Warta

Saatnya Pemerintah Lindungi Pedagang Kecil

Jum, 17 Desember 2004 | 01:24 WIB

Jakarta, NU Online
Menjamurnya ritel (pusat-pusat perbelanjaan modal besar) hingga akhir-akhir ini sudah banyak menghancurkan warung-warung atau toko-toko tradisional yang menjadi tumpuan hidup pedagang kecil. Banyak pedagang kecil mengeluh usaha mereka tutup atau omzet turun secara siknifikan setelah muncul minimarket yang dimiliki pemodal besar. Tanpa aturan main yang melindungi sektor usaha lemah itu, dipastikan bukan hanya sektor usaha lemah yang akan gulung tikar  melainkan juga akan mendongkrak jumlah pengangguran dan disharmoni sosial.

Demikian pendapat yang dihimpun NU Online dari kalangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat DPR RI, pengamat dan pelaku usaha, Jumat (17/12).

<>

"Dulu saya memiliki warung kecil-kecilan. Setelah usaha saya meningkat menjadi toko dengan beberapa karyawan, usaha saya lambat laun surut dan akhirnya mati karena tidak mampu bersaing dengan minimarket," kata Mochadi, pedagang yang membuka toko kelontong di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

Nasrullah, Ketua Badan Keswadayaan Masyarakat yang membina 2.500 pedagang kecil, mengungkapkan, pemerintah tidak memedulikan para pedagang kecil. Buktinya, lanjut Nasrullah, pemerintah tidak mengatur keberadaan minimarket di pinggiran Jakarta.

Ia mencontohkan, di sepanjang Jalan Kalisari hingga Pasar Rebo, ada sembilan minimarket yang lokasinya berdekatan. "Ini jelas mematikan pedagang kecil yang tidak punya akses jalur distribusi dan akses modal," kata Nasrullah.

Dari hasil riset NU Online dapat dijelaskan bahwa payung hukum bagi keberadaan ritel-ritel kecil hingga besar (hypermarket) saat ini adalah Keppres No. 118/2000 tentang perubahan atas Keppres No. 96/2000 mengenai Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan persyaratan Tertentu bagi Penanaman Modal.

Keppres itu mengatur antara lain tentang sektor perdagangan termasuk dalam delapan bidang usaha baru yang tertutup untuk penanaman modal asing (PMA). Namun keputusan presiden itu mengecualikan untuk perdagangan eceran skala besar (mal, supermarket, department store, pusat pertokoan/pembelanjaan), perdagangan besar (distributor/wholesaler, perdagangan ekspor dan impor), jasa pameran/konvensi, jasa sertifikasi mutu, jasa penelitian pasar, jasa pergudangan di luar lini I dan pelabuhan, dan jasa pelayanan purna jual.
 
Berdasarkan lemahnya Keppres itu, Ketua Komisi VI DPR Khofifah Indar Parawansa mengatakan regulasi (aturan main) yang ada di sektor ritel saat ini belum terlalu komprehensif (belum lengkap: Red.) dibandingkan dengan perkembangan bisnis sektor ini yang sangat cepat dengan implikasi ekonomi sosial yang cukup siknifikan.

"Implikasinya cukup siknifikan dengan kemungkinan dapat mematikan usaha kecil. Bahkan sampai mengancam pasar tradisional. Karena itu perlu segera  diberlakukan regulasi yang lebih komprehensif untuk sektor ritel, " katanya.

Dia menyoroti kehadiran hypermarket asing di tengah persaingan industri ritel yang dinilainya sebagai salah satu bentuk keterdesakan Indonesia  saat berhadapan dengan IMF pada awal masa krisis.

Setelah perusahaan asing ini beroperasi, pemerintah tidak menyiapkan pijakan untuk mengaturnya sehingga menimbulkan dampak yang mengkhawatirkan  banyak pihak, termasuk pelaku ritel  lokal sendiri.

"Di tingkat pelaksanaan, belum ada peraturan yang mengatur. Misalnya soal listing fee (biaya pendaftaran), ketentuan pemberian space buat UKM. Hypermarket itu kan harganya grosir tapi dibolehkan menjual eceran. Mereka sangat leluasa sekali," tuturnya.

Meski pedagang kecil dirugikan dengan beroperasinya ritel, tak membuat pemodal besar di sektor ini mawas diri. Usulan agar pemerintah membuat aturan untuk mengurangi dampak buruk secara sosial dan ekonominya terhadap pelaku usaha kecil kurang mendapat sambutan. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Handaka Santoso sebagaimana dikutip sebuah harian ekonomi Ibu Kota,  menolak pembuatan  aturan detil guna mengatur sektor ini oleh pemerintah. Menurutnyak mekanisme pasar lah yang akan mengatur.

Penolakan ini spontan ditanggapi oleh pengamat ekonomi politik dari Universitas Indonesia Dr. Andrinof A. Chaniago, bahwa dalam sistem ekonomi pasar persaingan sempurna peran pemerintah tidak boleh dinafikan dalam mengatur sistem ekonomi pasar. "Apa jadinya kalau pemerintah dilarang turut campur dalam sistem pasar, watak modal yang selalu ingin berakumulasi itu tentu akan meminggirkan para pengusaha ekonomi lemah, termasuk sektor informal," jawabnya menanggapi seraya mengingatkan bahwa peran pemerintah dalam menjadi salah satu syarat praktik sistem pasar persaingan sempurna