Ketua Muslimat ini Teteskan Air Mata Setelah10 Tahun Memimpin
Selasa, 25 Agustus 2015 | 05:00 WIB
Yogyakarta, NU Online
Telah dua periode atau 10 tahun Siti Maryam mengetuai Pimpinan Wilayah (PW) Muslimat Daerah Istimewa Yogyakarta. Menurut dia, selama kepemimpinannya telah banyak hal dilakukan sebagai realisasi program-program sosial-keagamaan.
<>
“Akan tetapi kami menyadari bahwa masih lebih banyak lagi yang belum bisa kami kerjakan terkait dengan perbaikan kualitas kehidupan bangsa ini,” tuturnya sambil meneteskan air mata saat memberikan sambutan Konferensi Wilayah (Konferwil) PW Muslimat NU DIY di Gedung Arafah Asrama Haji, Jl. Ringroad Utara, Yogyakarta pada hari Sabtu-Ahad (23-24/8).
Maryam menambahkan, Muslimat terus bekerja dalam membangun masyarakat Indonesa yang bermartabat, yang memiliki integritas yang unggul. Organisasi Muslimat NU menjadi salah satu komponen bangsa yang memiliki posisi strategis bagi pembangunan bangsa.
“Membangun kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) menjadi salah satu prioritas program kami. Sebab itu, Muslimat NU DIY memiliki kader yang unggul. Muslimat NU memiliki emban untuk menggosok generasi yang ada agar menjadi mutiara yang unggul dan religius,” tutur Istri Dirjen Bimas Islam Kemenag RI, Machasin.
Dia menegaskan, sebagai organisasi keagamaan sosial, Muslimat NU sudah mengabdi selama 69 tahun dan 65 tahun untuk DIY. Sepanjang itu Muslimat NU istiqamah dalam menyongsong tegakknya keadilan, kesetaraan, kesejahteraan dan keharmonisan. Maka muslimat NU DIY sangat konsern dalam membangun masyarakat yogyakarta.
“Keadaan seperti itu tidak mungkin bisa terwujud dengan sendirinya, karena ada banyak anomali di tengah-tengah kehidupan manusia, khususnya masyarakat bangsa Indonesia,” papar perempuan yang pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Adab dan Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Untuk itu, lanjutnya, dalam kerangka amar ma’ruf nahi munkar, Muslimat NU senantiasa berusaha untuk mewujudkan Islam yang menebar kasih sayang, bukan Islam yang menampakkan kegarangan, melakukan amar ma’ruf dengan cara yang ma’ruf, bukan dengan cara yang sebaliknya. (Suhendra/Abdullah Alawi)