Daerah

Kesamaan Nasib Menggerakkan Pemuda Bersatu

Ahad, 28 Oktober 2018 | 12:15 WIB

Kesamaan Nasib Menggerakkan Pemuda Bersatu

Ilustrasi: ideapers.com

Tangerang Selatan, NU Online
Pemuda dari berbagai golongan, 90 tahun lalu, bersatu merumuskan ikrar janji setia terhadap kebangsaan, tanah air, dan bahasa persatuan. Satu hal yang menggerakkan mereka di antaranya adalah kesamaan nasib.

"Kesamaan nasib itulah yang kemudian membentuk mendorong pemuda-pemuda kini bertemu," ujar Sejarahwan Johan Wahyudi usai mengisi bedah buku Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946 karya Benedict Anderson dalam rangka Menyongsong Satu Abad Sumpah Pemuda di Gang Buntu Ciputat, Kota Tangerang Selatan, Banten, pada Sabtu (27/10).

Pasalnya, menurut Johan, pada dasawarsa 1920-an, Belanda tengah mengencangkan sabuk kekuasaannya sekencang-kencangnya mengingat menurunnya kolonialisme bangsa Eropa pascaperang dunia pertama.

Hal itu berdampak pada dua kubu yang konfrontatif itu sekaligus, yakni peningkatan tekanan Belanda dan pertumbuhan daya kritis pemuda pribumi masa itu. Sebab, negara monarki itu tidak ingin Indonesia lepas dari cengkeramannya.

"Periode 1920-1930 adalah periode kritis dalam sejarah Indonesia," ujarnya.

Di samping itu, pengajar di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta itu juga mengungkapkan bahwa Ben Anderson itu melihat kekuatan orang Jawa yang mampu menyatukan dua kutub, jagat cilik dan jagat gede.

"Kekuatan orang Jawa, menurut Ben Anderson, letaknya pada pergumulannya mempersatukan jagat cilik dan jagat gede atau dengan bahasa populer menyatukan alam mikrokosmos dam makrokosmos," kata pria yang pernah aktif di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) itu.

Acara demikian menurutnya sangat penting guna memulihkan ingatan pemuda pada jejak-jejak historis. "Ini adalah ruangan bahwa mahasiswa sekarang perlu diberikan suatu ingatan historis, dalam hal ini Sumpah Pemuda," tuturnya.

Hari ini, makna pemuda, menurutnya, sudah teredusir dengan kemunculan budaya populer dari luar negeri. Jika tidak mengenal hal itu seakan tidak gaul. Baginya, acara semacam ini perlu dikembangkan terus mengingat adanya upaya penyadaran terhadap kaum muda.

Nilai penting lain dari kegiatan semacam ini, menurutnya adalah menarik mahasiswa untuk kembali ke dunia ilmiah. Meskipun informal, kadar substansi dari kegiatan ini tak kalah dengan pertemuan di gedung-gedung.

"Yang penting itu maksud untuk mengenang pemuda sebagai penggerak zaman itu mampu hadir kembali di masa yang sifatnya milenial seperti sekarang ini," pungkas Johan.

Kehadiran peserta dari berbagai latar belakang organisasi dan komunitas juga mewarnai kegiatan malam itu. Diskusi ini ditutup dengan pembacaan Sumpah Pemuda bersama-sama. (Syakir NF/Abdullah Alawi)


Terkait