Warta

NU Dinamis tapi Ber-manhaj

Rab, 27 September 2006 | 12:47 WIB

Jakarta, NU Online
Gerakan pemikiran yang dikembangkan oleh NU merupakan gerakan pemikiran yang dinamis dalam arti mengikuti perkembangan yang ada. Namun demikian, pemikiran yang dikembangkan tersebut tetap mengacu pada manhaj atau metode berfikir yang dikembangkan oleh empat mazhab yang diakui oleh NU.

Demikian diungkapkan oleh Rais Syuriah PBNU KH Ma’ruf Amin dalam Pelatihan Kader Dai II yang mengambil tema “Aswaja dalam Perspektif Islam Rahmatan Lil Alamin yang diselenggarakan oleh LDNU dan Muslimat NU di Jakarta, Rabu.

<>

Dijelaskan oleh Ketua Dewan Fatwa MUI tersebut bahwa pada era 1990-an NU pernah mengalami konservatifme. Kalangan ulama NU hanya menerima manhaj secara kouli atau secara tekstual sehingga banyak persoalan keagamaan yang tak terjawab karena memang persoalan tersebut belum ada saat ulama pendiri mazhab hidup.

Akhirnya dalam Munas NU di Lampung pada tahun 1992, diputuskan bahwa NU tetap bermazhab tetapi secara kouli dan manhaji. “Persoalan-persoalan baru akhirnya bisa terjawab dengan menggunakan metode yang digunakan para ulama,” tandasnya.

Ia mencontohkan kasus yang terjadi di Banten yang dialami oleh Syeikh Nawawi Banten. Menurut pendapat Imam Syafii zakat harus dibagi rata pada tujuh golongan, namun kondisi di Banten saat itu tidak memungkinkan karena tujuh golongan tersebut tidak terpenuhi. Dan menurut pendapat imam yang lain, dimungkinkan untuk dibagi meskipun tidak lengkap tujuh golongan tersebut.

“Makanya, seandainya Imam Syafii mengalami hal yang sama, pendapat itulah yang diambil olehnya,” tandasnya mengutip salah satu ulama.

Sayangnya belakangan ini, telah terjadi dinamisasi yang kebablasan yang mengarah pada liberalisasi dan penafsiran terhadap Al Qur’an yang berlebihan seperti penggunaan metode hermenetika dalam menafsiri Al Qur’an, usulan amandemen Qur’an maupun reinterpretasi Qur’an disesuaikan dengan globalisasi.

“Nantinya kalau nuruti seperti itu Qur’an yang asli malah hilang. Makanya NU dalam munas di Surabaya lalu memutuskan untuk tidak boleh menafsiri Qur’an yang sudah Qoth’i,” imbuhnya. (mkf)