Nasional

KPAI Ungkap 8 Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Anak di Satuan Pendidikan

Jum, 3 Mei 2024 | 11:11 WIB

KPAI Ungkap 8 Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Anak di Satuan Pendidikan

Ilustrasi perundungan. (Foto; freepik)

Jakarta, NU Online

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Aris Adi Leksono menyebut bahwa kasus kekerasan yang terjadi di satuan pendidikan seperti ‘gunung es’, yakni saat satu kasus nampak tetapi yang lainnya masih tertutupi dan terabaikan. 


Pada 2023, KPAI menerima 3877 pengaduan kasus dengan 329 kasus kekerasan di satuan pendidikan. Aduan tertinggi adalah anak korban kekerasan seksual, anak korban perundungan (tanpa laporan polisi), anak korban kekerasan fisik/psikis, anak korban kebijakan, serta anak korban pemenuhan hak fasilitas pendidikan. 


Sementara itu, hingga Maret 2024 KPAI telah menerima pengaduan pelanggaran perlindungan anak sebanyak 383 kasus, dan 34 persen terjadi di lingkungan satuan pendidikan.


"Pengawasan KPAI menunjukkan bahwa dampak kekerasan pada satuan pendidikan tidak sekadar fisik/psikis, tetapi dapat berakibat kematian atau anak mengakhiri hidup," ujar Aris kepada NU Online, Kamis (2/5/2024). 


Ia menjelaskan bahwa kekerasan di satuan pendidikan juga berdampak pada aspek pemenuhan hak pendidikan anak, seperti yang didapati KPAI bahwa banyak anak berhadapan hukum (ABH)  yang di-dropout dari satuan pendidikan karena dianggap bermasalah atau berperilaku menyimpang. 


"Padahal pada regulasi terkait pemenuhan hak pendidikan bagi anak-anak sudah jelas dikatakan: anak tidak boleh dikeluarkan, tapi harus melalui proses edukasi untuk berubah lebih baik," ungkap Aris. 


KPAI juga mengungkap 8 faktor penyebab terjadinya kekerasan pada satuan pendidikan.


1. Belum optimalnya sosialisasi, pembinaan, dan edukasi tentang kekerasan pada satuan pendidikan hingga menyentuh lingkungan Tripusat Pendidikan.


2. Belum tercukupinya SDM pada satuan pendidikan yang memiliki kompetensi terhadap kinerja perlindungan anak.


3. Satuan pendidikan tidak melakukan deteksi dini terhadap potensi penyimpangan perilaku pada peserta didik.


4. Sebagian warga Satuan Pendidikan menganggap biasa praktik kekerasan, karena dianggap salah satu bentuk pengajaran dan pendisiplinan.


5. Cenderung menutupi kejadian kekerasan yang terjadi karena dianggap akan merusak reputasi lembaga. 


6. Beban belajar belum menyentuh secara optimal mengenai penguatan sikap, karakter, mental, dan akhlak mulia.


7. Situasi anak yang terlibat kekerasan pada satuan pendidikan berasal dari latar belakang pengasuhan keluarga atau pengasuhan alternatif yang kurang positif, sehingga masalah yang dialami anak berpengaruh pada pembentukan sikap, mental, dan pola pergaulan anak pada satuan pendidikan.


8. Belum optimal implementasi regulasi pencegahan dan penanganan kekerasan pada satuan pendidikan di tingkat pemerintah daerah dan satuan pendidikan.