Warta

Makna Pariwisata di Mata PBNU

Sel, 13 Mei 2003 | 05:00 WIB

Jakarta, NU.Online
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyadari betul peranan pariwisata terhadap perkembangan perekonomian bangsa. Karena itu PBNU terus berusaha melakukan sosialisasi tentang makna dan peranan pariwisata terhadap umat Islam.

Selama ini, kata Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi, industri pariwisata dinilai kurang melakukan sosialisasi tentang arti pariwisata terhadap umat Islam, sehingga menyebabkan rendahnya partisipasi mereka. Selain itu, ada juga rohaniwan yang salah interpretasi sehingga masih ada yang beranggapan bahwa pariwisata adalah salah satu sarana pelanggaran moral, susila, dan nilai keagamaan.

<>

"Padahal, pada dasarnya agama mana pun tidak melarang orang berwisata. Dalam Islam bahkan ada ayat Alquran yang berisi anjuran agar orang berwisata untuk kemudian mengambil manfaatnya," papar Hasyim dalam sambutannya pada acara Workshop Nasional Revitalisasi Peran Serta Agamawan dalam Pemulihan dan Pengembangan Pariwisata Nusantara yang diadakan PBNU.

NU sendiri, terang Hasyim, mengerti betapa pentingnya pariwisata bagi perekonomian Indonesia. Setelah bom Bali, PBNU telah melakukan tiga tindakan penting sebagai dukungan bagi pemulihan pariwisata Indonesia. Pertama, mengeluarkan pernyataan bahwa teror bom Bali tidak ada hubungannya dengan konflik agama. Kedua, PBNU bersama tokoh-tokoh agama lain berusaha menenangkan umat agar tidak terjadi konflik agama yang akan semakin memperkeruh keadaan. Ketiga, telah melakukan pertemuan dengan pemerintah Australia untuk menjelaskan bahwa apa yang sudah terjadi tidak ada kaitannya dengan sentimen agama.

Hasyim mengatakan, keterlibatan NU dalam upaya pemulihan pariwisata disebabkan keyakinan bahwa berwisata merupakan kebutuhan setiap orang. "Agama menganjurkan orang berwisata agar mereka mengenali lingkungan alam, keadaan sosial masyarakat, dan mempelajari faktor apa yang membuat sebagian masyarakat melakukan suatu hal tertentu."

Jadi, terangnya, berwisata bisa membuat orang lebih dekat dengan alam, sesama manusia dan memahami gejolak-gejolak apa yang memengaruhi tindakan sebagian masyarakat. Setelah itu baru mereka bisa mengambil manfaatnya seperti pelestarian lingkungan, saling hormat-menghormati sesama manusia, dan hal-hal positif lainnya.

Dalam kesempatan yang sama, Hasyim mengkritik pengembangan pariwisata Nusantara yang banyak dikontaminasi budaya Barat. Dia mengatakan ini sebagai kesalahpahaman industri dan masyarakat dalam menangkap keinginan wisatawan asing yang datang ke Indonesia. "Bila yang disuguhkan kepada wisatawan Barat adalah budaya Barat itu sendiri, mereka tidak akan datang lagi di lain waktu," katanya.

Hasyim berharap pelaku pariwisata dalam negeri serta masyarakat dapat terus mempertahankan nilai-nilai budaya lokal yang alami sehingga tetap menjadi keunikan tersendiri bagi orang asing yang melihatnya.

Sementara itu Ketua Lembaga Perekonomian NU yang juga mantan Gubernur Jawa Timur Basofi Sudirman mengatakan, kendala utama pengembangan pariwisata daerah adalah kurang tajamnya analisis pemerintah daerah terhadap potensi yang mereka miliki. Dia mengakui konsep pengembangan potensi daerah tidak harus selalu disiapkan oleh pusat. "Menurut saya justru daerahlah yang kini harus berperan besar dalam pengenalan potensi dan konsep pengembangannya, apalagi dengan otonomi daerah saat ini."

Selama ini, papar Basofi, daerah hanya menyampaikan laporan tentang potensi daerah tanpa diikuti rancangan konsep pengembangannya. Pola seperti itu harus segera dihentikan karena tidak membuat kemajuan di bidang apa pun. "Walau bagaimanapun, pada 2020 nanti daerah harus siap bersaing untuk mendapatkan penghasilan masing-masing," tegas Basofi.

NU sendiri, katanya, tidak memiliki model konsep pengembangan pariwisata. Namun yang pasti, katanya, mereka sedang berupaya menyosialisasikan pentingnya peranan pariwisata dalam perekonomian bangsa. (Mi/Cih)