Daerah

Teumeutuk, Tradisi Silaturahmi Pengantin Baru Aceh Selepas Lebaran

Sel, 16 April 2024 | 10:53 WIB

Teumeutuk, Tradisi Silaturahmi Pengantin Baru Aceh Selepas Lebaran

Pengantin baru Muslim Aceh (Foto: Helmi Abu Bakar/NU Online)

Banda Aceh, NU Online 
Idul Fitri di masyarakat Muslim Aceh dihiasi dengan ragam tradisi, di antaranya teumuntuk, yaitu kebiasaan bagi pengantin baru bersilitarurahim ke sanak famili. 


"Setiap lebaran pengantin baru dalam masyarakat Aceh tradisi teumeutuk merupakan hal ‘wajib’," ungkap Tgk Muhajir Alfairusy Antropolog Aceh kepada NU Online, Ahad, (14/4/2024).


Menurut pengurus Lakpesdam PWNU Aceh itu, teumuntuk dalam dialek bahasa Aceh tertentu disebut teumeutuk, ada juga yang menyebut seuneumah. Intinya dari tradisi tersebut pemberian sedekah atau uang kepada pengantin baru saat melakukan bertamu


Dilihat dari segi pembentukan kata, jelas dia, teumuntuk tergolong kata dasar, bukan kata berimbuhan. Ini karena tidak ada kata muntuk dalam pertuturan jika bentuk teu dipisahkan (tak digunakan).


"Tradisi teumuntuk tentunya tidak seperti salam tempel, di beberapa daerah di Aceh istilah teumuntuk hanya digunakan untuk pengantin baru yang bersilaturahmi ke rumah sanak famili dan kerabat," sambungnya.


Dosen STAIN Tgk Dirundenng itu menambahkan teumeutuk itu berbeda dengan salam tempel. Keberadaan salam tempel itu bagi anak-anak, perayaan dua kali dalam setahun ini boleh dikatakan sebagai masa banjir rezeki bagi mereka. 


“Betapa tidak, selain mendapatkan makanan berlimpah, mereka juga diberikan uang oleh pemilik rumah yang mereka kunjungi (sanak famili)," paparnya.


Di balik tradisi teumuntuk itu, lanjutnya, merupakan implementasi dari tuntutan dalam Islam untuk bersedekah dan mempererat silaturahim dalam masyarakat terutama dari kalangan keluarga terdekat, bukankah dalam Islam menganjurkan hal tersebut dan jelas itu bukanlah tradisi bid'ah yang dilarang.


Sementara pemerhati sosial dan keagamaan Aceh, Tgk Iswadi Arsyad, menjelaskan, teumuntuk, itulah tradisi dalam Lebaran yang akan dilakukan oleh para pasangan pengantin baru.


"Pada teumuntuk, pengantin baru bersilaturahmi ke rumah sanak keluarga dan handai tolan. Saat akan pulang, si pengantin baru diberikan uang. Jumlahnya tergantung pada si pemberi. Tak hanya itu, orang tua si pengantin juga turut memberikan peng teumuntuk," ujarnya 


Wakil Rais Syuriyah PCNU Bireuen itu mengatakan meski demikian, yang menerima peng teumuntuk bukanlah keduanya, melainkan pengantin yang berstatus menantu. Pemberian peng teumuntuk ini bersifat vertikal. 


"Tradisi teumuntuk itu diberikan oleh keluarga dan sanak famili yang usianya lebih tua daripada pengantin. Dengan kata lain, jika keluarga atau kerabat yang dikunjungi usianya lebih muda dari si pengantin, tak ada kewajiban keluarga tersebut memberikan peng teumuntuk," ulasnya.


Pria yang akrab disapa Abah Iswadi Kaprodi PMI Universitas Islam Al-Aziziyah (UNISAI) Samalanga mengatakan Tradisi teumuntuk tidak berlangsung setiap Lebaran, tetapi hanya saat Lebaran pertama si pengantin baru. Misalnya, bila pengantin baru itu telah melakukan teumuntuk ketika Idul Fitri, kepadanya tidak akan diberikan lagi peng teumuntuk ketika bersilaturahmi di Idul Adha.


"Sebenarnya teumuntuk bukan hanya ada kala Lebaran. Dalam pesta pernikahan pun tradisi itu juga kerap dilakukan, terutama saat proses peusijuk (tepung tawari). Pelaku teumuntuk dalam pesta perkawinan ini adalah ibu dan bapak pengantin wanita, ibu dan bapak pengantin laki-laki, keluarga pengantin wanita, keluarga pengantin laki-laki, dan perwakilan kerabat atau saudara dekat," lanjutnya.


Pimpinan Dayah MADAH Simpang Mamplam Bireuen itu mengatakan tradisi teumuntuk yang dilaksanakan saat peusijuk pengantin bukan tanpa makna. Menurut sebagian orang tua, teumuntuk berarti perlambang suami istri di dalam menjalankan bahtera hidupnya selalu sama-sama bertanggung jawab di dalam bahtera kemudi rumah tangga..


"Keberadaan tradisi di Aceh termasuk teumeutuk itu memiliki nilai syariat Islam dan tentunya apabila ada anggapan tradisi yang dilakukan sebagai bid'ah yang tidak dilakukan dan perkara terlarang merupakan persepsi yang keliru. Tradisi dalam masyarakat harus dilestarikan sebagai bagian dari syariat Islam juga," paparnya.