Nasional

Nasib Buruh: Belum Sejahtera dan Khawatir Kontrak Kerja 

Rab, 1 Mei 2024 | 17:00 WIB

Nasib Buruh: Belum Sejahtera dan Khawatir Kontrak Kerja 

Ilustrasi buruh (Foto: Freepik)

Jakarta, NU Online 
Pada momentum Hari Buruh Internasional 1 Mei 2024, beberapa anak muda mengomentari nasib kaum buruh. Mereka berpendapat, selain belum sejahtera, buruh juga khawatir dengan kontrak kerja. 


Jannes Indra Siregar (20 tahun) misalnya, berpendapat kesejahteraan buruh di daerahnya masih kurang karena mereka belum mendapatkan Upah Minimum Regional (UMR), terutama dalam sektor pertanian dan kelautan.


"Karena masih banyak gaji buruh tani dan buruh laut yang tidak sesuai dengan tenaga yang diberikan," ungkap Duta Generasi Berencana  (GenRe) bagian dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Kabupaten Indramayu tersebut, Rabu (1/5/2024).


UMR di Indramayu, kata dia, memang mengalami kenaikan tahun ini. Ia menyebutkan pada 2024, Indramayu menetapkan UMR sebesar Rp 2.623.697 yang sebelumnya pada 2023 sebesar Rp 2.541.996. 


"UMR Indramayu mengalami kenaikan sebesar 81.971, tetapi belum sesuai dengan survei di lapangan,” katanya. 


Karena, lanjutnya, ia mendapatkan informasi adanya buruh di pabrik beras Kecamatan Kandanghaur yang belum mendapatkan upah sesuai UMR.


Amelia (19 tahun), buruh di Cikarang, bercerita tentang waswasnya sebagai pekerja berstatus outsourcing. Dengan adanya kontrak kerja yang harus terus diperpanjang menjadikan dirinya dan teman-temanya sering merasa khawatir akan kelanjutan pekerjaannya ke depan. 


"Buruh kurang sejahtera, adanya Sistem Omnibus Law dan outsourcing membuat waswas," tegasnya.


Luvy (19 tahun) mahasiswi di Yogyakarta juga menyampaikan bahwa buruh di tempat tinggalnya hanya mendapat lelahnya saja. Upah sebagai buruh tidak bisa diandalkan mengingat biaya hidup yang tidak semurah yang dibayangkan. 


"Intinya, sepenglihatan saya dan teman-teman buruh di Jogja itu capeknya saja; upahnya nggak bisa diandalkan, biaya hidup juga tidak semurah yang dibayangkan," tuturnya.


Luvy juga memaparkan bahwa terdapat perusahaan tekstil di Yogyakarta mendapatkan upah di bawah standar UMR, serta jam kerja yang berlebihan, juga minimnya jaminan kesehatan dan keselamatan kerja.