunakan bahasa Jawa, sesekali terlihat menggunakan blangkon atau pakaian adat Jawa. Orang menyebutnya sangat nJawani (berkepribadian layaknya orang Jawa asli), andap asor, ramah, santun dan bersahabat.


Kebiasaan orang untuk ngalap barokah bahkan ketika dalam kondisi tertentu, Habib Luthfi selalu dikerumuni banyak orang, berdesakan yang membuat para penderek dan santrinya marah serta berupaya membubarkan kerumunan, karena kondisi yang lelah dan tidak sehat, namun tindakan tersebut dilarang oleh beliau, yang menunjukkan kecintaan terhadap umat sangat besar.

 

Mbah Maimoen Zubair mengatakan “Aktivis NU tidak boleh terpancing dan bermusuhan dengan ahlul bait. Kalau kamu berpegang pada orang NU yang Habib dan Habib yang NU, Peganglah Habib Luthfi bin Yahya, Karena beliau adalah ulama habib yang Jawa serta orang Jawa yang paham habib”.


Corak sufisme yang diusung oleh beliau menjunjung tinggi akhlak mulia. Selaras dengan regulasi hukum syara’ serta menghindari penyimpangan (deviasi) juga bersikap moderat. Sufi yang memiliki kontribusi dalam moralitas, mendorong pengikut dan santrinya yang jumlahnya jutaan umat Islam untuk berperilaku santun serta mengajak berkomitmen terhadap doktrin Ahlusunnah wal Jamaah, tak lupa pula mengajak untuk bersatu menjaga kebinekaan dalam bingkai NKRI.


Catatan ketiga, menjelaskan tentang kisah pencarian ilmu yang dilakukan oleh beliau kepada gurunya dari tahun 1985 hingga sekarang, terdapat sebanyak 95 ulama. Salah satu ulama besar yang menjadi gurunya meskipun lebih muda yakni Al-Alamah Al-Habib Umar bin Hafid bin Syekh Abu Bakar bin Salim Tarim Yaman serta ulama Haramain lainnya.

 

Sementara, di Nusantara, ulama dari Jakarta, Indramayu, Cirebon, Pemalang, Tegal, Pekalongan, Semarang dan Kawasan Mataram. Beliau juga belajar ke Hijaz, Jiran dan Singapura serta masih banyak lagi. Perjalanan yang banyak menghabiskan energi untuk mencari ilmu, ditambah lagi dengan mondok selama 22 tahun.


Catatan keempat memuat tentang pola hidup sehat yang diimplementasikan dalam keseharian beliau merujuk pada anjuran para shalihin (orang shaleh), ahli tasawuf, orang-orang pilihan (khawasul khawas), seperti makan secukupnya, tidak berlebihan (sepertiga perut), serta hakikat yang bersifat ruhaniyah ketika berbuka puasa. Dari sisi medis beliau sangat memperhatikan makanan bukan berdasarkan pada murah atau enak tidaknya, tetapi pada aspek manfaat dan madharat (bahaya) bagi tubuh. Tradisi baik makan bersama dengan teman, santri atau siapapun merupakan kebiasaan beliau dan sesuai dengan tradisi para wali dan termasuk sunah nabi


Pada bagian kelima, menjelaskan ragam petuah terkait keutamaan berziarah yang sangat dianjurkan dan melahirkan rasa malu, ketika berziarah ke makam para wali karena ribuan manusia berdoa, khatamkan al-Qur’an, penuh kebaikan dan keberkahan. Mereka telah wafatpun bermanfaat bagi umat manusia. Petuah lain terkait nasihat pernikahan, ilmu yang bermanfaat dan berkah, filosofi air, mi’raj dan tasawuf, menghilangkan sifat ego dan lain sebagainya.


Catatan keenam tentang organisasi NU dan Persatuan kebangsaan, tentang kebanggaannya bersama ulama NU, Banser, Sejarah NU, juga terkait dengan NKRI, tanggung Jawab berbangsa dan bernegara, toleransi antar umat beragama, juru damai meredam konflik, dan segala hal terkait dengan hadirnya NU dengan NKRI.


Sementara ini pada poin ke tujuh dan kedelapan pendalaman tentang sufisme dan tarekat, dilanjutkan dengan sejarah wali serta tradisi dan kebudayaan terkait dengan fenomena sufistik. Catatan sembilan dan sepuluh, lebih memaknai cerita habib Luthfi serta amalan yang dimiliki beliau, misalnya tentang tahlil, ratib al-hadad, serta ragam sholawat.

 

Terakhir (catatan kesebelas) tentang manakib 'aulia dan ulama misalnya wali-wali perempuan yang ditawasuli oleh Habib Luthfi dilengkapi dengan paparan sejarah yang melingkupinya. Terdapat Zainab Binti Ali bin Abi Thalib R.A, Nafisah Bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib RA serta Aisyah binti Ja’far Ash-Shadiq RA. Para wali laki-laki misalnya Syekh Keramatjati, Sayyid Utsman dan masih banyak yang lainnya.


Catatan penutup merupakan sebuah upaya menempatkan posisi manusia di hadapan Allah serta manusia yang selalu berupaya tasfiyatul qulub (menjernihkan hati) atau tazkiyatun nufus (mensucikan jiwa), serta bagaimana taat kepada Allah, kepada Rasul-Nya, taat kepada orang tuanya. Semua itu merupakan jalan mahabbah yang esotik dan harus terimplementasi dalam hidup manusia


Buku ini, harus menjadi referensi primer bagi para salikin, muhibbin serta orang yang sedang menyelami tasawuf serta segala cakrawala pengetahuan tentang moralitas, kecintaan terhadap Allah dan Rasulnya serta Nasionalisme dan NKRI.


Ayub Wahyudin, Ketua Prodi Akhlak dan Tasawuf Institut Studi Islam Fahmina Cirebon, salah satu penulis buku "Harmoni Lintas Mazhab Menjawab Problem Covid-19 dalam Ragam Perspektif (Juni 2021)"


Judul Buku: Cahaya dari Nusantara: Maulana Habib Luthfi Bin Yahya (Catatan Kekaguman dan Kecintaan Seorang Santri)

Penulis: Muhdor Ahmad Assegaf

Penerbit: Abna Eiwun Penerbit

Cetakan: Kedua, Februari 2021