Warta

Gus Mus Bicara Pedoman Politik NU

Kam, 1 Juli 2004 | 23:31 WIB

Rembang, NU Online
MELIHAT kenyataan bahwa Khittah NU hasil Muktamar NU XVII di Situbondo mengalami banyak hambatan dalam pemasyarakatannya, akibat semangat berpolitik praktis warga NU yang tidak dibarengi dengan pemahaman yang utuh tentang politik dan jati diri NU sendiri, maka Muktamar NU XVIII di Krapayak Yogyakarta tahun 1989 memutuskan Pedoman Berpolitik Warga NU yang terdiri atas 9 butir:
1. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama mengandung arti keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945; 2. Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integritas bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama, yaitu terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur lahir dan batin dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju kebahagiaan di dunia dan kehidupan di akhirat; 3. Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah pengembangan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban, dan tanggung jawab untuk mencapai kemaslahatan bersama; 4. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan moral, etika, dan budaya yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung tinggi Persatuan Indonesia, ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; 5. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama, konstitusional, adil, sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama; 6. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama dilakukan untuk memperkokoh konsensus-konsensus nasional dan dilaksanakan sesuai dengan akhlaq al karimah sebagai pengamalan ajaran Islam Ahlussunah Waljamaah; 7. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama, dengan dalih apa pun, tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah persatuan; 8. Perbedaan pandangan di antara aspirasi-aspirasi politik warga NU harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadlu’ dan saling menghargai satu sama lain, sehingga di dalam berpolitik itu tetap terjaga persatuan dan kesatuan di lingkungan Nahdlatul Ulama; 9. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal balik dalam pembangunan nasional untuk menciptakan iklim yang memungkinkan perkembangan organisasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat, menyatukan aspirasi serta berpartisipasi dalam pembangunan.

Sembilan butir Pedoman Berpolitik yang begitu indah, ternyata bernasib hampir sama dengan sembilan butir Khitthah NU. Meskipun dari pihak-pihak di luar NU kedua keputusan dari dua Muktamar NU itu mendapatkan sambutan dan sanjungan luar biasa, ternyata di kalangan NU sendiri, sekedar membacanya saja, seolah-olah enggan dan malas.
Akibatnya, kelakuan politik warga NU yang terjun di politik pun tak bisa dibedakan dari yang lain. Seperti kelakuan politik mereka yang tidak memiliki pedoman. Sama seperti sikap dan perilaku umumnya warga NU yang tak bisa dibedakan dari yang lain. Seperti sikap dan perilaku mereka yang tidak memiliki Khitthah.
Cobalah singkirkan sebentar saja nafsu dan urusan kepentingan sesaat yang sedang mengkabuti pikiran dan simaklah butir-butir pedoman politik tersebut dengan tenang, pastilah Anda akan melihat betapa mulianya. Atau sekedar baca sajalah seperti membaca koran, insya Allah indahnya pedoman itu akan tampak.
Kalau awam NU —yang melek huruf sekalipun— tidak membacanya, masih bisa dimaklumi; karena mungkin mereka belum terbiasa dengan budaya baca atau tidak tertarik dengan persoalan politik. Tapi ‘elite NU’ yang sangat bersemangat berpolitk kok tidak membaca pedomannya sendiri — sama dengan ‘elite NU’ yang berjalan tidak di atas Khitthahnya— sungguh tak bisa dimengerti. Jangan-ja<>