Pamekasan, NU Online
Focus Group Discussion (FGD) berlangsung menghangat di Markas Kepolisian Resor (Mapolres) Pamekasan, Sabtu (27/10). Dihadiri para ulama Madura, forum tersebut membedah bahaya laten Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang kembali mencuat usai peristiwa pembakaran benderanya oleh Banser saat ada yang mengibarkan di peringatan Hari Santri di Garut beberapa waktu lalu.
Kapolres Pamekasan mengatakan, HTI semakin merasuk ke dalam sendi-sendi kehidupan bernegara kita. Arus demokrasi yang memuncak pada Reformasi 1998 malah membuka jalan bagi mereka untuk bergerak lebih jauh lagi.
"Untung ada NU. Sejak awal 1990-an Gus Dur telah mengingatkan bahaya sektarianisme yang salah satunya mengacu pada fenomena gerakan Islam trans-nasional seperti HTI," ujar Kapolres Pamekasan, Teguh Wibowo, sembari menghadirkan referensi hasil penelitian LIPI.
Dikatakan, Gerakan ini berbahaya bukan hanya mau mengubah dasar negara Pancasila, tetapi lebih dari itu mereka berupaya memecah belah bangsa, persatuan Indonesia mau diganti oleh sentimen keumatan yang sempit.
Sesepuh NU Madura, KH Hamid Mannan, kepada NU Online Senin (29/10) mengatakan, meski telah resmi dilarang, HTI hingga kini ternyata terus berkembang. Sekarang mereka sedang menggoreng isu seolah yang terjadi di Garut kemarin adalah pembakaran kalimat tauhid.
"Spirit utama mereka adalah menggoyahkan persatuan dan kesatuan bangsa ini. Ketika itu sudah terjadi, mereka akan hadir sebagai juru penyelamat. Padahal, misinya adalah khilafah islamiyah yang bukan bagian dari spirit kenegaraan dalam Islam," tegasnya.
Dikatakan, dari hasil kajian peneliti LIPI Amin Mudzakkir yang juga terbedah di FGD, terungkap bahwa ideologi HTI adalah bahaya laten yang berbahaya. Ia bergerak memanfaatkan penguatan sentimen keagamaan yang menguat di mana-mana. Secara manipulatif ia menggunakan simbol-simbol suci Islam, seperti kalimat "Laa ilaaha illallaah", untuk mengelabui umat.
Di FGD yang digelar oleh Polres Pamekasan itu, diketengahkan setidaknya ada dua kalangan umat yang paling disasar oleh HTI. Pertama adalah muslim modernis yang sejak awal terobsesi dengan jargon kembali ke Al-Qur'an dan As-Sunnah. Obsesi mereka yang awalnya berorientasi pada pemurnian akidah mudah sekali dibelokkan ke dalam wawasan politik khilafah Islamiyah.
Kedua adalah Muslim awam yang memang tidak mempunyai pendasaran ilmu keagamaan yang mencukupi. Kelompok ini umumnya adalah abangan yang hijrah menjadi santri, semangat keagamaan mereka yang meluap-luap mudah sekali terlepas dari tradisi keilmuan Islam yang sangat kaya.
Setidaknya sejak dekade 1980-an, para pegiat HTI telah menjangkarkan pengaruhnya di tengah umat Islam Indonesia. Khususnya lagi setelah Soeharto berpaling ke Islam politik di awal 1990-an.
FGD tersebut menghasilkan kesepakatan bahwa kalau masih ada gerakan HTI di Kabupaten Pamekasan, harus ditumpas bersama-sama. Tentu dengan mengedepankan kesejukan, tanpa terprovokasi seperti kasus di Garut. (Hairul Anam/Muiz)