Daerah

Kisah Kiai Syamsul Arifin Situbondo dan Kepercayaan Hari Nahas

Selasa, 23 Agustus 2016 | 07:00 WIB

Kisah Kiai Syamsul Arifin Situbondo dan Kepercayaan Hari Nahas

Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo merupakan Pondok Pesantren yang terbilang tua di negara ini. Rintisannya dimulai sejak tahun 1908 M

Jember, NU Online
Suatu ketika, Kiai Syamsul Arifin, ayahanda Kiai As'ad Syamsul Arifin, pendiri Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Asembagus, Situbondo merenovasi masjid dengan melibatkan sejumlah santri dan warga sekitar. Ketika itu, sebagian mereka sedang berada di atap masjid untuk memasang genting. Tiba-tiba seorang warga yang sudah sepuh melintas di depan masjid dan memberi tahu kepada Kiai Syamsul Arifin yang tengah mengomando pembagunan kembali bahwa hari tersebut adalah hari nahas, sehingga disarankan untuk tidak merenovasi masjid atau melakukan kegiatan apapun.

 "Ayo turun, turun semua (yang di atap masjid). Sekarang hari nahas," seru Kiai Syamsul Arifin merespon saran si sepuh tersebut.

Merekapun turun, dan orang tua itupun berlalu pergi. Setelah ia menjauh, Kiai Syamsul memerintahkan kepada mereka agar naik lagi ke atas masjid guna melanjutkan memasang genting. 

"Ayo naik lagi. Sekarang hari nahasnya sudah pergi," tukasnya.

Cerita tersebut diungkapkan Rais Syuriyah PCNU Jember, KH. Muhyiddin Abdusshomad saat mengisi pengajian Aswaja di halaman kantor NU Cabang Jember, Senin (22/8). Menurutnya,  respon yang demikian itu mencerminkan kearifan seorang Kiai Syamsul Arifin dalam menyikapi tradisi atau budaya yang berkembang di masyarakat. 

"Jadi,  menolak sesuatu, harus dengan cara yang baik. Dan menyampaikan sesuatu yang baik, apalagi, harus dengan cara yang baik pula. Tidak perlu dengan kekerasan atau kata-kata yang menyinggung perasaan orang lain. Itulah dakwah," jelasnya.

Penulis beberapa buku Aswaja itu juga menyinggung pola dakwah yang dilakukan Walisongo. Dikatakannya, bahwa Walisongo dalam menyampaikan dakwahnya sangat sejuk  dan selalu bisa beradaptasi dengan tradisi lokal. Tradisi apapun, selama bisa dicari benang merahnya dengan ajaran Islam, maka Walisongo tetap mempertahankannya. Sedangkan bagi tradisi yang bertentangan dengan Islam, Walisongo perlahan-lahan menghapusnya  dengan cara yang santun, tanpa perlu melukai perasaan masyarakat.

"Dakwah tidak perlu dengan kekerasan, kecuali sangat dan sangat terpaksa. Jangan sampai, karena ingin menyampakian kebenaran, semua dihancurkan. Bisa jadi, orang mungkin takut dan ikut, tapi belum tentu patuh. Dakwah yang menggunakan kekerasan akan menuai kekerasan yang lain," tuturnya. (Aryudi A Razaq/Zunus)


Terkait