Daerah

Kenaikan Kelas di Madrasah Dua Liter

Jumat, 15 Juli 2016 | 11:01 WIB

Sukabumi, NU Online
Seorang anak belasan tahun menaiki panggung mewah 6 x 3 meter. Ia memegang mikropon. Kemudian tangannya teracung sebagaimana KH Zainuddin MZ atau KH AF Ghozali. Mulutnya kemudian mengutip kalimat Arab “Man dakholal Qobro bila jadin fakaannama rokibal bahro bila safinatin”. Kemudian ia menerjemahkannya, barangsiapa yang masuk ke dalam kubur tanpa amal kebaikan, maka ia seperti berlayar di lautan tanpa perahu”.

Tak lebih dari tujuh menit ia berdiri di atas pentas di hadapan teman-temannya, guru-gurunya, para orang tua teman-temannya, ayah dan ibunya, juga tetangganya. Gaya bicaranya cepat seolah waktu demikian sempitnya, seolah kalau lambat akan dikurangi uang jajannya. Kemudian ketika selesai pun, ia meninggalkan panggung dengan setengah berlari seolah di belakang ada kekeknya sedang mengacungkan sapu lidi.

Kemudian pembawa acara mempersilakan anak lain untuk juga menaiki pentas. Tidak sendirian, melainkan enam orang. Mereka berbicara memperkenalkan diri sambil tertunduk bahwa mereka  dari kelas dua madrasah diniyah yang akan menyebutkan jumlah rukun iman. Seorang anak paling kanan maju sambil tertunduk, “rukun iman yang pertama adalah iman kepada Allah.” Ia mundur kepada tempatnya semula.

Disusul anak sebelahnya, juga maju beberapa langkah, menyebutkan bahwa rukun iman kedua adalah kepada malaikat Allah. Begitu seterusnya sampai semuanya kebagian, sampai rukun iman keenam, percaya kepada akan datangnya hari akhir.

Kemudian anak lain kembali ke panggung serupa anak pertama. Bergiliran. Tapi tidak semua lulus dan lancar karena ada kalimat-kalimat yang dihafalkannya terlupakan. Hal itu disebut micung. Faktornya karena ia malas menghafal. Bisa juga sudah hafal, tapi karena merasa rawan di hadapan orang banyak, hafalannya berhamburan kacau.

Anak-anak yang tampil tersebut berlangsung pada samenan atau kenaikan kelas di Madrasah DIniyah Miftahul Aulad, Kampung CIlulumpang, Kecamatan, Warungkiara, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat pada Kamis malam (14/7). Susunan acara samenan hampir dikatakan ajeg dari tahun ke tahun, yaitu pembukaan, pembacaan tawasul kepada leluhur kampung-kampung, khususnya para pemberi wakaf untuk lembaga pendidikan tersebut.

Kemudian pembacaan ayat suci Al-Qur’an. Kampung tersebut memiliki qari terbaik yang sampai saat ini tak tergantikan, Dadan Syahrul Hidayat dan Dedi Junaidi. Keduanya adalah guru ngaji di kampung tersebut. Keduanya beberapa kali lolos pada Musabaqoh Tilawatil Qur’an ke tingkat kabupaten. Tak nasib tak pernah mujur. Mereka tak pernah lolos sampai ke tingkat provinsi.

Setelah sambutan dari kepala madrasah, perwakilan wali murid, dan perwakilan dari pemerintahan, dialnjutkan dengan penampilan anak-anak, yaitu ngaleseng tadi. Ngaleseng tersebut tergantung kelasnya. Bagi anak-anak kelas satu mereka hanya membacakan surat-surat pendek Al-Qur’an. Sementara kelas yang lebih tinggi ngalesengnya membacakan hadits ayat sepotong ayat dengan terjemahnya. Semakin tinggi dengan penjelasannya.

Gaya bicara mereka rata-rata mengucapkan setiap kata dengan cepat. Jarang sekali yang anca atau kalem. Intonasinya ada yang lantang ada juga yang pelan, seperti berbisik. Sementara penggunaan bahasa, ada yang Sunda dan Indonesia.

Samen dan ngaleseng
Samen atau samenan, menurut budayawan Sunda H. Usep Romli HM berasal dari bahasa Belanda, examen. Kemudian mengalami perubahan pelafalan di lidah orang Sunda menjadi samen. Sementara ngaleseng Usep tidak mengetahuinya. Ngaleseng bisa jadi istilah khas daerah Sukabumi.

Pada saat samenan di madrasah selalu lebih meriah daripada di SD. Di Miftahul Aulad misalnya, pada kegiatan tersebut bisa berlangsung dua hari, biasanya dimulai dengan beragam perlombaan seperti balap karung, panjat pinang, memasukan kelereng ke dalam botol, dan lain-lain. Kemudian ada arak-arakan keliling kampung. Pada zaman dahulu biasanya diiringi dengan beduk, sekarang dengan drum band.

Sementara ngaleseng sendiri dilakukan pada malam hari. Juga pengumuman juara kelas dari satu sampai tiga dari kelas satu sampai kelas enam. Khusus untuk kelas enam ada acara khusus sebagai kesempatan penghabisan, yaitu naik ke panggung bersama-sama, membaca shalawat. Lalu diberi amanat terakhir dari kepala sekolah untuk bekal hidup di masa yang akan datang. Kemudian bersalaman. Biasanya diiringi isak tangis anak-anak. Pada kesempatan tersebut dilepaslah balon raksasa sebagai tanda perpisahan.

Partisipasi warga
Pada samenan, setiap wali murid hadir ke halaman madrasah. Juga hampir seluruh warga kampung. Mereka memadati masjid, rumah-rumah terdekat dan madrasah sendiri. Tak hanya kampung Cilulumpang, tapi dari kampung tetangga dan desa tetangga. Orang banyak berkumpul, kemudian mengundang para pedagang mulai dari penjual cilok, balon, bakso, mie ayam, sate, martabak, bandros, mainan anak-anak, TTS, Komik Tatang S, dan lain-lain.

Di madrasah Miftahul Aulad, pada samenan, murid-murid dari kelas satu sampai kelas enam mendapat makanan dari sekolah. Dulu, makanan tersebut disajikan dalam bentuk besek yang terbuat dari bambu, sekarang. Dulu wali muridnya juga makan bersama, tapi menurut Kepala Madrasash Miftahul Aulad, Kiai Syarif Hidayat, tiga tahun belakangan ini, tidak lagi. Karena, kata dia, biayanya terlalu mahal.

Makanan untuk murid-murid dan beberapa tamu undangan dimasak secara kolektif oleh tetangga-tetangga sekitar madrasah. Mereka terbagi ke dalam dua bagian, ada yang memasak di rumah Kepala Madrasah ada juga yang di rumah masing-masing. Untuk kelompok pertama, adalah memasak daging, sayuran dan kue-kue. Sementara yang di rumah masing-masing adalah memasak beras.  

Partispasi tersebut terlihat pada pembangunan madrasah itu sendiri yaitu dengan tangan-tangan warga dua kedusunan. Madrasah selalu melibatkan keringat masyarakat dimulai dengan rapat seluruh wali murid. Ketika direhab, tetangga-tetannga digilir untuk menyediakan makanan dan minuman. Bagi yang memiliki kayu, bambu, pasir atau tenaga bekerja sama. Hanya tukang yang pokok saja yang diberi upah.

Kini madrasah tersebut memiliki tiga ruangan kelas dan satu kantor. Tiga kelas tersebut disekat dengan tripleks untuk menyekat satu kelas dengan kelas lainnya. Kondisinya sudah ada yang rusak di sana-sini seperti genteng bocor, bangku dan meja serta papan tulis yang tak layak pakai. Serta dinding yang sudah retak-retak.  

Partisipasi tersebut juga terlihat dari pengisi acara acara samenan. Pada samenan tahun ini misalnya, bu-ibu setengah baya menampilkan kesenian kasidahan. Mereka yang menamakan diri sebagai grup kasidah Nurun Nisa tampil dimulai dengan lagu “Bismillah”, Ya Robbi Barik, dan lain-lain. Pada tahun-tahun sebelumnya ada juga penampilan teater dari alumni.  

Madrasah dua liter beras
Madrasah Diniyah Miftahul AUlad didirikan tahun 1980 oleh M. Atang. Kemudian dilanjutkan oleh menantu dan anak-anaknya. Madrasah tersebut sekarang dipimpin Kiai Syarif Hidayat yang yang juga Ketua Majelis Ulama Indonesia Desa Kertamukti dan Wakil Rais Syuriyah Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama Kecamatan Warungkiara.

Sejak didirikan, murid-murid berasal dari dua Kedusunan yaitu Cilulumpang dan Ciseupan. Sebelum di daerah Bojongkerta membangun madrasah, anak-anak kampung tersebut juga sekolah khusus agama pada sore hari ke Miftahul Aulad. Menurut Kiai Syarif, madrasah tersebut telah melahirkan sekitar 800 lulusan sejak pertama kali didirikan. Dan untuk tahun ini jumlah murid ada 130 anak dengan 5 guru 1 kepala madrasah.

Madrasah tersebut, menurut Syarif, sejak awal didirikan berjalan dengan beras. Madrasah menerapkan kebijakan hal tersebut karena sepanjang 36 tahun, meski sudah ada beberapa perubahan mata pencaharaian wali murid, tapi pertanian masih menjadi dominasi wali murid.  

Ia menjelaskan, dulu iuran hanya sebesar 1 liter beras. Kemudian bertahun-tahun 1, 5 liter. Pada tahun 2000-an pernah diubah iuran bulanan dengan uang. Tapi ternyata mogok. Akhirnya di tahun berikutnya pembayaran bulanan dikembalikan dengan beras. Kemudian sejak tahun 2000an tersebut sampai sekarang, iuran sebesar 2 liter beras. Bagi wali murid yang memiliki dua anak, boleh membayar 3 liter beras. Jika memiliki tanggungan tiga anak boleh 3,5 liter.   

Namun dengan pembayaran beras, lanjut dia, kadang-kadang wali murid menunda pembayaran di kala beras mahal. Lalu segera membayar ketika harga beras jatuh. Sehingga dalam sebulan, guru tidak mendapat upah sama sekali. Selain itu, kadang-kadang wali murid membayar iuran dengan beras yang kualitas rendah seperti raskin, sementara beras dari hasil pertanian mereka, disimpan atau dijual. Persolan lain, kadang wali murid membayarnya sekaligus di akhir tahun secara serentak.  

Kendati begitu, madrasah tersebut tetap berjalan. Tetap berjalan, meski guru-gurunya dirata-ratakan hanya berupah Rp 200 ribu per bulan tanpa gaji ke-13 tentunya. “Pendidikan agama untuk tunas-tunas muda kampung harus tetap dipertahankan. Rizki mah Allah yang ngatur,” katanya. (Abdullah Alawi)


Terkait