Daerah

Calhaj Tertua, Niat Haji Sejak 1973

Senin, 16 September 2013 | 13:00 WIB

Probolinggo, NU Online
Diantara 466 Calon Jamaah Haji (CJH) asal Kabupaten Probolinggo, Patma JD Mochtar Usman merupakan salah satu yang tertua dengan usia 77 tahun. Nenek dengan tujuh cucu dan delapan cicit tersebut, berniat haji sejak 1973 silam.
<>
Meski berusia senja, tubuh Patma tidak ringkih seperti kebanyakan seusianya. Saat Kontributor NU Online Probolinggo berkunjung ke rumahnya di Dusun Bindu, RT 3/RW 1, Desa Tunggak Cerme, Kecamatan Wonomerto, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, Senin (16/9) dia sedang menyapu di halaman rumah.

Kegiatan itu, konon dilakukannya setiap hari. Nyaris tak ada keluhan soal kesehatannya, meski wajahnya telah keriput dan rambut yang penuh uban. Itulah sosok keseharian Patma, Calon Jamaah Haji (CJH) yang akan berangkat pada Ahad (29/9) mendatang ke tanah suci Mekkah.

Ditemani cucu ketiganya bernama Muslih (41 tahun) beserta istri, Patma banyak bercerita mengenai keinginannya menunaikan ibadah haji. Ia mengatakan, pada tahun 1973 silam, dia telah berencana menunaikan rukun Islam kelima itu bersama mendiang suaminya, Mochtar Usman.

Namun karena uang yang dimiliki tak cukup untuk melunasi Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH), ia batal berangkat mendampingi sang suami. Padahal saat itu, biaya berhaji “hanya” Rp300 ribu dengan menggunakan kapal laut yang ditempuh selama kurang lebih empat bulan. 

Tetapi kegagalan tersebut tak membuat niatnya berhaji lantas terkubur. Apalagi, mending suaminya yang seorang veteran TNI, berpesan pada Patma agar tidak berputus asa sebelum berangkat ke tanah suci. “Jangan putus asa. Nanti bayaran saya mau ditabung,” kata Patma, menirukan pesan suaminya.

Mochtar Usman pun berangkat haji. Dimulai hari ke-7 Syawal, pria yang berganti nama menjadi Baidlawi pasca berhaji tersebut, kembali ke tanah air dan tiba di rumah pada 4 Syura, atau selama empat bulan dalam kalender Hijriyah. 

Patma tak tahu tanggal berangkat dan datang suaminya dalam kaleder masehi. Termasuk tahun saat suaminya berangkat ke tanah suci. Yang dia ingat, suaminya berangkat saat Muslih masih kecil. Ketika suaminya datang, Muslih yang lahir pada 1972 sudah bisa merangkak.

Namun, sebelum tabungan gaji cukup untuk mendaftar haji, Mochtar Usman meninggal dunia pada tahun 1994. Peristiwa tersebut, tak membuat niat Patma berhaji menjadi luluh. Hingga pada Februari 2009, ia mendaftarkan diri sebagai calon tamu Allah dan ditakdirkan berangkat saat usianya 77 tahun.

Dengan usia tersebut, ia menjadi dua CJH tertua di Kabupaten bersama Asman P. Supardjo asal RT 16/RW 9, Desa Satreyan Wetan, Kecamatan Maron, Kabupaten Probolinggo dengan usia 81 tahun. Dengan usia yang telah senja, petugas puskesmas sempat meragukan kesehatan Patma saat menjalani pemeriksaan kesehatan.

Muslih bercerita, petugas puskesmas menyarankan neneknya agar menjalani general check up. Muslih yang kala itu mengantarkan Patma, membawa neneknya ke seorang dokter di Jl. A. Yani, Kota Probolinggo untuk menjalani general check up.

Hasilnya, tak ditemukan penyakit dalam diri Patma. Tensi darah, kadar gula darah, hingga kesehatan jantung sang nenek, dinyatakan sehat oleh dokter. “Dokternya juga sempat heran,” ujarnya.

Tak seperti orang berusia senja pada umumnya yang banyak dihinggapi penyakit, Patma tak memiliki pantangan dalam hal makanan. Wedang kopi hingga daging sapi dan kambing, tetap dia konsumsi seperti biasa. Bahkan untuk kopi, menjadi minuman “wajib” baginya setiap pagi. “Katanya kalau tidak minum kopi, malah pusing,” kata Muslih.

Selain itu, beberapa kali Patma membonceng sepeda motor ke Kecamatan Kraksaan untuk menjalani manasik. Maklum, ia tercatat pada Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) Haramain yang beralamat di ibu kota Kabupaten Probolinggo tersebut.

Ditanya seputar persiapan pemberangkatan, Patma yang tercatat sebagai CJH kloter 42 itu, tanpa kesulitan memberikan jawaban: ia akan berangkat pada Ahad (29/9) bakda Subuh. Adapun barang yang dilarang untuk dibawa, yakni minyak wangi, terasi dan barang berbahaya lainnya.

Patma mengaku, dirinya sering mengkonsumsi sari kunyit dicampur kuning telur ayam kampung. Jamu tradisional tersebut, rutin ia minum setiap pekan sejak muda hingga saat ini. Proses pembuatannya dia lakukan sendiri.

Meski kondisi sang nenek fight, Muslih memberikan perhatian ekstra. Apalagi di Desa Tunggak Cerme, hanya neneknya seorang yang berangkat. Karena itu, ia menitipkan neneknya pada seorang teman asal Kecamatan Kuripan yang juga berhaji tahun ini dan terdaftar pada KBIH yang sama.

“Susah mau menghubungi. Mbah kan tidak bisa pakai HP, jadi tidak bisa,” katanya soal alasannya menitipkan Patma pada Sukarpik, 60, seorang pensiunan guru yang dimaksud tadi. Dengan demikian, dirinya tetap bisa berkomunikasi dengan sang nenek melalui sambungan seluler. (Syamsul Akbar/Abdullah Alawi)


Terkait