Daerah

Masyarakat Pati Rayakan Lebaran Ketupat, Begini Makna Filosofinya

Rab, 17 April 2024 | 10:00 WIB

Masyarakat Pati Rayakan Lebaran Ketupat, Begini Makna Filosofinya

Warga Desa Dukuhmulyo, Kecamatan Jakenan, Pati sedang membuat ketupat dan lepet Selasa (16/4/2024). (Foto: NU Online/Solkan)

Pati, NU Online

Lebaran merupakan tradisi yang dirayakan oleh masyarakat Indonesia setelah menjalankan puasa Ramadan. Dalam masyarakat Jawa,  Lebaran dibagi menjadi dua yaitu Lebaran Idul Fitri dan Lebaran Ketupat. 


Kiai Muslihun, seorang tokoh agama dari Desa Dukuhmulyo, Kecamatan Jakenan, Pati, Jawa Tengah, mengatakan bahwa Lebaran Ketupat merupakan tradisi yang diadakan pada tanggal 8 Syawal, setelah melaksanakan puasa pada tanggal 2-7 Syawal. Ia menjelaskan bahwa di wilayah Pati, Lebaran Ketupat sering disebut bada kecil atau bada kupat


Bada kecil merupakan lebaran yang diadakan setelah puasa enam hari Syawal, sedangkan Lebaran Idul Fitri diperingati dan dirayakan setelah puasa Ramadhan,” ujar Kiai Muslihun kepada NU Online pada Selasa (16/4/2024).


Menurut Kiai Muslihun, Lebaran Ketupat berasal dari kisah Nabi Musa saat menghadapi Fir’aun. Ketika Nabi Musa dan umatnya selamat dari kejaran Fir’aun dan Fir’aun tenggelam di laut, kemudian Allah menurunkan ketupat dan lepet agar Nabi Musa bersama kaumnya tidak kelaparan.


“Itu cerita waktu saya kecil. Untuk keabsahan cerita tersebut saya tidak berani jamin. Untuk mengetahui sejarah Lebaran Ketupat harus membuka referensi ilmiah,” kata Kiai Muslihun.


Secara filosofis, menurut Kiai Muslihun, ketupat mempunyai arti mengakui kesalahan. Sementara lepet (penganan yang dibuat dari ketan dan kelapa parut serta garam) berarti luput atau kesalahan. Biasanya, tali untuk membungkus atau mengikat sangat yang diibaratkan seperti seorang Muslim iman dan Islam. Begitu pun ketika melakukan kebaikan, harus kuat.


Kupat (artinya) ngukuhna barang kang lepat, nyuwun ngapura (ketupat berarti mengakui kesalahan atau mengaku salah, minta maaf). Lepet iku seng kenceng leh nyekeli (dalam memegang sesuatu harus kuat) iman dan Islam atau barang baik. Lepet berarti luput (salah),” katanya.


Sutarsi, seorang warga Desa Dukuhmulyo, Pati, membuat ketupat dan lepet sebagai sebuah tradisi yang telah berlangsung secara turun temurun. Ia berkeyakinan, Lebaran Ketupat dirayakan untuk mendoakan para bayi yang sudah meninggal.


“Ini merupakan adat dan tradisi setiap tanggal 8 Syawal. Selain untuk merayakan setelah puasa Syawal, ini lebarannya bayi,” tutur Sutarsi.


Pada Lebaran Ketupat kali ini, Sutarsi membuat 50 ketupat, lepet dan lontong 10 buah. Semuanya, untuk dimakan bersama satu keluarga.


Hal serupa juga dilakukan Surinah, seorang warga di Desa Dukuhmulyo, Pati, yang juga merayakan tradisi Lebaran Ketupat. Ia membuat 20 buah ketupat, 20 lepet, dan tidak membuat lontong. Hidangan ini akan didoakan bersama-sama di mushala.


Lebih lanjut, ia berpesan kepada anak-anak muda agar mau membuat ketupat dan lepat, serta melestarikannya. Tujuannya agar tradisi Lebaran Ketupat ini bisa terus ada sampai generasi mendatang.


Sejarah Lebaran Ketupat

Dilansir NU Online, sejarah Lebaran Ketupat sangat erat kaitannya dengan Sunan Kalijaga. Masyarakat Jawa percaya Sunan Kalijaga yang pertama kali memperkenalkan ketupat. 
 

Budayawan Zastrouw Al-Ngatawi mengatakan, tradisi kupatan muncul pada era Wali Songo dengan memanfaatkan tradisi slametan yang sudah berkembang di kalangan masyarakat Nusantara. 


Tradisi ini kemudian dijadikan sarana untuk mengenalkan ajaran Islam mengenai cara bersyukur kepada Allah, bersedekah, dan bersilaturahim di hari lebaran.


Penggunaan istilah ketupat dalam Lebaran Ketupat tentu bukan tanpa filosofi yang mendasarinya. 


Kata ketupat atau kupat berasal dari istilah bahasa Jawa yaitu ngaku lepat (mengakui kesalahan) dan laku papat (empat tindakan). 


Prosesi ngaku lepat umumnya diimplementasikan dengan tradisi sungkeman, yaitu seorang anak bersimpuh dan memohon maaf di hadapan orang tuanya. 


Lebaran Ketupat mengingatkan betapa pentingnya menghormati orang tua, tidak angkuh dan tidak sombong kepada mereka, serta senantiasa mengharap ridha dan bimbingannya.