Daerah

Cegah Hoaks, Masyarakat Harus Dibekali Ketahanan Informasi

Rabu, 26 September 2018 | 07:00 WIB

Surabaya, NU Online
Perkembangan teknologi dan informasi membuat masyarakat dengan sangat mudah untuk menerima bahkan menebar informasi. Padahal ada sejumlah pertimbangan yang hendaknya dikedepankan agar yang tersebar bukanlah kabar bohong atau hoaks.

Penegasan ini disampaikan Randy Pahrun Wadipalapa pada diskusi Saring sebelum Sharing; Literasi Digital sebagai upaya Pencegahan Radikalisme dan Terorisme di Masyarakat, Rabu (26/9). Kegiatan diprakarsai Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Provinsi Jawa Timur di salah satu hotel di Surabaya.

“Pengguna internet di Indonesia ini hampir separuh lebih dari jumlah penduduk,” kata Randy Pahrun Wadipalapa. Dan celakanya, tidak semua pengguna internet atau bahkan kebanyakan adalah mereka yang kurang memiliki ketahanan dalam informasi, lanjutnya.

Dosen di Universitas Airlangga Surabaya tersebut juga memaparkan sejumlah fakta bahwa tidak hanya kalangan masyarakat bawah yang gemar berbagi kabar bohong. “Mereka yang berstatus mahasiswa, dosen bahkan guru besar sekalipun tidak sedikit yang berperilaku menebar kabar bohong alias hoaks,” ungkapnya.

Karenanya, Randy berharap ada kesadaran bersama dari para pengguna internet untuk lebih disiplin. “Bisa mendisiplinkan diri di grup WhatsApp keluarga saja itu sudah lumayan,” jelasnya. 

Baginya, setiap pengguna internet harusnya memiliki keterampilan untuk melihat dan memilah informasi yang relevan sebelum membaginya kepada orang lain. “Karenanya, harus berani dan kritis atas kredibilitas sebuah pesan,” katanya.

Bahkan secara khusus, Randy berharap kepada peserta diskusi sebelum menuliskan status, pendapat, menebar gambar dan sejenisnya di media sosial untuk memperhatikan sejumlah ketentuan. 

“Pertama, pastikan telah memikirkan risiko dan dampaknya bagi pengguna lain,” sergahnya. Demikian pula kualitas postingan, ketepatan data yang digunakan serta kejelasan sumber.

Dengan besarnya pengguna internet dan dampak yang diakibatkan dari postingan seseorang di media sosial, maka dirinya berharap akan ada integrasi materi literasi media ke dalam kurikulum pendidikan.
“Sayangnya, ini kerap diwacanakan, namun belum bisa dilakukan,” katanya.

Dirinya juga berharap dukungan negara atas gerakan literasi media berbasis komunitas. “Paling tidak, ada panduan yang bisa diaplikasikan sebagai panduan khususnya di kalangan keluarga karena bisa dikerjakan oleh siapa saja,” ujar Randhy.

Baginya, literasi digital butuh keikutsertaan berbagai kalangan. “Oleh karena itu, yang sangat dibutuhkan adalah kesadaran dan komitmen bersama,” pungkasnya. 
(Ibnu Nawawi)


Terkait