Mbah Asnawi Mukmin: Tali Simpul Waliyullah Nganjuk dan Bojonegoro
Sel, 7 Juni 2022 | 11:30 WIB
Ahmad Wahyu Rizkiawan
Kolomnis
KH Asnawi Mukmin atau Mbah Asnawi Padangan adalah tali simpul dua waliyullah Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur (KH Zainuddin Mojosari dan KH Mustajab Gedongsari). Mbah Asnawi juga sosok yang melahirkan para muasis Nahdlatul Ulama (NU) Kabupaten Bojonegoro dan Cepu. Berikut manaqib Mbah Asnawi yang didapat dari observasi manuskrip dan tracing jejak hidup.
Kota Nganjuk dan Kota Bojonegoro memiliki hubungan yang sangat kuat dalam persebaran agama islam periode pasca-Wali Songo. Selain lokasi yang memang tak berjauhan, hal itu terbukti dari keberadaan dua Waliyullah Kota Nganjuk yang berasal dari Kota Bojonegoro. Yakni, Mbah Zainuddin Mojosari dan Mbah Mustajab Gedongsari.
KH Zainuddin Mojosari (1850-1954), merupakan ulama waliyyun minauliyaillah Kota Nganjuk berjuluk Syaikhu Masyayikh. Beliau guru dari KH Wahab Chasbullah dan KH Djazuli Utsman. Beliau sosok yang hampir setiap pekan disowani KH Abdul Karim Lirboyo untuk bertabaruk. Bahkan, pada beliau, KH Hasyim Asy'ari sangat takdhim. Tak heran jika Mbah Zainuddin dijuluki Wali Nganjuk.
KH Mustajab Gedongsari (1865-1953), juga ulama besar yang memiliki banyak karomah. Beliau sosok pendiri Ponpes Gedongsari yang melahirkan banyak kiai khowas di wilayah Jawa Timur. Banyak ulama yang menceritakan figur Mbah Mustajab pada para santrinya. Kisah tentang Mbah Mustajab turun temurun ke berbagai generasi.
Mbah Zainuddin dan Mbah Mustajab lahir dan berasal dari tempat yang sama. Beliau berdua berasal dari keluarga yang sama. Bahkan, keduanya alumni Ponpes Langitan pada era kepengasuhan yang sama. Yakni, era kepengasuhan kedua. Keduanya hanya selisih usia. Mbah Zainuddin lebih tua dari Mbah Mustajab.
Mbah Zainuddin dan Mbah Mustajab kemudian mensyiarkan Islam di kota yang sama. Keduanya sama-sama menjadi pengasuh pondok pesantren di Kota Nganjuk. Bahkan, keduanya juga dikenal sebagai ulama Sohibul Wilayah di Kota Nganjuk dan sekitarnya.
Di balik nama Mbah Zainuddin Mojosari dan Mbah Mustajab Gedongsari, terdapat sosok kiai bernama Mbah Asnawi Padangan. Mbah Asnawi adalah pendahulu sekaligus guru dari kedua ulama tersebut, sebelum kedua ulama itu melanglang buana dalam pencarian ilmu dan berdakwah ke luar kota.
Nama Mbah Asnawi Padangan memang masih jarang ada yang tahu. Selain dikenal Wali Mastur, warisan berupa karya tulis dan pondok pesantren yang beliau dirikan juga minim dan tak tersisa. Namun, kiprah dakwah yang beliau lakukan justru tampak dan terbaca secara nyata pada para penerus dan anak keturunannya.
Penyambung Waliyullah Nganjuk-Bojonegoro
Mbah Zainuddin Mojosari masyhur sebagai waliyullah Kota Nganjuk. Mbah Mustajab Gedongsari juga masyhur sebagai waliyullah Kota Nganjuk. Kedua waliyullah tersebut, tersambung secara konsolidasi keilmuan dan konsolidasi genealogis dengan Mbah Asnawi Padangan.
Mbah Zainuddin Mojosari adalah adik kandung Mbah Asnawi. Sebelum Mbah Zainuddin Mojosari nyantri di Langitan, beliau nyantri di pondok pesantren Mbah Asnawi yang berada di Pengkok Padangan. Sayangnya, reruntuhan pondok Mbah Asnawi saat ini sudah tak bisa dideteksi, karena telah menjadi sekolah dan pemukiman.
Mbah Mustajab Gedongsari adalah putra dari Mbah Kiai Zarkasyi. Sementara Mbah Kiai Zarkasyi adalah adik kandung dari Nyai Murthosiah, yang tak lain adalah istri dari Mbah Asnawi. Mbah Zarkasyi adalah adik ipar Mbah Asnawi. Artinya, Mbah Mustajab Gedongsari adalah keponakan dari Mbah Asnawi Padangan.
Mbah Zainuddin dan Mbah Mustajab terhimpun dalam satu simpul genealogi kekeluargaan dengan Mbah Asnawi. Mbah Zainuddin adik kandung Mbah Asnawi. Mbah Mustajab keponakan Mbah Asnawi. Dua hal itu yang jadi alasan, kenapa jejak dakwah yang ditempuh Mbah Zainuddin Mojosari dan Mbah Mustajab Gedongsari memiliki kemiripan ideologis.
Mbah Asnawi dan para Muasis NU
KH Asnawi Mukmin atau Mbah Asnawi Padangan lahir di Kuncen Padangan pada periode (1835-1920). Nasabnya: Kiai Asnawi bin Kiai Mukmin bin Kiai Jaya Taruna bin Kiai Darji bin Kiai Bardin bin Ki Martoloyo bin Pakubowono IV. Sementara dari jalur ibu, Nyai Mukmin adalah dzuriyah Syekh Sabil Padangan. Mbah Asnawi merupakan kakak kandung dari KH Zainuddin Mojosari.
Anak ke-3 Mbah Asnawi yang bernama Nyai Aminah, diperistri KH Hasyim Padangan, pengarang kitab Tasrifan Padangan dan muasis NU Padangan. Saat Nyai Aminah wafat, KH Hasyim menikah lagi dengan anak ke-5 Mbah Asnawi yang bernama Umi Madinah.
Jadi, KH Hasyim Padangan menikah sebanyak dua kali. Kedua istri KH Hasyim Padangan adalah putri dari Mbah Asnawi. Pernikahan KH Hasyim Padangan dengan Nyai Aminah binti Asnawi dikaruniai 2 anak. Sementara pernikahan KH Hasyim Padangan dengan Umi Madinah binti Asnawi dikaruniai 8 anak.
Anak ke-2 KH Hasyim dengan Umi Madinah binti Asnawi, bernama KH Sholih Hasyim. KH Sholih Hasyim ini, kelak jadi ulama yang menanam embrio NU ke Kota Bojonegoro pada 1940. Meski NU Bojonegoro resmi berdiri pada 1953, nama KH Sholih Hasyim dikenal sebagai sesepuh dan muasis NU Bojonegoro.
Anak ke-4 KH Hasyim Padangan dengan Umi Madinah binti Asnawi, bernama Nyai Hannah binti Hasyim. Nyai Hannah binti Hasyim diperistri oleh KH Usman Cepu.
KH Usman Cepu adalah pendiri pondok pesantren pertama di Kota Cepu, bernama Ponpes Assalam. KH Usman Cepu, adalah sesepuh dan muasis NU Cepu.
KH Hasyim Padangan (anak mantu Mbah Asnawi), KH Sholih Hasyim (cucu Mbah Asnawi), dan KH Usman Cepu (cucu Mbah Asnawi), tak hanya dikenal sebagai para muasis NU. Tapi juga masyhur sebagai ulama Waliyullah. Artinya, Mbah Asnawi adalah punjer yang melahirkan para waliyullah dan muasis NU di wilayah Padangan, Cepu, dan Bojonegoro.
Nasab Mbah Asnawi Padangan
KH Asnawi Mukmin atau Mbah Asnawi Padangan lahir di Kuncen Padangan. Beliau hidup pada periode (1835-1920). Nasabnya: Kiai Asnawi bin Kiai Mukmin bin Kiai Jaya Taruna bin Kiai Darji bin Kiai Bardin bin Ki Martoloyo bin Pakubowono IV. Ayah Mbah Asnawi, Kiai Mukmin, dimakamkan di Makbaroh Kalangan Padangan. Mbah Asnawi merupakan kakak kandung dari KH Zainuddin Mojosari.
Mbah Asnawi bagian merupakan bagian dari Lingkar besar ulama Fiidarinnur (ulama yang berdakwah di Padangan pada periode 1700-1800). Mbah Asnawi lahir dan tumbuh di era Syekh Syahiddin Alfadangi, Syekh Abdurrohman Alfadangi, hingga Syekh Munada Ali Husein masih berdakwah.
Masa kecil Mbah Asnawi dididik dalam atmosfer pendidikan para ulama Fiidarinnur. Mbah Asnawi berguru dan bertabaruk secara langsung pada para ulama era Fiidarinnur seperti Syekh Abdurrohman Alfadangi dan Syekh Munada Ali Husen. Tak heran jika kelak Mbah Asnawi juga jadi ulama besar.
Pada akhir dekade 1800 dan awal dekade 1900, Mbah Asnawi mendirikan pondok pesantren yang terletak di Dusun Pengkok, Padangan. Di pondok inilah, Mbah Zainuddin Mojosari dan Mbah Mustajab Gedongsari menghabiskan masa kecil untuk mengaji. Sayangnya, reruntuhan pondok Mbah Asnawi sudah tak terdeteksi karena berubah menjadi bangunan sekolah.
Mbah Asnawi merupakan ulama yang jadi penyambung dan tali simpul dua Waliyullah Nganjuk (Mbah Zainuddin Mojosari dan Mbah Mustajab Gedongsari). Mbah Asnawi juga sosok yang melahirkan para ulama waliyullah sekaligus para muasis NU (KH Hasyim Padangan, KH Sholih Hasyim, hingga KH Usman Cepu).
Mbah Asnawi wafat di Padangan pada periode 1920-an. Beliau dimakamkan di kompleks Makbaroh Rowobayan Kuncen Padangan.
Ahmad Wahyu Rizkiawan, Khadim di Pondok Pesantren Ar-Ridwan Al Maliky Bojonegoro dan penulis buku "Kronologi Lahirnya NU Bojonegoro"
Terpopuler
1
Pengikut NU Melonjak, Gus Yahya Imbau Pengurus Pahami Karakteristik Nahdliyin Masa Kini
2
Gus Yahya Tunjuk Erick Thohir Jadi Ketua Lakpesdam PBNU
3
Najwa Shihab Kritik Format Debat Capres-Cawapres: KPU Harus Lebih Independen dan Substansial
4
Gus Yahya Ungkap Kebiasaan Menghitung Secara Statistik Jadi Penyebab Dehumanisasi
5
Khutbah Jumat: Merawat Bumi dengan Menanam Pohon
6
Khutbah Jumat Bahasa Jawa: Dakwah Kanthi Tata Cara kang Wicaksana
Terkini
Lihat Semua