Pendidikan Islam

Untuk Memajukan Pendidikan Islam, Kehadiran Negara Belum Total

Kam, 19 November 2015 | 02:15 WIB

Jakarta, NU Online
Hingga sekarang, pendidikan Islam dengan berbagai bentuk lembaganya masih mengalami diskriminasi, terutama dalam alokasi anggaran negara. Dikotomi anggaran pendidikan oleh negara ini menyebabkan ketimpangan. Sehingga guru-guru yang turut menciptakan generasi berkualitas seperti halnya guru ngaji tidak mempunyai akses atau alokasi anggaran.<>

Hal ini disampaikan oleh Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kemenag RI, HM Ishom Yusqi dalam acara Diskusi dan Bedah Buku ‘Mendidik Tanpa Pamrih: Kisah Para Pejuang Pendidikan Islam’, Rabu (18/11/2015) di Aula Kantor P3M, Jl Cililitan Kecil, Jakarta Timur.

Dalam acara bedah buku yang diterbitkan oleh Kemenag RI serta ditulis oleh para penulis muda ini, Ishom Yusqi didampingi narasumber lain yaitu editor buku, Abi S Nugroho, dan Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Abdul Waidl.

Ishom Yusqi yang juga Direktur Pascasarjana Islam Nusantara STAINU Jakarta ini selanjutnya menjelaskan, bahwa dengan hadirnya buku ini, Ditjen Pendis Kemenag RI sebagai lembaga yang menaungi pendidikan Islam di seluruh Indonesia ingin mengemukakan para manusia luar biasa di berbagai pelosok daerah di Indonesia. Mereka mengabdikan dirinya untuk mengajar ngaji maupun menjadi guru madrasah dengan pengahsilan kecil bahkan tanpa pamrih sekalipun.

“Kami ingin menunjukkan kepada para pengambil kebijakan, banyak guru-guru di luar sana yang dengan ikhlas mengabdikan dirinya untuk kemajuan pendidikan anak-anak bangsa walau tanpa upah memadai dan perhatian pemerintah,” ujar Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.

Artinya, Ishom berharap dikotomi anggaran pendidikan tidak terjadi lagi. Selama ini anggaran yang sangat besar untuk pendidikan yaitu 20 persen, masih berpihak pada pendidikan umum yang secara kuantitas institusi jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan lembaga pendidikan Islam. “Karena pendidikan Islam mencakup RA hingga perguruan tinggi, termasuk pesantren yang di dalamnya pun terdapat berbagai lembaga pendidikan Islam, seperti Ma’had Aly, dan madrasah yang terdiri dari tingkat awaliyah, wustho, ulya,” terangnya.

Bayangkan, kata Ishom, dari anggaran pendidikan sejumlah 445 Trilyun, Kemenag hanya mendapatkan anggaran sebanyak 46 Trilyun, sedangkan Kemendikbud sebesar 53 T. Sejumlah 46 T yang digelontorkan, Kemenag harus mendistribusikannya dari pusat hingga ke daerah, dalam bentuk DAU, DAK, maupun dana BOS. Sedangkan 53 T hanya untuk mendanai Kemendikbud di tingkat pusat.

Jika diprosentase, lanjutnya, anggaran pendidikan Islam hanya 10,5 persen sehingga jika anggaran sesuai UU Sisdiknas 20 persen, Kemenag membutuhkan dana 80 T yang selama ini hanya 46 T. Untuk mendistribusikan dana ke berbagai daerah, Kemendikbud sendiri memperoleh sejumlah 240 T.

“Dari ketimpangan anggaran inilah, kehadiran negara belum total untuk memajukan pendidikan Islam sehingga tujuan kami untuk memajukan, terganjal dengan alokasi anggaran yang minim mengingat pesantren saja mencapai 30 ribu lebih di seluruh Indonesia,” ucap Ishom.

Peran negara

Negara mempunyai tiga peran dalam pendidikan, yaitu rekognisi atau pengakuan, regulasi atau peraturan perundang-undangan, dan fasilitasi dalam bentuk anggaran, sarana prasarana, dan lain-lain.

Untuk ranah rekognisi, kata Ishom, pendidikan Islam juga banyak mengalami diskriminasi. Pondok pesantren yang memiliki peran besar dalam memajukan pendidikan, belum mendapatkan alokasi dana dari APBN. Madrasah setingkat Awaliyah, Wustho, dan Ulya tidak mendapat pengakuan sehingga tidak mempunyai akses anggaran negara.

“Ditjen Pendis terus melakukan advokasi untuk hal ini. Kemenag juga selama ini hanya menjadi semacam subordinat Kemendikbud, karena proses sertifikasi dan pembuatan NUPTK harus kulonuwun (permisi, meminta izin, melalui persetujuan, red) Kemendikbud,” terangnya.

Untuk regulasi, lanjutnya, pendidikan Islam juga seperti dianaktirikan. Sedangkan jika melihat aspek fasilitas oleh negara, unit cost Madrasah Aliyah per siswa Rp 1.200, sedangkan SMA mencapai Rp 1.400.

Dalam paparan terakhirnya, Ishom menjelaskan, terbitnya buku ini memberikan pelajaran, pendidikan anak bangsa harus terus berjalan meski tanpa gaji, tunjangan, BOS, dan lain-lain. Di tengah komersialisasi pendidikan, ternyata masih banyak guru ngaji dan madrasah terus berjuang dan mengabdi tanpa pamrih untuk menciptakan generasi bangsa yang cerdas.

“Mereka digerakkan oleh ruh tarbiyah atau spirit of education. Karena sebagian besar mereka memahami, bahwa zakatnya ilmu adalah mengajar,” tutup Ishom.

Para pejuang yang menginspirasi

Ishom menyampaikan pemaparan materi setelah Abi S Nugroho melakukan presentasi. Abi mengemukakan latar belakang penulisan buku yang berkisah tentang para pejuang pendidikan Islam di berbagai pelosok daerah, bahkan di daerah rawan, para pejuang tersebut mendirikan madrasah. Dalam pandangan Abi, kisah para pejuang ini dapat diklasifikasikan pada ranah wilayah, ekonomi, kepeloporan, dan inspirasi.

Sedangkan Abdul Waidl menjelaskan tentang visi JPPI yang terus melakukan advokasi pendidikan di Indonesia termasuk dana, anggaran, dan lain-lain. Menurutnya, diskusi dan bincang tentang pendidikan merupakan agenda rutin JPPI untuk meningkatkan kapasitas SDM para aktivisnya.

Mengenai buku, Mas Waidl, sapaan akrabnya menilai, bahwa buku ini sangat ringan untuk dibaca dan dipahami karena dikemas dengan tulisan yang menarik. Namun demikian, kata Direktur P3M ini, kontennya perlu diperkuat oleh makna-makna dari kisah para pejuang pendidikan Islam tersebut. (Fathoni)

Terkait

Pendidikan Islam Lainnya

Lihat Semua