Internasional

Melihat Kembali Konflik Uighur dan Keterlibatan Komunitas Internasional Untuk Mencapai Perdamaian

Kam, 6 April 2023 | 19:00 WIB

Melihat Kembali Konflik Uighur dan Keterlibatan Komunitas Internasional Untuk Mencapai Perdamaian

Seminar Internasional kolaborasi antara Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta, OIC Youth Indonesia, Center for Uyghur Studies, Pesantren Bumi Cendikia, dan Sekolah Tinggi Agama Islam Yogyakarta, Rabu (5/4/2023). (Foto: Istimewa)

Jakarta, NU Online

 

Konflik antara pemerintah Tiongkok terhadap etnis Muslim Uighur belum menemukan titik terang. Tindakan represif, kriminalitas, dan diskriminasi oleh dari otoritas China masih berlangsung hingga kini. 

 

Hal ini disampaikan oleh Direktur Eksekutive Center for Uyghur Studies Abdulhakim Idris dalam Seminar Internasional kolaborasi antara Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta, OIC Youth Indonesia, Center for Uyghur Studies, Pesantren Bumi Cendikia, dan Sekolah Tinggi Agama Islam Yogyakarta, Rabu (5/4/2023).

 

“Muslim Uighur tidak boleh berpuasa, membaca Al-Qur’an karena Al-Qur’an telah dibakar oleh pemerintah China, mereka tidak bisa ke masjid karena telah dihancurkan, mereka tidak bisa mengunjungi orang tuanya,” papar Abdulhakim Idris.

 

Dalam seminar yang mengusung tema “Uyghur Muslim and the Possibilities of International Engagement for Promoting Peace” itu, Abdulhakim menjelaskan bahwa etnis Uighur memiliki latar belakang berbeda dengan etnis asli Tiongkok di Xinjiang seperti etnis Han. 

 

Dari segi bahasa, misalnya, etnis Uighur menggunakan Bahasa Turki sedangkan etnis Han menggunakan bahasa Mandarin.

 

Dengan sistem pemerintahan yang berlaku di Tiongkok, lanjut dia, menjadikan Tiongkok sebagai negara yang cenderung sulit menerima keberagaman. Hal ini kian menyudutkan etnis Uighur yang berbeda dengan etnis lainnya. 

 

“Negara seperti China tidak bisa mentolerisasi komunitas sekecil itu,” katanya. 

 

Hal senada disampaikan oleh Manager Advokasi Center for Uighur Studies Hazaretali Wushur. Secara historis, dia memaparkan bahwa Uighur memiliki perbedaan dengan etnis lain di tatar Tiongkok dalam hal agama dan bahasa. 

 

“Sejak pendudukan China tahun 1949 telah ada upaya untuk membentuk pemerintahan untuk mengasimilasi populasi dengan segala cara,” katanya.

 

Rezim Tiongkok, sambung dia, memulai kampanye serangan keras dengan meluncurkan kamp konsentrasi dan menginternis jutaan orang Uighur. Teknologi mutakhir juga digunakan untuk mengontrol gerak-gerik penduduk di seluruh wilayah. 

 

“Pemisahan anak dari keluarganya, kamp konsentrasi, kerja paksa atau perbudakan modern, bahkan genosida,” ujarnya.

 

Maka itu, ia menilai penting bagi komunitas internasional seperti yang ada Indonesia salah satunya melalui Nahdlatul Ulama untuk membicarakan masalah ini.

 

Merespons hal itu, Mantan Rektor UNU Yogyakarta Prof Purwo Santoso, mengatakan bahwa narasi peradaban merupakan hal yang perlu dikembangkan dalam penyelesaian konflik Uighur. Hal ini sejalan dengan misi Nahdlatul Ulama dibawah komando KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) yang mengkampanyekan perdamaian global untuk terciptanya kehidupan antarbangsa yang damai.

 

“China menangani masalah ini dengan menggunakan narasi peradaban. NU juga menggunakan tagline peradaban yang sama. Inilah tantangan nyata membangun peradaban manusia,” paparnya.

 

Menurut dia, tindakan represif terhadap komunitas Muslim di Tiongkok merupakan buntut dari sistem yang terbentuk di Negeri Tirai Bambu itu sendiri. 

 

“China kini menjadi komoditas ekonomi kedua terbesar di dunia. Dengan keyakinan sekaligus kinerja ekonomi, isu non-Tionghoa, yakni Islam, sering kali dianggap tidak relevan,” paparnya. 

 

Maka itu, ia menilai NU sebagai komunitas Muslim terbesar di Indonesia dengan jargon peningkatan aksi kemanusiaan yang diusung Gus Yahya dan juga mobilitasi kapasitas untuk berdialog intens, tidak menutup kemungkinan seruan dari NU berpotensi menjadi peluang untuk negosiasi.

 

Seminar tersebut juga mengadirkan tiga pembicara yang lain meliputi Presiden OIC Youth Indonesia Astrid Nadia Rizqita, Deputi presiden ABIM (Angkatan Belia Islam Malaysia) Mocd Khairul Anwar Ismail, dan Pengasuh Pesantren Bumi Cendekia Iqbal Ahnaf. Secara garis besar mereka memaparkan pentingnya solidaritas dan kepedulian seluruh Umat Islam atas penderitaan yang dialami oleh Muslim Uyghur. ABIM secara spesifik menjelaskan upaya mereka melakukan advokasi melalui penerbitan buku dan informasi mengenai Muslim Uyghur untuk masyarakat Muslim di Malaysia. 

 

Di akhir acara, UNU Yogyakarta dan CUS melakukan penandatanganan MOU untuk kerja sama di bidang penelitian dan pendidikan mengenai Muslim Uyghur dan upaya mempromosikan pesan-pesan perdamaian kepada masyarakat dunia.

 

Pewarta: Nuriel Shiami Indiraphasa

Editor: Syakir NF