Tokoh

KH Muhammad Ridwan, Ulama Tawaduk Pecinta Ilmu dari Blitar

Sel, 19 Juli 2016 | 01:13 WIB

”Tingkah yang kita contohkan itu lebih utama daripada hanya sekadar ucapan. Nasihat inilah yang selalu disampaikan Abah kepada putra-putri dan santri-santrinya,” terang Nyai Hj Rodiah, putri pertama Almaghfurlah KH Muhammad Ridwan saat ditemui penulis di kediamannya, Kompleks Pondok Pesantren Maftahul Ulum Blitar, beberapa waktu lalu.

KH Muhammad Ridwan adalah salah seorang kiai kharismatik yang pengabdiannya kepada umat tidak perlu diragukan lagi. Lahir di Blitar pada 1908. Beliau merupakan anak dari pasangan KH Abdul Karim dan Nyai Hj Rokibah.

Sejak kanak-kanak, Kiai Ridwan, sapaan akrab KH Muhammad Ridwan dikenal kawan-kawannya sebagai anak yang punya keinginan kuat dalam menuntut ilmu. Kiai yang terkenal dengan keteguhan pendiriannya ini, dididik langsung oleh ayahnya sendiri tentang cara hidup sebagai seorang santri. Kiai Ridwan diajak shalat berjamaah dan sesekali dibangunkan malam hari untuk shalat tahajud.

Kemudian, sang ayah Kiai Abdul Karim membimbingnya untuk menghafal Al-Qur’an dengan tartil dan fasih. Dan yang paling getol diajarkan Kiai Abdul Karim dalam mendidik Kiai Ridwan adalah mengenal kitab-kitab kuning. Dari kitab paling kecil yang isinya diperlukan untuk amaliyah sehari-hari hingga kitab-kitab besar karya ulama Ahlussunah wal Jamaah terkemuka di dunia.

Kemauan keras untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya tampak sejak masa kecil. Kiai Ridwan tekun dan sangat cerdas memahami berbagai ilmu yang dipelajarinya. Hingga berusia 12 tahun, Kiai Ridwan diasuh langsung oleh ayahnya.

Setelah bekal ilmunya dianggap cukup, Kiai Ridwan merantau untuk menuntut ilmu. Dia pergi ke satu pesantren, lalu ke pesantren lainnya untuk ”ngalap” barokah. Dan yang paling lama, beliau nyantri di Tremas. Ketika itu Kiai Ridwan diasuh langsung oleh guru yang terkenal telah melahirkan ratusan kiai besar di Indonesia, yakni KH Dimyathi. Pada masa di Tremas, Kiai Ridwan termasuk salah satu santri yang paling disayang oleh gurunya tersebut. Di masa inilah kapasitas keilmuan Kiai Ridwan mulai terlihat akan mengantarkannya menjadi kiai besar di kemudian hari.

Beberapa tahun di Tremas tidak membuat Kiai Ridwan cepat berpuas diri. Kiai yang memiliki 19 anak ini melanjutkan perantauannya ke Makkah untuk menuntut ilmu. Delapan tahun lamanya di Makkah membuat keluarga memaksa Kiai Ridwan untuk pulang ke Indonesia. Akhirnya, sekitar tahun 1932, Kiai Ilyas yang masih keluarga dengan Kiai Ridwan tersebut menjemput paksa beliau untuk pulang ke Indonesia. Sesampainya di Indonesia, Kiai Ridwan langsung dinikahkan dengan wanita pilihan keluarganya, yakni Nyai Hj Hasanah.

Di blitar, tempat beliau dilahirkan inilah, Kiai Ridwan memulai perjuangan sesungguhnya. Ada cerita menarik sebelum beliau merintis Pesantren Maftahul Ulum. Kiai Ridwan pernah mufarroqoh dari salah satu kiai kampung yang ada di sekitar desanya. Pasalnya, di masjid salah satu kiai kampung tersebut hanya keturunan dan keluarganya yang boleh menjadi imam shalat. Hal inilah yang menjadi titik awal Kiai Ridwan memutuskan untuk membangun Mushala Baiturrahman yang menjadi cikal bakal Pesantren Maftahul Ulum. ”Jarene Abah sopo wae sing taqwa kaliyan Allah, sing alim oleh ngaji lan ngimami (kata ayah, siapa saja yang memiliki ketaqwaan kepada Allah SWT, mengerti tentang agama boleh menjadi imam dan memberikan pengajian),” ujar Nyai Hj Rodiah kepada penulis. Memang, Kiai Ridwan dikenal sebagai seorang ulama yang tidak pernah membedakan seseorang dari status keluarga ataupun status sosial lainnya.

Karena keteguhan prinsip dan keilmuan yang mempuni inilah, Kiai Ridwan sering diundang untuk ngaji di mana-mana. Hari-hari beliau hanya digunakan untuk mengurusi umat. Perjuangan tanpa pamrih membuatnya menjadi salah satu ulama yang disegani di Blitar dan sekitarnya. Materi pengajian dari Kiai Ridwan pun membuat pendengarnya merasa puas karena cara penyampaiannya mengikuti tingkat kemampuan jamaah.

Sering ketika beliau mengaji, kalau menjelaskan tafsir Al-Qur’an tentang adab dan neraka, di saat itu pula tiba-tiba Kiai Ridwan meneteskan air mata dan menangis. “Abah itu, kalau ngajar dengan hati. Sehingga bisa membuat jamaah yang mendengar ceramah Abah merasakan betul apa yang beliau sampaikan,” tambah Nyai Hj Rodiah.

Dalam berdakwah, Kiai Ridwan sangat menjunjung tinggi kearifan lokal di daerahnya. Hal ini dibuktikan dengan hasil karya beliau yaitu Nahwu Jawan (Nahwu Jawa) dan beberapa syiir-syiir ketauhidan yang disesuaikan dengan bahasa dan nada yang mudah dipahami masyarakat setempat.

Kiai Ridwan juga dikenal sangat menjaga tradisi–tradisi keilmuan salaf. Meskipun demikian, bukan berarti beliau mengesampingkan pendidikan umum. Beliau sendirilah yang secara langsung ikut merintis pendirian Yayasan Maftahul Ulum dan Yayasan Hasanudin yang sekarang telah menyediakan sekolah formal seperti, SMP, MTS dan MA.

Hampir seluruh masyarakat dan ulama di Blitar telah mengakui kapasitas keilmuan Kiai Ridwan. Namun hal ini tidak membuat beliau jumawa (tinggi hati). Di tengah kepopulerannya sebagai sosok kiai yang menguasai banyak bidang keilmuan, Kiai Ridwan masih saja menuntut ilmu kepada salah seorang kiai sepuh di Blitar saat itu, Mbah Yai Mansyur Kalipucung. Hal inilah yang kemudian menjadi pelajaran berharga bagi putra-putri serta santri-santrinya bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban hingga akhir hayat. Selain itu, nilai-nilai ketawadukan yang beliau contohkan, menjadi pelajaran penting bagi siapapun yang mengenal beliau.

Pagi, Kamis legi 20 Oktober 1988 atau bertepatan 9 Maulid 1409 H sekitar pukul 06.00 WIB, Kiai Ridwan mengembuskan napas terakhir, menghadap Allah SWT. Kepergiannya membuat keluarga ndalem, tetangga dan santri merasa sangat kehilangan. Namun Allah SWT Maha Kuasa dan Maha Berkehendak untuk menciptakan makhluk sekaligus mengambilnya. Akhirnya, kiai yang hidup dengan ketawadukan ini wafat dengan meninggalkan ilmu, teladan dan kenangan yang begitu dalam.

Muhammad Faishol, mantan wartawan Jawa Pos Radar Malang yang saat ini menjadi Koordinator Redaktur Media Santri NU (MSN), santri Sholawatul Qur’an Banyuwangi dan Sabilurrosyad Gasek Malang.

*Diolah dari berbagai sumber.

Sumber utama:
1. Nyai Hj Rodiah (Putri pertama, KH Muhammad Ridwan)
2. Gus Muhammad Taqiyuddin (Cucu, KH Muhammad Ridwan)