Daerah

Agama Jangan Dijadikan Komoditas Politik

Jumat, 30 Agustus 2013 | 13:00 WIB

Kudus, NU Online
Agama tidak boleh dijadikan komoditas maupun jargon-jargon politik. Penggunaan simbol agama merupakan bentuk ketidakdewasaan berpolitik yang bisa memicu konflik umat beragama.
<>
Demikian yang disampaikan pemerhati masalah sosial dari Pesantren Qudsiyah Menara Kudus Dr Abdul Jalil M.EI dalam Rapat Koordinasi “Dari Konflik Agama hingga Mediasi Peradilan” yang diselenggrakan Kesbangpolinmas Pemprof Jawa Tengah di Hotel Griptha Kudus, Rabu (28/8).

Dalam makalahnya yang berjudul Konflik Agama; Alternatif penyelesaian di Luar pengadilan, Abdul Jalil memaparkan, agama memiliki peran penting dalam politik guna memperindah nilai-nilai kehidupan. Namun, peran dan posisi agama tidak lebih dari sebuah sumber maupun pedoman dalam moralitas dan etika politik.

Ditegaskan dia, agama adalah sumber inspirasi bagi segala sendi kehidupan manusia. Namun, bila tidak dikelolala dengan baik akan mampu menjadi sumber konflik antarumat beragama.

“Termasuk pula, simbolisme agama (base of simbolism religion) dalam politik sangatlah berbahaya. Karena akan meemacu konflik umat beragama berbaju politik,” tandas Jalil yang juga Pengurus Pusat Lembaga Bahsul Masail Nahdlatul Ulama (PP LBMNU).

Penyebab konflik berbasis politik lainnya, kata dia, buruknya komunikasi politil para elite partai. Komunikasi yang buruk, misalnya memandang lawan politik sebagai musuh besar sehingga dianggap tabu untuk bersikap ‘wajar’ antarsesama.

“Mereka bahkan cenderung mengeluarkan tudingan tudingan dan cercaan satu sama lain pada kesempatan dan tempat berbeda. Mereka tidak menyadari tindakan tersebut bisa memicu konflik lanjutan di tingkat grassroot (akar rumput),” imbuhnya.

Disamping itu, lanjut dosen STAIN Kudus ini, kesadaran politik masyarakat yang masih rendah dan belum memahami makna nilai-nilai demokrasi seperti menerima perbedaan pendapat dan toleransi. Meskipun sudah banyak yang berteriak demokratis, namun masih ada masyarakat menganggap lawan konflik sebagai pihak yang harus “dimusnahkan”.

“Padahal pemaknaan terhadap nilai demokratis tersebut akan menghindarkan masyarakat dari penggunaan cara-cara represif dan anarkis penyelesaian persolan termasuk masalah politik,” tegas Jalil.

Di depan peserta yang berasal dari komponen masyarakat di Kudus, Jalil juga menguarai konflik umat beragama berbasis idiologi dan negara. Ia menekankan untuk meredam konflik adalah mentransformasi dan menaikkan daya tarik kearifan lokal dan tradisi kepada dunia.

“Setiap waktu akan ada perbedaan dalam mengekspresikan agama, dan tugas kita bukan menilai mana yang salah dan mana yang benar. Akan tetapi mana yang lebih potensial sesuai tuntutan ruang-waktu,” paparnya.

Rapat Koordinasi yang diselenggarakan Kesbangpolinmas Jateng ini berlangsung mulai Rabu-Kamis (28-29/8). Sejumlah praktisi mediasi, pakar dari kalangan akademis dan pengurus Forum Kerukunan Ummat Beragama (FKUB) Jawa Tengah menjadi pembicara.


Redaktur     : Abdullah Alawi 
Kontributor : Qomarul Adib


Terkait