Denpasar, NU Online
Masdu’i (65), seorang pengurus Masjid Assyuhada, di Kampung Bugis, Kelurahan Serangan, Kota Denpasar, Bali, sibuk menata dan membersihkan lingkungan sekitar tempat suci itu.
Sebuah Al Quran yang berumur ratusan tahun tersimpan di masjid itu, tidak luput dari perhatiannya. Pria yang belasan tahun mengabdikan diri di tempat suci itu dengan tekun dan teliti merapikan Al Quran kuno yang terbuat dari kertas kayu yang ditulis tangan.
<>Al Quran berumur ratusan tahun serta mimbar tua yang dibuat dari kayu ulin dengan hiasan arsitektur tradisional Bali itu disebut sebagai "saksi bisu" masuknya agama Islam ke Kampung Bugis, Kelurahan Serangan, di wilayah selatan Kota Denpasar.
Mimbar yang hingga sekarang masih dimanfaatkan oleh khatib saat khotbah shalat Jumat di salah satu masjid tertua di Bali itu dihiasi dengan ukiran bunga-bungaan dan patra dedaunan.
Al Quran kuno yang dimuliakan umat muslim setempat dan mimbar tua tersebut, diperkirakan sudah ada sejak abad 17, ketika masuknya agama Islam ke Denpasar. Setiap tahun warga setempat menggelar kegiatan ritual "ider kampung" yaitu berjalan berkeliling kampung dengan mengusung Al Quran kuno tersebut.
Kegiatan ritual yang biasa dilakukan pada 1 Muharam itu diwarisi secara turun-temurun, sebagai salah satu cara untuk mengingatkan warga guna mendalami dan melaksanakan ajaran Islam.
Perahu terdampar
Seorang tokoh masyarakat setempat, Ahmad Satra (61), yang juga pensiunan dosen pada Jurusan Antropologi Fakultas Sastra Universitas Udayana mengatakan, Al Quran dan mimbar tua di Masjid Assyuhada serta nisan pada kuburan di lingkungan Kampung Bugis merupakan saksi bisu masuknya Islam ke Kelurahan Serangan, Denpasar, pada abad ke 17.
Hal itu berawal dari pendaratan perahu dari Jawa ke Denpasar yang dimanfaatkan oleh penguasa Raja Cokorda Pemecutan III. Ia diberi gelar Betara Sakti dan gelar itu diberikan karena Raja Pemecutan III memiliki kesaktian yang luar biasa.
Ketika itu, Kerajaan Pemecutan tengah berseteru dengan tetangganya kerajaan Mengwi, yang kemuduian meletus menjadi perang. Diplomasi mulut atau musyawarah tidak mampu mencegah perang bersenjata, sehingga berlaku hukum rimba, siapa yang kuat dialah pemenangnya.
Para pendatang dari Jawa yang perahunya mengalami kerusakan dan terdampar, dan orang-orang Bugis yang ada di sana dimanfaatkan oleh Raja Pemecutan sebagai prajurit guna membantu menggempur kerajaan Mengwi.
"Prajurit" pendatang tersebut dipimpin oleh Raden Sastroningrat, seorang bagsawan kelahiran Madura (Jatim). Oleh raja ia dijanjikan kebebasan serta akan dinikahkan dengan salah seorang putrinya bila bersedia membantu kerajaan Pemecutan melawan Mengwi, sekaligus mengalahkannya.
Akhirnya, pasukan gabungan kerajaan Pemecutan dan para pengawal Raden Sastroningrat berhasil memenangkan pertempuran atas kerajaan Mengwi. Tidak kurang 30 orang pasukan Bugis gugur di medan pertempuran dan jenazahnya dikuburkan dalam satu kawasan di daerah Ubung, Denpasar.
Sebagian pasukan Bugis lainnya selamat dan tokohnya, Haji Mukmin kemudian diberi gelar "Gede" serta tempat pemukiman sekaligus membangun masjid di Kampung Bugis Kelurahan Serangan, tutur Ahmad Sastra, yang merupakan generasi kelima dari almarhum Haji Mukmin.
Raja Pemecutan III menepati janjinya. Atas kemenangan pertempuran itu, Sastroningrat dikawinkan dengan putri raja bernama Anak Agung Ayu Rai. Setelah itu, Sastroningrat mengajak istrinya pulang ke Jawa. Sekembalinya dari tanah Jawa, pasangan suami-istri tersebut diterima dengan baik oleh raja. Namun setelah tahu putrinya pindah agama maka raja memisahkan tempat tinggal keduanya.
Putri raja dan para pengikutnya yang setia dari Jawa ditempatkan di Kebon (kebun dan kini menjadi perkampungan Islam Kepaon, Denpasar Selatan), dan sebagian di Kampung Bugis, Kelurahan Serangan, sedangkan suaminya Sastroningrat ditempatkan di Ubung, Denpasar Barat.
A.A Ayu Rai wafat dan dikuburkan di pemakaman "Setra Ganda Mayu" Badung yang lokasinya berdekatan dengan puri raja Pemecutan. Sampai sekarang makam tersebut lebih dikenal dengan nama "pura keramat puri Pemecutan".
Tempat makam tersebut dalam bulan suci Ramadan banyak diziarahi oleh orang-orang Madura dan Jawa yang tinggal di Bali, di samping orang-orang Bali, tutur Jero Mangku Made Puger yang menjaga makam tersebut. Sedangkan keturunan orang-orang Bugis itu terus berkembang di Kampung Bugis.
Umat muslim yang menghuni pemukiman Kampung Bugis senantiasa berbaur dengan umat Hindu dalam mempersiapkan kegiatan ritual berskala besar di Pura Sakenan, salah satu tempat suci terbesar umat Hindu di Pulau Dewata (Sad Kahyangan).
Kaum muslim juga selalu terlibat dalam proses pembuatan penjor, sebatang bambu yang dihiasi enau dan janur yang dipasang sepanjang jalan menuju pura. Sebaliknya, umat Hindu tanpa pernah diminta juga membantu yang bisa dilakukan saat umat Islam menyambut hari besar keagamaan seperti Hari Raya Idul Fitri 1428 H yang tinggal beberapa hari lagi. (ant/sun)