Jombang, NU Online
Selama lebih dari sepekan, KH Zaimuddin Wijaya As’ad melakukan lawatan ke tiga negara di Eropa. Yakni Perancis, Belanda dan diakhiri di Spanyol. Pengalaman ketika di Belanda disampaikan berikut ini.
Saat berada di negara kincir angin tersebut, Gus Zu’em, sapaan akrabnya berkesempatan melakukan silaturahim ke Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Den Haag.
“Bersama pengurus, kami sepakat bertemu di Masjid Al-Hikmah yang merupakan masjid masyarakat Indonesia,” kata Ketua Yayasan Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum (Unipdu) Peterongan, Jombang, Jawa Timur tersebut, Sabtu (29/9).
Karena masjid Indonesia, dengan demikian tata cara ibadahnya pun khas Nusantara. “Bila shalat, bacaan surat Al-Fatihahnya dengan menyuarakan atau jahar lafal Bismillah dan bacaan wiridnya pun disuarakan,” kenangnya.
Demikian pula ada rutinan istighatsah tiap Sabtu usai Asar yang mayoritas jamaahnya adalah ibu-ibu. “Ternyata kalau soal ngaji-mengaji kolektif seperti majelis taklim, tidak di Jombang tidak di Den Haag, sama saja, yakni ibu-ibu selalu dominan,” katanya.
Bahkan untuk membangun kebersamaan, mereka biasanya membuat seragam busana pengajiannya. “Yang unik lagi, kadang para ibu sebelum pengajian membuat kesepakatan warna pakaiannya dulu. Ini biasanya ibu-ibu yang di bawah usia 40 tahun,” ungkap Gus Zu’em.
Dengan berkelakar, alumnus Universitas Gajah Mada ini menyatakan bahwa yang menjadi pembahasan utama bukan topik apa dalam pengajian. “Tapi yang perlu disepakati dulu adalah warna baju dan jilbabnya. Itulah the spirit of emak-emak,” ungkapnya diiringi tawa.
Dalam pertemuan tersebut dijelaskan tentang sejarah masjid Al-Hikmah yang ternyata sebelumnya adalah bangunan Gereja Immanuel. “Konon karena jemaatnya banyak yang sudah wafat, sementara keturunannya banyak yang berhijrah keluar kota Den Haag, akibatnya pengurus gereja tidak mampu membiayai perawatan dan pajak gedung,” jelasnya.
Sekedar diketahui bahwa pemerintah Belanda yang sekuler tidak memberikan subsidi pada lembaga agama. Maka yang menghidupi tempat ibadah adalah pemeluknya sendiri.
Diceritakan pengurus, tahun 1996 aset yang berupa gedung gereja beserta halamannya itu dijual ke publik. “Maka dibelilah oleh bapak Probosutejo yang juga sepupu Bapak Soeharto dengan rencana peruntukan sebagai tempat ibadah agama Islam,” ungkapnya. Dan untuk keperluan peralihan peruntukan ini harus seizin pemerintah kota, lanjutnya.
“Alhamdulilahnya, saat itu Dubes Indonesia yakni Sudarmanto yang beragama Kristen Katolik sangat intensif membantu meyakinkan pemerintah setempat bahwa umat Islam Indonesia sangatlah toleran dan cintai damai,” katanya.
Maka pada tgl 25 Januari 1996 terbitlah surat pernyataan ‘tidak keberatan’ dari otoritas stempat atas peralihan fungsi tersebut. Hanya saja, berdasarkan peraturan yang berlaku di sana, bangunan gedung usia tertentu tidak boleh diubah.
“Akibatnya, kita tidak bisa melihat ada kubah layaknya masjid pada umumnya. Hanya kaca pintunya yang diberi kaca film dengan motif lengkungan,” ujarnya.
Menurut informasi, apabila di satu tempat didirikan tempat ibadah atau rumah dialihfungsikan sebagai tempat ibadah, maka jika ada seorang penduduk di sekitar yang tidak setuju, pemerintah tidak akan menerbitkan izin peruntukan.
Ini berarti, dalam urusan keyakinan, tidak berlaku demokrasi dengan suara terbanyak. Yang berlaku adalah bagaimana menjaga kedamaian hati, dan kedamaian hati itu tidak harus terlahir dari sesama yang sepilihan. “Tapi dari hati yang bisa menerima perbedaan sebagai suatu keniscayaan Tuhan atau sunnatullah,” pungkasnya. (Ibnu Nawawi)